MOJOK.CO – Bapa Paus Fransiskus mengajarkan kita cara mengolah pesan damai lewat dirinya sendiri. Sebuah ajaran yang universal, seperti makna kata Katolik itu sendiri.
Nama Gus Dur ramai lagi. Eh, memang kapan nama Gus Dur tidak ramai diperbincangkan? Nama beliau abadi di antara obrolan-obrolan menggembirakan.
Kalau ngomongin soal Gus Dur, yang selalu terlintas dalam pikiran saya adalah tentang berbuat baik. Gus Dur berpesan kepada semua manusia. Kalau kamu berbuat baik, orang tidak akan bertanya apa agamamu. Di hati saya, pesan Gus Dur itu sifatnya universal, bukan milik saudara-saudara muslim saja. Toh di Katolik, hukum tertinggi adalah cinta kasih: kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi diri sendiri.
Dan pada titik tertentu, kesantaian Katolik itu mirip dengan kesantaian anak-anak NU. Bagaimana dengan Muhammadiyah? Mirip juga, kok. Di mana miripnya? Sik sebentar, saya cari dulu ya. Hehehe….
Soal berbuat baik, tentu cakupannya luas. Menurut saya, berbuat baik bukan tentang membantu sesama secara konkret. Misalnya ikut urunan buat korban banjir di Jabodetabek dan daerah lain di Indonesia. Berbuat baik juga bisa terlihat dari kebesaran hati kita untuk meminta maaf. Dan sekali lagi, saya diingatkan oleh Paus Fransiskus.
Bapa Paus Fransiskus satu ini memang rock and roll. Tidak banyak pemuka agama di Katolik yang secara berani mengkritik gereja. Kalau saya bilang gereja artinya merujuk ke Vatikan dan semua pemeluk Katolik. Banyak pemuka agama Katolik yang justru lakunya seperti bangsawan, aristokrat, yang kalau berjalan dagunya terangkat. Kayak Tenryuubito di komik One Piece.
Secara terbuka, Bapa Paus Fransiskus bicara kalau banyak orang Katolik yang hipokrit. Berdoa paling rajin, tidak pernah telat berangkat misa. Namun, di luar sana, dia berbuat jahat. Dia merugikan banyak orang. Kalau kena batunya, mereka langsung merasa paling tersakiti. Lalu berdoa minta keadilan. Macam koruptor yang merasa lagi kena “ujian” karena ketangkap KPK.
Bapa Paus Fransiskus pernah bikin heboh ketika mengunjungi Casal del Marmo, penjara remaja. Beliau membasuh dan mencium kaki 12 penghuni penjara ketika misa pembasuhan kaki Kamis Putih. Dua di antara “para rasul” itu adalah muslim Serbia.
“Siapa pun yang menjabat di posisi tinggi, justru harus melayani orang lain,” kata Bapa Paus. Bapa Paus tidak pernah membedakan orang. Bahkan kepada dirinya sendiri sebagai “wakil Tuhan” di dunia. Salah satu sisi ketuhanan di dalam dirinya adalah berani meminta maaf. Padahal sebetulnya, beliau tidak perlu melakukannya.
Ketika menyambut para peziarah di alun-alun Santo Petrus, Bapa Paus Fransiskus kehilangan kontrol diri.
NOPE FROM THE POPE: While greeting people in St. Peter’s Square on New Year’s Eve, Pope Francis had to pull himself away from a woman who grabbed his hand and yanked him toward her. https://t.co/umkpOnbbX6 pic.twitter.com/0XzxtWTMUd
— CBS News (@CBSNews) December 31, 2019
Beliau menyalami para peziarah satu per satu. Ada satu peziarah yang nampaknya belum puas bersalaman dengan pemimpin tertinggi Katolik itu. Bahkan ketika Bapa Paus sudah hendak berbalik badan, peziarah masih tidak mau melepaskan salaman. Dia bahkan menarik tangan Bapa Paus.
Seketika, Bapa Paus Fransiskus berbalik badan dan menampol tangan di peziarah beberapa kali. Setelah salaman penuh kekesalan itu lepas, Bapa Paus berbalik badan dan raut muka kesal terpampang nyata. Banyak yang mengkritik Bapa Paus. Sebagai bapaknya orang Katolik, tindakan itu bukan contoh yang baik.
Bapa Paus Fransiskus menyadari kesalahannya. Tidak lama berselang, beliau meminta maaf karena sudah menunjukkan bad example bagi banyak orang. Apalagi, pesan Bapa Paus untuk tahun 2020 adalah mengolah harapan dan kedamaian.
Kata “mengolah” berarti mengerjakan sesuatu supaya menjadi lain atau menjadi lebih sempurna. Bagi Katolik, itulah terjemahan paling nyata dari hukum cinta kasih yang saya sebutkan di atas. Harapan dan rasa damai, hanya muncul di tengah persatuan. Jika berbuat salah ya minta maaf. Permintaan maaf secara tulus tidak seharusnya memandang posisi orang.
Kerelaan Bapa Paus untuk meminta maaf sebetulnya bukan kejadian yang mengagetkan. Bapa Paus Fransiskus, dalam sebuah homili pernah berkata kalau mereka yang ateis pun berhak mendapatkan kebaikan.
“Tuhan menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya, dan kita adalah citra Tuhan, dan Dia melakukan yang baik dan kita semua memiliki perintah ini di hati, yaitu: berbuat baik dan tidak berbuat jahat. Kita semua. ‘Tapi bapa, orang ini bukan Katolik! Dia tidak bisa berbuat baik.’ Ya, dia bisa… Tuhan telah menebus kita semua, kita semua, dengan Darah Kristus: Kita semua, bukan hanya umat Katolik. Semua orang! ‘Bapa (bagaimana dengan) para ateis?’ Bahkan ateis. Semua orang! Kita pasti bertemu satu sama lain, dengan berbuat baik. ‘Tapi saya tidak beriman, Bapa, saya seorang ateis!’ Berbuat baiklah, kita akan bertemu di sana,” ungkapnya seperti dilansir Huffington Post.
Jelas, materi khotbah Bapa Paus itu jadi kontroversi. Ada berapa banyak dari kita yang bisa menahan diri untuk tidak menghakimi orang ateis bahkan di dalam hati?
Kenyataannya memang tidak mudah untuk memaafkan kesalahan atau ketidakbenaran yang tercitrakan dari orang lain. Makanya, pesan 2020 dari Bapa Paus adalah “mengolah”, bukan hanya sekadar “mengabarkan”. Mengolah, artinya kita juga mengalami proses menjadi manusia yang “berbuat baik” bukan sekadar pewarta.
Sama seperti Gus Dur, bukan? Saya kok curiga Bapa Paus Fransiskus pernah ngobrol dengan Gus Dur soal berbuat baik kepada sesama tanpa memikirkan agama atau kepercayaan yang dianut.
Bapa Paus yang meminta maaf sebetulnya hal kecil saja. Menjadi terasa istimewa karena niat meminta maaf–bahkan ketika tidak salah–mulai langka. Atau, pada dasarnya memang langka sejak awal mengingat kita begitu mudah menyalahkan atau mendendam kepada orang lain.
Katolik mengajarkan umatnya untuk “menundukkan kepala”. Katolik adalah soal devosi, penyerahan diri kepada hukum cinta kasih. Bapa Paus mengajarkan kita cara mengolah pesan damai lewat dirinya sendiri. Sebuah ajaran yang universal, seperti makna kata Katolik itu sendiri.
Jadi, apakah kamu sudah memaafkan seseorang hari ini? Salam hari Jumat.
BACA JUGA Memang Kenapa Kalau Saya Salaman dengan Paus Fransiskus di Vatikan? atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.