MOJOK.CO – Aksi turun ke jalan anak STM dan pelajar diremehkan. Mereka dianggap tidak kompeten bersuara, bahkan gerakannya sudah ditunggani. Pelajar juga punya rasa!
“Apakah pelajar demo hanya fenomena zaman ini? Gak. Baca buku sejarah. Waktu Orba bahkan mrk pernah demo kenaikan SPP. Saat ‘98 bahkan biasa anak-anak SMA demo ikut mahasiswa,” kata Puthut EA, Kepala Suku Mojok lewat akun Twitter pribadinya.
“Pertanyaan paling aneh dari elite politik? Siapa yg menggerakkan anak-anak STM/SMA dan SMP demo? Menggerakkan orang segitu banyak? Dari berbagai titik? Dalam waktu singkat? Mungkin perlu baca sedikit soal spontanitas massa. Siapa tahu itu bisa menjawabnya. Siapa tahu…”
Hanya spontanitas massa yang bisa menggerakkan anak STM dan pelajar lainnya untuk turun ke jalan. Sepanjang pengalaman saya, memang sangat sulit mengumpulkan massa dalam waktu singkat. Hanya suporter sepak bola dan anak STM yang bisa melakukannya.
Lagian, tuduhan ditunggangi cuma semacam narasi untuk mengkerdilkan spontanitas anak STM dan pelajar ketika turun ke jalan. Tidak ada elite yang mau berpikir bahwa mereka punya “rasa”, hanya karena usia, lantas nggak pantas berjuang bersama mahasiswa.
Anak STM dan pelajar lainnya juga punya keresahannya sendiri. Sehari-hari, mereka dibuat resah oleh sistem pendidikan, budaya perundungan yang mengakar, kekerasan jalanan, keluarga dan lingkungan yang keras, kemiskinan, stigma negatif, dan lain sebagainya. Tawuran yang terjadi di setiap minggu merupakan pelarian dari keresahan yang menumpuk.
Jalanan menjadi ruang untuk berontak dari represi keresahan. Untuk sesaat, mereka merasakan kebebasan untuk berekspresi. Mereka tidak melulu bergerak karena isu besar yang tengah diperjuangkan. Mereka cenderung bodo amat. Pengalaman dan paparan arus informasi yang deras membentuk pola perjuangan mereka.
Di setiap zaman, di setiap gulir perjuangan pelajar, pengalaman dan represi sosial yang membentuk sebuah pemikiran akan perjuangan. Murni. Tanpa ditunggangi, mereka melawan.
Sebuah akun Twitter bernama @potretlawas menjelaskan kalau perjuangan anak STM dan pelajar sudah ada sejak zaman perjuangan. Di awal kemerdekaan, anak STM berjuang dengan nama Tentara Genie Pelajar (STM).
Sejak kemarin #STMmelawan. Anak sekolah teknik yang umum dilihat urakan gemar tawur turun ke jalan ikut demonstrasi. Macam² reaksi muncul.
Dalan masa sempit ini kami coba menguliti memori kolektif kita yang bias. Kembali ke rumah sejarah, melihat kembali perlawanan pelajar² STM.
— Potret Lawas (@potretlawas) September 26, 2019
Tugas-tugas mereka masih dekat dengan keseharian di sekolah. Misalnya, servis radio, merakit alat-alat elektronik, bikin peledak, membuat rancang bangun jembatan, hingga membuat pemetaan ranjau. Setelah perang, mereka kembali ke bangku sekolah.
“Pak, saya mau izin bolos.”
“Mau ke mana, kamu?”
“Mau pasang bom di bawah jembatan.”
“Oya, nanti Bapak susul.”
Selain karena represi keadaan di zaman perjuangn, para pelajar juga sudah menyadari penderitaan yang diakibatkan oleh kolonialisme. Mohammad Hatta misalnya, sudah mulai merasa dirinya harus berjuang sejak usia 6 tahun. Saat itu, Bung Hatta menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika orang-orang Minang dirantai oleh Belanda menyusul kegagalan monopoli kopi.
Rasa yang diunjukkan itu juga ada yang lahir dengan sendirinya. Kesadaran terbentuk. Bukan melulu ditunggangi seperti lanturan buzzer-buzzer istana macam Denny Siregar.
Pada 18 Desember 1948, di Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota negara, anak STM membanjiri jalanan. Mereka mendesak pemerintah untuk menjawab ultimatum dari Belanda. Ultimatum itulah yang kelak berubah menjadi agresi militer. Memang, kalau urusan gebuk-gebukan, mahasiswa mundur aja, anak STM yang maju.
Periode 1970 juga diwarnai oleh gerakan anak STM yang tergabung dalam Ikatan Peladjar STM. Mereka mogok sekolah, menuntut dibukanya kesempatan praktik. Luar biasa, demo bukan hanya untuk mencari ajang berkelahi, tetapi demi bisa belajar.
Pada tahun 1983, sekitar 100 anak STM Strada Jakarta menyertai 18 guru mereka yang mogok mengajar. Para guru ini menuntut perbaikan jam belajar, penambahan waktu praktik, dan gaji ke-13. Para pelajar yang ikut mogok kena skorsing. Namun, gerakan justru meluas dan mendapatkan dukungan dari orang tua murid.
Latar belakang gerakan tentu saja berbeda-beda. Anak STM zaman perjuangan berjuang melawan penjajah, pelajar zaman periode 1970 dan 1980an berjuang melawan sistem. Zaman sekarang, isu besar yang diperjuangkan lebih luas. Misalnya yang dilakukan Greta Thunberg, remaja berusia 16 tahun yang menginisiasi gerakan massal menghentikan kerusakan iklim.
Konsistensi Greta berhasil memotivasi remaja di negara lain. Dilansir BBC, pertengahan Maret lalu, ada 1,6 juta siswa dari 125 negara demo perubahan iklim. Mereka melakukan demonstrasi menuntut tindakan nyata. Ada 4 juta anak yang turut berpartisipasi di seluruh dunia.
Sama seperti gerakan anak STM, protes Greta juga dianggap “sudah ditunggangi”. Greta dianggap sebagai anak korban cuci otak oleh orang-orang kiri. Narasi Greta juga dianggap tidak murni dan hanya suara kampanya para ekstrimis lingkungan.
Hanya kerena bergerak di usia yang masih belia, mereka dianggap tidak kompeten bersuara. Tidak kompeten menentukan arah zaman. Mungkin para pecundang yang memandang rendah gerakan anak STM dan pelajar lainnya perlu membaca lagi sejarah lahirnya Sumpah Pemuda. Atau, jangan-jangan mereka bolos ketika pelajaran sejarah?
BACA JUGA Greta Dan Malala, Dua Remaja Perempuan Keras Kepala yang Berusaha Mengubah Dunia atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.