MOJOK.CO – Pola-pola pelat merah ini sama, bukan. Jokowi yang main rahasia, PLN yang cuek, dan IndiHome yang maksa.
Selama dua bulan terakhir, saya menantikan betul saat-saat “gelombang 1” pandemi corona di Indonesia selesai. Paling nggak, kita bisa melihat indikasinya lewat curva pandemi corona yang setiap hari diperbaharui. Apa pasal? Kalau gelombang 1 selesai, paling nggak, di dalam kepala saya, situasi sudah “lebih aman” untuk apelin istri di Surabaya.
Ya maaf, sudah dua bulan lebih saya nggak ketemu istri. Dengan sabar, saya dan istri, menantikan melandainya curva pandemi dan pengumuman selesainya gelombang 1. Namun, hingga awal Juni 2020, harapan kami kok kayanya akan sia-sia belaka. Sampai awal Juni, curva pandemi masih terus menanjak. Kalau kayak gini, selesainya gelombang 1 cuma mimpi saja.
Namun, memang, Jokowi ini sungguh baik hati. Nggak pernah bosan “ngasih” kejutan untuk rakyatnya. Negara, kok, sukanya ngasih surprise ke rakyatnya. Ini negara kok “so sweat” banget. Iya, kejutan dari negara, bukannya terasa manis di dalam hati, justru bikin takut sampai berkeringat dingin. Kejutannnya, sih, sukses bikin terkejut. Terkejut, untuk kemudian geram, lalu pengin misuh.
Selasa (10/6), out of nowhere, no one, literally no one, but Jokowi, tiba-tiba mengingatkan rakyat. Jokowi bilang, menjelang transisi ke “the new normal”, jangan sampai kita semua menyebabkan datangnya gelombang 2 pandemi corona. Terdengar heroik, ya? Beliau bilang begini:
“Perlu saya ingatkan, jangan sampai terjadi gelombang kedua atau second wave. Jangan sampai ada lonjakan. Itu yang ingin saya ingatkan kepada kita semua,” kata Jokowi saat mengunjungi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di gedung Graha BNPB, seperti dikutip oleh beritasatu.com.
Maaf, ya Pak Jokowi, maaf sekali. Begini, Pak, kalau boleh saya bertanya, kapan ya gelombang 1 resmi selesai? Bukankah negara ini suka banget sama selebrasi dan perayaan. Masak, sih, “keberhasilan” pemerintah menyelesaikan gelombang 1 nggak dirayakan? Nggak dibikinkan tagar sampai trending topic sama buzzer-buzzer yang manis itu.
Kalau nggak dirayakan, nanti keberhasilan pemerintahan Jokowi diklaim orang lain, lho. Saya cuma mengingatkan saja, Pak. Ayolah, potong pita atau pesta kembang api itu minimal, Pak. Masak adem ayem dan terasa bijaksana sekali, sih. Selesainya gelombang 1 itu prestasu, lho Pak. Artinya, kita bisa masuk ke program herd immunity, eh salah, maksud saya, the new normal.
Atau paling nggak bikin poster dan baliho, Pak. Nanti foto Pak Jokowi dibuat mendominasi, paling besar. Tulisan: “Selamat atas berakhirnya Gelombang 1 Pandemi Corona” kecil saja. Biar nggak nyaingin gelombang tes pendaftaran CPNS, Pak. Ilustrator Mojok pasti dengan senang hati mengerjakan baliho itu secara pro-bono.
Tapi, sebentar, Pak Jokowi, setelah saya cek lagi, curva pandemi corona kok belum turun, ya? Kalau melihat datanya, curva pandemi corona itu masih menuju puncak gemilang cahaya, Pak. Macam Akademi Fantasi Indosiar. Entar kalau Pak Jokowi mau cabut dari Istana Negara di akhir masa mengabdi kepada rakyat, keluarnya bawa koper, ya.
Curva pandemi belum turun, tapi kok kita udah masuk gelombang 2. Ahh, maaf kalau saya lancang, Pak. Di negara ini, negara dan “wong ayu” selalu benar, ding.
Perlahan-lahan, saya jadi maklum, kalau Bapak mendiamkan rakyat di tengah kebingungan. Bingung, ini gelombang 1 kapan selesainya, eh udah mau gelombang 2. Mending, Pak, kalau cuma ketinggalan season 1 The World of The Married udah muncul season 2. Bisa diulang, nonton dari awal. Kalau corona? Apa ya mau merasakan dulu dari awal gelombang 1?
Saya agaknya paham maksud Pak Jokowi mendiamkan rakyat. Kalau nggak tahu, rakyat kan jadi nggak tanya macam-macam. Kalau nggak tanya macam-macam, nggak ada yang namanya kritik. Kalau nggak ada kritik, nggak ada yang bikin status FB lalu kena pasal makar. Kalau nggak ada kritik, pemerintah kan kerjanya nyaman. Begitu, Pak?
Pola kayak gini bikin saya jadi maklum kalau PLN ya cuek sama anomali kenaikan tarif listrik. Tinggal bilang saja kalau PLN nggak ada program menaikkan tarif listrik. Titik. Sudah, begitu saja. Biarin saja tukang las kena tarif 20 juta. Entar juga pada lupa. Selain negara cuek, Indonesia kan negara pelupa. Santuy aja.
Ahh, saya jadi teringat IndiHome, yang mengharuskan calon pelanggan untuk “sewa modem”. Iya, modem dari IndiHome itu cuma disewain, per bulan Rp80 ribu. Padahal, harga modem itu cuma Rp300 ribu. Empat kali bayar, lunas itu modem. Tapi tidak, tidak. IndiHome mengharuskan kita sewa.
Kalau mau pakai modem sendiri, petugasnya ngambek. Katanya udah bundling, udah satu paket. Harus pakai modem mereka. Pola-pola pelat merah ini sama, bukan. Jokowi yang main rahasia, PLN yang cuek, dan IndiHome yang maksa. Di satu sisi saya bangga, orang pemerintah ini kompak sekali, ya. Salut, saya.
Yah, begitulah nasib rakyat. Antara biasa dibohongi, dicuekin, dan dipaksa. Kalau ngeyel, dianggap makar, padahal cuma kritik. Kalau ngeyel, dihantam sama buzzer. Udah, terima aja nasib rakyat. Di sini, nggak ada yang gratis. Lha wong mati saja bayar.
BACA JUGA Rakyat Protes New Normal, Pemerintah Berlalu atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.