MOJOK.CO – Shopee tindas kurir, sementara status mitra ojol ternyata palsu. Kita sadar adalah masalah, tapi nikmatnya belanja online mematikan kesadaran itu.
Kampanye Shopee tindas kurir beberapa waktu yang lalu mulai berdampak. Ada banyak pernyataan dari netizen di media sosial yang bilang kalau mereka mulai pindah dari Shopee ke marketplace lainnya. Salah satu yang disebut adalah “marketplace ijo”. Yah, kamu tahu yang dimaksud.
Pernyataan pindah dari Shopee itu disambut baik oleh ratusan netizen lain. Banyak yang merasa ini keputusan yang tepat karena Shopee terlalu tega sama kurirnya. Rasa sesak karena pemotongan upah kurir Shopee Express, disusul aksi mogok, juga seperti dirasakan oleh konsumen.
Salah satu teman saya, seorang member platinum Shopee, bahkan mengaku udah malas checkout di marketplace ini. Bagi teman saya, hal yang bikin malas sama Shopee bukan cuma soal pemotongan upah kurir. Dia menjelaskan beberapa masalah yang disimpulkan dari sebuah pengamatan selama 2 minggu.
Pertama, Shopee lebih merekomendasikan toko luar negeri di pencarian dibandingkan toko anak negeri. Harga dari toko luar negeri memang lebih murah, meski selisihnya nggak banyak.
Kedua, ongkir yang mengejutkan. “Misalnya, kamu tinggal di Jogja, dibanding kamu ambil barang dari Jakarta atau Batam, akan lebih hemat ketika ambil barang dari luar negeri. Baik dari harga, maupun ongkir,” kata teman saya, member platinum Shopee itu.
Ketiga, Shopee membatasi pilihan jasa pengiriman. Nggak ada pilihan SiCepat, JNE, JnT, dan sebagainya. Mau nggak mau, kita terpaksa memilih Shopee Express. Yang bikin sedih, cuma bisa milih Shopee Express, eh upah kurirnya disunat, meski kata Shopee, upah rendah ini udah “kompetitif”.
Keputusan untuk nggak menggunakan Shopee bisa kamu temukan dengan mudah di Twitter. Ada yang mengakui kalau Shopee memang lebih lengkap dan murah dibandingkan Tokopedia, apalagi untuk produk fashion. Namun, perkara upah kurir yang disunat ini menjadi keprihatinan bersama.
Kurir, ojol, dan kemitraan yang semu
Nah, bicara soal kurir, ada dua hal yang agak mengganjal di hati saya. Pertama, soal upah, yang diklaim oleh manajemen Shopee kalau udah kompetitif setelah pemangkasan. Kedua, soal status mitra. Nggak cuma buat kurirnya Shopee Express, tapi driver ojol yang lain.
Pertama, soal upah yang disunat. Handhika Jahja, Executive Director Shopee Indonesia itu bilang: “Bisa dipastikan kalau remunerasi kurir kita, remunerasi mitra kita itu sangat kompetitif di pasaran dibandingkan bahkan perusahaan-perusahaan logistik lainnya. Memang ada penyesuaian dari harga, tapi dari sisi competition sama perusahaan logistik lainnya bisa dibilang harga kurir Shopee sangat kompetitif.”
Sebelum ada kabar pemotongan upah, rata-rata kurir “marketplace oren” ini adalah senilai Rp2.213 per paket untuk 80 paket per hari di Jabodetabek. Sementara itu, rata-rata upah kurir logistik lainnya antara Rp1.700 sampai Rp2.000.
Pertanyaan saya, itu kan harga kompetitif dari sisi pelanggan yang dapat fasilitas gratis ongkir. Bagaimana dengan sisi kurir? Pemotongan dari Rp2.000 menjadi Rp.1.500 dirasa sangat menyakitkan. Sekali lagi, kompetitif ini buat perusahaan dan pelanggan. Bukan “keberpihakan” untuk kurir.
Ketika kurir mogok kerja dan melakukan demo, pihak Shopee mengelak “dengan cantik”. Handhika Jahja menegaskan kalau status kurir kan mitra, jadi silakan saja mau masuk kerja atau nggak. Sekali lagi, kurir, para buruh ini, menjadi pihak yang ditekan oleh sistem dan status.
Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) dari Universitas Gadjah Mada baru saja menerbitkan hasil penelitian mereka terkait status mitra ojol dan kurir. Menurut IGPA, status mitra dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari memberi ojol jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja layak.
IGPA mewawancarai 290 ojol di DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Bali (Juni-Oktober 2020). Hasilnya, ada empat hal yang menyebabkan hubungan kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan seperti Gojek, Grab, hingga Maxim itu palsu.
Pertama, semua keputusan adalah wewenang perusahaan. Nggak ada ruang bersuara bagi ojol. Kedua, proses kerja ojol dikontrol sepenuhnya oleh perusahaan. Fungsi kontrol ini digunakan untuk mendisiplinkan ojol, sehingga membuat mereka harus kerja lebih disiplin, lebih lama, dan lebih berat lagi. Kontrol kerja dari perusahaan kepada ojol dilakukan melalui tiga cara: sanksi, penilaian konsumen, dan bonus.
Ketiga, monopoli akses informasi dan data. Akses dan data diatur oleh algoritma, menjauhkan ojol dari informasi tata kelola yang seharusnya saling menguntungkan. Keempat, aturan mitra ternyata bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia.
Status mitra ini kerap menjadi tema obrolan yang hangat. Tiga saudara saya, kebetulan, berprofesi sebagai driver ojol roda dua. Keluhan soal status dan pendapatan sering saya dengar ketika kami berkumpul untuk acara arisan di rumah. Dan sampai sekarang, meski isu ini disadari, ojol tidak bisa berbuat banyak selain aktif mengawal berbagai aturan dari perusahaan.
Selera masyarakat akan Shopee
Nah, sampai di sini, kita sebetulnya sama-sama tahu ada berbagai masalah di tengah kehidupan buruh; kurir dan ojol. Namun, kesadaran untuk bergerak membuat perubahan itu kayaknya kok sulit terjadi. Terutama yang berasal dari tengah masyarakat.
Februari 2021 yang lalu, iPrice merilis hasil sebuah laporan terkait perkembangan e-commerce selama 2020. Dari total rataan kunjungan di Indonesia sepanjang 2020, kunjungan ke Shopee ada di atas 90 jutaan. Tokopedia ada di angka 80 jutaan.
Melihat dari kunjungan bulanan, tercatat tertinggi pada Q4 2020. Shopee unggul dengan capaian hampir 130 juta kunjungan dan Tokopedia di kisaran 114 juta. Melihat lengkapnya produk, harga yang murah, dan fasilitas gratis ongkir, rasanya orang akan mudah melupakan berbagai masalah tentang kurir lalu kalap belanja lagi di Shopee.
Contohnya nggak usah jauh-jauh, deh. Istri saya sendiri, merasa Shopee itu lebih komplet dibandingkan marketplace lainnya. Sudah gratis ongkir, sering dapat cashback pula. Yang menarik adalah ternyata proses pembelian di Shopee lebih simpel ketimbang marketplace lain.
Beberapa teman saya juga menegaskan hal ini. Mereka sadar ada “yang aneh” dari upah kurir. Mereka juga sadar kalau status mitra ojol dan kurir ini palsu. Namun, mereka juga nggak menampik belanja di Shopee itu menyenangkan. Sudah seleranya begitu.
Akhir kata, sebetulnya kita sadar akan penderitaan sesama, sadar bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Namun, yang namanya manusia, jika dirinya tidak terancam secara langsung, tidak akan mudah tergerak hatinya.
Makin ke sini, sisi ego manusia rasanya semakin besar, sementara toleransi dan welas asih justru menciut.
BACA JUGA Driver Grab dan Gojek Berat Mengaspal, Istri “Dibuat Kerja” Bikin Masker dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.