MOJOK.CO – Fadli Zon dilaporkan ke polisi setelah video Ternyata Mereka PKI menuai kritik keras dan menjurus fitnah. Apalagi ketika disebar lewat “rimba” media sosial.
Selasa, 25 September 2018, PSI resmi melaporkan kader Partai Gerindra, Fadli Zon, ke polisi. Kalau saya sudah menulis nama Fadli Zon, kamu tentu tahu kontroversi apa yang ia picu. Sebuah video yang ia beri nama Goyang Bebek Angsa dan diberi judul Ternyata Mereka PKI oleh media menjadi sebab.
“Sekarang kami sudah ada bukti laporan lengkap. Kita lihat perkembangannya seperti apa,” kata Rian Ernest, juru bicara DPP PSI.
Yang dibuat viral oleh Fadli Zon, masalahnya, berisi ujaran yang nadanya sangat negatif. Bahkan, kalau kamu bilang unggahan itu bernada fitnah pun benar belaka. Kira-kira, begini lirik lagu yang disematkan ke dalam video bermuatan sengit itu:
Potong bebek angsa masak di kuali
gagal urus bangsa maksa dua kali
fitnah HTI fitnah FPI
ternyata mereka lah yang PKI
fitnah HTI fitnah FPI
ternyata mereka lah yang PKI
Potong bebek angsa masak di kuali
gagal urus bangsa maksa dua kali
takut diganti Prabowo-Sandi
Tralalalala lala
takut diganti Prabowo-Sandi
Tralalalala lala
Allahu Akbar
Tuduhan PKI dan HTI itu sungguh sensitif di Indonesia ini, apalagi yang disebut kali pertama, apalagi di paruh akhir bulan September. Sebuah bulan di mana satu peristiwa mengubah wajah Indonesia. Sebuah peristiwa yang memakan tumbal, konon, jutaan warga Indonesia, para anggota partai komunis dan mereka yang tertuduh. Tanpa peradilan yang jernih, jutaan nyawa lenyap.
Setiap bulan September, setiap tahun setelah Orde Baru berkuasa, anak-anak hingga dewasa “diwajibkan” untuk nonton bareng film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI”. Film garapan Arifin C. Noer tersebut sudah menjadi menu wajib di bulan September. Anak-anak kelahiran tahun 1980an pasti punya rekam memori yang jelas terhadap film tersebut.
Apalagi ketika mendapatkan (bahkan hanya lewat tuduhan palsu) cap PKI di jidat, seseorang menjadi musuh bersama. Ia seperti menjadi bagian makar masa lalu ketika faktanya ia hidup di tahun 1990an. Oleh sebab itu, tuduhan sebagai kader PKI menjadi salah satu senjata di setiap kontestasi politik. Kampanye hitam hanya untuk mendiskreditkan orang yang tidak bersalah.
Pilpres 2014 seperti menjadi trigger sesuatu yang sudah begitu berbahaya, dibuat menjadi semakin mengkhawatirkan. Saat itu, Jokowi disebut sebagai anak PKI, anak makar, ketika maju di Pilpres 2014. Sepak terjang Obor Rakyat sempat membuat suasana politik Indonesia mendidih. Segala fitnah dijejalkan ke setiap lembar halaman majalah yang tidak berumur panjang tersebut.
Setelah awalan yang mengguncang dari Obor Rakyat, gema fitnah itu diperkaya dengan konten-konten yang kreatif di media sosial. Kreatif fitnahnya.
Facebook menjadi babakan yang liar. Platform media sosial ini membantu seseorang menulis sebuah narasai lebih lengkap, paragraf-paragraf panjang berisi konten kebecian. Dari sana, grup-grup WhatsApp, Youtube, dan Twitter memproduksi ulang konten fitnah yang kali pertama disebar lewat Facebook. Kalau tahun 2018 ini, Instagram menjadi primadona panggung fitnah.
Media sosial punya daya jangkau yang nisbi besar, apalagi ketika si penyebar fitnah punya lingkaran pertemanan yang luas atau punya pengaruh. Kata buzzer menjadi fenomenal. Lambat laun, makna kata “buzzer” menjadi negatif. Padahal, pada awalnya, “buzzer” punya makna sebuah profesi yang kerjanya membantu menyebarkan merek sebuah produk. Sangat jauh dari makna yang negatif.
Katakanlah Fadli Zon. Menengok akun Twitter beliau, ada lebih dari 905 ribu lebih followers. Misalkan ada 100 ribu followers dengan jumlah pengikut lebih dari 10 ribu, kamu bisa membayangkan daya jangkau akun Fadli Zon. Persebarannya sangat luas dan ini bisa sangat berbahaya.
Mengapa berbahaya? Sampai di sini, saya mau sedikit bercerita.
Beberapa tahun yang lalu, Fandom.id bekerja sama dengan Sleman Fans mengadakan sebuah diskusi di bilangan Ring Road Utara, Sleman, DIY. Pokok bahasan adalah keprihatinan kekerasan suporter sepak bola yang dipicu debat kusir di media sosial. Banyak aksi kekerasan suporter sepak bola yang berawal dari saling serang lewat bantuan papan ketik dan ketikus.
Diskusi terbuka tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan awal bahwa dibutuhkan pengawasan, edukasi, hingga sanksi jika dibutuhkan untuk meredam kekerasan suporter sepak bola yang dipicu kekuatan media sosial.
Selain kekerasan suporter sepak bola, beberapa kejadian tawuran pelajar juga diawali saling ejek di media sosial. Bahkan tidak jarang hingga memakan korban jiwa. Si pelajar yang terlibat dikenai hukuman. Tetapi, akar permasalahannya tidak pernah disentuh, yaitu potensi negatif dari media sosial. Semua terlihat sangat liar.
Nah, memasuki tahun panas, tahun politik 2019 ini, saya khawatir, potensi bahaya media sosial menemui puncaknya. Sesuatu yang sudah panas sejak 2014 akan semakin mendidih di tahun 2019 ketika elite politik sendiri menyebarkan hasutan. Bukannya kampanye damai, elite politik ini malah mengipasi api di dalam sekam.
Bukan hanya Fadli Zon saja sebetulnya. Kebetulan saja, si bapak ini punya nama besar dan sangat seksi untuk diserang ketika ia memproduksi konten kontroversial. Halo Partai Gerindra, tidak adakah teguran atau sanksi untuk kader yang begini?
Serangan dengan stigma PKI di paruh akhir September sudah seperti “gegar PKI”. Guncangan besarnya hanya terasa menjelang tanggal 30 September. Tetapi, pengarunya akan sangat awet ketika disebarkan oleh public figure dengan kekuatan pengaruh yang besar. Takutnya, panas tahun 2014 akan terbawa ke tahun depan. Fitnah itu bakal awet ketika ia diproduksi terus-menerus.
Ketika elite politik dengan pengaruh besar menyebarkan fitnah, kecenderungannya, para pendukung pasti mengamini. Jika sudah begini, potensi kekerasan pasti mengintip. Semoga ini hanya kekhawatiran saya saja.
Lagian, jika ingin menyerang Jokowi dan Ma’ruf Amin, sebetulnya banyak cara yang lebih elegan dan menarik. Tetapi ya enggak bakal saya kasih tahu. Nanti tim sukses Prabowo dan Sandiaga Uno makan gaji buta, enggak kerja tapi malah baca Mojok. Mending tahun depan saya bikin jadi konten. Lumayan buat menjaring pembaca pro Prabowo.
Pada akhirnya, rimba media sosial bisa menjadi hutan yang penuh mara bahaya tanpa pengawasan dan kesadaran dari mansianya sendiri. Kalau retorika dan deklarasi damai memang berfungsi, rimba media sosial bisa menjadi hutan yang asri, sejuk, dan menghidupi.