MOJOK.CO – Arsenal dan Manchester United boleh dianggap sebagai badut Liga Inggris. Namun, pada akhirnya, yang menjadi pecundang sejati tetap Spurs yang spursy itu.
Ketika Arsenal “terdampar” di posisi 15, fans Tottenham Hotspur begitu bersemangat merayakannya. Menurut mereka, Arsenal dan Tottenham tidak pantas untuk disebut dalam satu kalimat. Fans Spurs memandang dirinya sebagai calon juara, sementara Arsenal calon degradasi.
Masih menurut fans Spurs, Arsenal cuma pantas “ngobrol” dengan Fulham dan Brighton. Dua klub yang waktu itu juga tengah berjuang menjauh dari zona degradasi. Maju ke Januari 2021, Spurs seperti memakan tahi yang mereka semburkan di paruh awal musim.
Pada 14 Januari 2021, Fulham menahan imbang Spurs dengan skor 1-1. Ketika melawan Brighton pada 31 Januari 2021 waktu Indonesia, mereka kalah dengan skor 0-1. Kini, calon degradasi, Arsenal, cuma berjarak dua poin saja dari Spurs, yang katanya calon juara itu.
Saya cukup sering menulis dan menekankan bahwa di sepak bola, sejarah itu selalu berulang. Dan bagi Spurs, sejarah mereka dikenal dengan istilah spursy. Sejarah klub medioker yang tak pernah tahan menghadapi derasnya ekspektasi.
Sejarah menjadi pecundang itu berulang setiap tahun. Terutama ketika Spurs merasa dirinya bakal menjadi “kandidat juara”. Ya, mereka bahkan tidak kuat untuk memikul beban “kandidat”, belum lagi jika peluang menjadi juara itu terbuka. Oleh sebab itu, istilah spursy menjadi begitu lekat.
Urban Dictionary bahkan sudah memasukkan kata “spursy” sebagai entri mereka. Kata tersebut diberi makna ‘secara konsisten dan pasti gagal memenuhi ekspektasi’. Arsenal dan Manchester United boleh dianggap badut Liga Inggris. Namun, keduanya bukan pecundang kebablasan seperti Spurs.
Arsenal dan Manchester United boleh dianggap badut Liga Inggris. Ketika kesempatan untuk memanjat klasemen terbuka, dua klub ini biasanya malah tersungkur. Namun, ada kalanya Arsenal dan Manchester United menemukan performanya dan sedikit lebih konsisten.
Beberapa tahun ke belakang, Spurs memang selalu mengakhiri musim di atas Arsenal. Bahkan kedatangan Jose Mourinho diprediksi membuat mereka bisa menyalip Manchester United di klasemen. Rasa percaya diri yang berlebihan itu muncul dan seperti punya pola seperti musim-musim sebelumnya.
Beberapa penyebab kegagalan Spurs mulai muncul. Pertama, konsistensi yang menguap. Dari sembilan laga terakhir, mereka hanya bisa memenangi dua laga saja. Bahkan mereka kalah dari Brighton yang dibacotin sejajar dengan Arsenal sebagai calon degradasi.
Tahukah kamu, saat ini Brighton ada di posisi 17 dan unggul tujuh poin dari Fulham di zona degradasi. Kegagalan Spurs menunjukkan respect kepada tim lain menggigit kaki mereka sendiri. Hasilnya, sifat spursy itu kembali muncul. Terutama setelah kalah dari Liverpool.
Sebelum melawan Liverpool, Spurs dijagokan untuk menang. Juara bertahan tengah berada dalam situasi krisis bek tengah. Inilah penyebab kegagalan kedua, ketika Spurs tak punya solusi di tengah masa sulit. Cederanya Harry Kane berdampak masif terhadap cara mereka menyerang.
Kesulitan ini terbawa ke laga melawan Brighton. Ketika Brighton bertahan dengan garis pertahanan rendah, Spurs tak punya solusi. Setelah pertandingan berakhir, Mourinho menganggap self-esteem para pemainnya begitu rendah dan tengah menderita karena kesedihan.
Mourinho memang jago merangkai kata ketika berbicara di depan wartawan. Namun, yang saya heran, dia seperti tidak belajar bahwa kalimat-kalimat sindiran itu sering menyakiti pemainnya sendiri. Kalimat-kalimat itu pula yang acap membuat hubungan pelatih dan pemain menjadi lebih buruk.
Ketika kontrol terhadap ruang ganti mulai sirna, Mourinho bakal kesulitan. Biasanya, kutukan pelatih asal Portugal ini baru akan terasa di tahun ketiga. Namun, kini, banyak yang memprediksi kutukan itu sudah muncul bahkan di tahun pertama dia melatih Spurs. Ya, Mourinho memang selalu gagal lalu dipecat di tahun ketiga menukangi sebuah klub.
Oleh sebab itu, pada titik ini, Spurs dan Mourinho seperti punya kecocokan. Sama-sama punya bakat spursy ketika ekspektasi meningkat lalu pada akhirnya gagal. Istilah “jangka panjang” seperti tidak ada dalam kamus mereka.
Spurs bakal melewati jadwal berat. Di Februari 2021 ini, mereka akan menghadapi Chelsea, Manchester City, dan West Ham. Chelsea sudah menemukan pola di bawah pelatih baru, Thomas Tuchel. City sudah semakin konsisten setelah Guardiola mengubah pendekatannya, sementara itu West Ham, yang duduk di peringkat lima, masih konsisten juga.
Spurs boleh menyimpan satu laga lebih banyak dari beberapa pesaing di 10 besar. Namun, melihat kebiasaan mereka untuk gagal di periode penting, tabungan laga itu menjadi tak punya nilai. Jika Chelsea, Everton, Aston Villa, dan Arsenal menemukan performanya kembali, posisi Spurs akan semakin terjepit.
Jika kegagalan itu kemudian memang terjadi, tidak akan ada yang heran. Arsenal dan Manchester United boleh dianggap sebagai badut Liga Inggris. Namun, pada akhirnya, yang menjadi pecundang sejati tetap Spurs yang spursy itu.
BACA JUGA Real Madrid, Gareth Bale, dan Cara Cantik ‘Mengerjai’ Klub Tak Berdaya Bernama Tottenham Hotspur dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.