MOJOK.CO – Memihak ke salah satu sisi cenderung membuat beberapa manusia menjadi terlalu hitam-putih. Ya soal muslim Uighur hingga ucapan Natal.
Hidup itu selalu soal pilihan. Bahkan ketika ada yang namanya “netral” atau berdiri di tengah pun, namanya tetap memilih. Memilih untuk tidak beringsut ke salah satu titik.
Tanpa konteks, sebuah kata tidak punya pesan untuk dibawa. Ia hanya sebuah kata dengan arti yang sudah disepakati lewat sebuah konsensus. Sebuah kata menjadi punya banyak makna ketika dilekatkan atau menjadi dekat dengan sebuah peristiwa. Seperti misalnya “pilpres”, “agama”, atau “intoleransi”.
Menjelang Natal 2018, ketika menyongsong tahun politik 2019, sebuah gegeran kembali mengemuka. Ada beberapa jika kita tidak spesifik. Misalnya soal kasus Habib Bahar, tragedi Nduga, pemotongan nisan salib di Kotagede, Yogyakarta, serangan oposisi kepada petahana, hingga muslim Uighur.
Banyak peristiwa itu membuat kita, manusia dengan kehendak bebas, terseret ke arah satu titik. Dipengaruhi oleh lingkungan, pilihan pribadi, hingga dorongan dari orang yang dihormati, manusia seperti “dipaksa” untuk berpihak.
Dari situ lahir Jerinx yang ingin menantang Habib Bahar berkelahi dan Fadli Zon yang membela sang habib. Lahir dikotomi Cebong dan Kampret untuk membedakan pendukung Jokowi dan Prabowo. Muncul pluralis fundamentalis untuk menentang aksi pemotongan nisan salib dan antropolog dadakan ketika membicarakan “sejarah” Kotagede.
Yang paling akhir, sebuah massa terbentuk untuk berdemo di depan Kedutaan Besar Cina guna memprotes kekerasan yang menimpa Muslim Uighur di Cina. Sementara, beberapa orang (dan sebuah media) berusaha menuliskan opini dan fakta terkait kondisi sebenarnya di Provinsi Xianjiang.
Soal Natal? Yah, narasinya sih berulang-ulang setiap tahun. Mulai dari haram karena mengikuti kebiasaan sebuah kaum, menolak menggunakan atribut Natal, hingga menguncapkan pun tidak boleh. Menolak menyerupai sebuah kaum, tapi kalau tanggal merah ikut libur. Yah, begitulah, seperti saya bilang. Narasinya itu-itu saja.
Nah, kembali di muslim Uighur? Tak bisakah kita netral terhadap masalah di Cina? Tentu saja sulit untuk membayangkannya terjadi. Sulit untuk membayangkan saudara-saudara muslim di Indonesia untuk tak melakukan pergerakan dan memilih konsentrasi dulu membantu sesama di dekatnya, katakanlah, tetangga, yang sebetulnya lebih membutuhkan perhatian.
Sulit untuk membayangkannya, karena bagi pemeluk agama lain, jika terjadi kasus yang sama, pasti juga tidak tinggal diam. Minimal ngedumel di media sosial dan memeriahkan naiknya sebuah tagar. Atau paling mentok, menyalahkan pemerintah yang dirasa terlalu pasif.
Narasi soal Muslim Uighur ini memang perlu disikapi secara hati-hati. Saya, sebagai bukan pemeluk Islam, agak sedikit khawatir. Ya saya cuma bisa khawatir, karena kalau sudah ikut sok-sokkan komentar, jatuhnya tidak otoritatif. Memeluk Islam saja tidak, tahu soal situasi sosial di Xianjiang juga tidak, masih sulit menyaring berita, kok mau berkomentar ndakik–ndakik.
Mengapa saya khawatir? Kembali ke perasaan saya saja.
Begini. Dari banyak media, baik dalam maupun di luar, saya mendapatkan banyak input soal kondisi muslim Uighur. Pada intinya, mereka sulit beribadah, bahkan dijebloskan ke penjara dan kamp konsentrasi oleh pemerintah Cina karena memeluk Islam. Namun, media yang sama memuat berita yang isinya sama sekali berlawanan.
Adalah detik.com, memuat dua berita yang bertolakbelakang. Berita pertama tertanggal 01 April 2017 berjudul “China Larang Warga Xianjiang Berjanggut Panjang dan Berjilbab di Area Publik”. Isinya, kurang lebih sama seperti judul dengan tambahan tidak boleh berjanggut dengan ukuran yang “abnormal”. Kata “abnormal” ini juga tidak jelas. Apakah dengan panjang lima meter, atau janggutnya dikribo, digimbal, atau dibagaimanakan.
Nah, berita kedua adalah berita agak baru yang tayang pada tanggal 18 Mei 2018 berjudul “Benarkah Muslim Ditindas di Xianjiang China?”
Berita tanggal 18 Mei 2018 berisi “laporan investigasi” wartawan Detik yang berkunjung langsung ke Xianjiang, Cina. Dari laporan tersebut, tidak ditemukan jejak kekerasan kepada muslim Uighur atau larangan punya janggut panjang.
Abdurakib Bin Tumurniyaz, Presiden Xianjiang Islamic Institute mengungkapkan bahwa tidak ada yang namanya larangan memeluk dan merayakan Islam. “Berita soal puasa Ramadan dilarang, itu tidak benar! Datang saja ke sini dan lihat langsung. Tidak ada aturan larangan. Saya memelihara janggut panjang begini apa saya ditangkap? Kan tidak.”
Belum beberapa lama, MOJOK menayangkan laporan pandangan mata Novi Basuki yang sudah dari tahun 2011 belajar di Cina. Novi mengungkapkan bahwa pemerintah Cina tidak pernah melarang muslim Uighur untuk merayakan Islam.
Yang diperangi oleh pemerintah Cina adalah ekstrimis dan separatis, yang kebetulan memanfaatkan Islam sebagai alat propaganda. Ya tidak berbeda dengan sebuah negara yang masih susah payah memerangi teroris dengan kedok agama. Padahal, agama itu sendiri damai dan membebaskan.
Nah, jika Detik, menayangkan dua berita yang saling bertolakbelakang, berita mana yang harus kita ikuti? Apakah kita tidak bisa “netral” memandang masalah ini.
Netral bukan berarti tidak peduli. Netral adalah menerima banyak berita, lalu mencernanya secara sempurna karena semuanya tidak berarti tidak bisa dirembug-rembug. Netral adalah mencari kebenaran dalam ketenangan ketimbang langsung berteriak lantang untuk mengecam atau menolak pihak lain karena ikut-ikutan temannya.
Ini lho yang saya khawatirkan. Bukan hanya kepada saudara-saudara muslim saja, tapi semua pemeluk agama. Sebagai manusia, kita cenderung memihak. Dan setelah memihak, kita menjadi terlalu hitam-putih. Kita meniadakan rahmat dan memandang “yang berbeda” dengan tatapan sinis, bahkan menyalahkan, seakan-akan “yang berbeda” itu seperti beol yang belum kesiram.
Media akan memberitakan apa yang perlu diberitakan. Apalagi untuk hardnews dan sangat ramah momen. Kembali ke kita masing-masing untuk memilah mana yang benar dan perlu. Sebuah level katarsis yang paripurna. Sulit diraih karena adanya “keberpihakan yang memaksa”.
Masalah muslim Uighur ini juga bisa kamu masukkan ke dalam konteks Natal. Percayalah, kamu pakai topi Natal itu tidak auto-Katolik atau auto-Kristen. Masuk Katolik itu susah. Bahkan kamu bisa gagal di tengah prosesnya yang bisa berjalan lebih dari enam bulan.
Menolak merayakan sebuah perayaan agama lain tentu sah-saha saja. Tapi mbok jangan menghakimi dan melukai perasaan saudara-saudara lainnya. Kan yang minoritas sudah mengalah, apakah kalian tidak tergugah?
Lalu, bagaimana dengan bagian Glory! Glory! Hallelujah? Ya nggak kenapa-kenapa, sih. Itu cuma lagu rohani Kristen yang digubah oleh pendukung Prabowo menjadi “lagu pujian” kepada capres nomor dua itu. Bayangkan kalau itu kubu petahana yang bikin.
Lha ya terus kenapa? Ya nggak apa-apa. Pak Prabowo kan didampingi seorang santri post-Islamisme dan ulama, Sandiaga Uno. Apa nggak takut, dituduh kafir karena menyerupai sebuah kaum?
Apa? Tidak apa-apa karena Indonesia itu Bhineka Tunggal Ika dan toleransi dijamin oleh Undang-Undang? Alhamdulilah.
Yah, itulah contoh sebuah keberpihakan yang terlalu hitam-putih.