MOJOK.CO – Aubameyang dan Lukaku, dua manusia yang terus belajar tanpa melihat usia. Arsenal dan Inter harus bersyukur memiliki pemain seperti mereka.
Jean-Paul Sartre, filsuf dari Prancis, pernah berujar bahwa sepak bola itu menjadi rumit karena keberadaan lawan. Namun, pada kenyataannya, sepak bola menjadi rumit bukan hanya karena ada lawan di lapangan. Inkonsistensi dan faktor cedera yang membuat segalanya menjadi runyam.
Sudah tidak konsisten, menderita cedera yang berpotensi mengakhiri karier, hingga ambruknya kepercayaan diri. Atas nama segala kerumitan tersebut, seorang pesepak bola bisa menjadi sosok yang rapuh. Dia yang tak bisa mengatasi tekanan, bakal tertinggal.
Minggu ini, ada dua pemain yang tengah berjuang. Yang satu tengah mencari kepercayaan diri yang pernah membuatnya menjadi salah satu poacher mematikan di dunia. Satunya lagi tengah bekerja begitu keras untuk mempertahankan konsistensi demi klub dan dirinya sendiri.
Aubameyang, katarsis Arsenal itu, “menghilang” selama beberapa waktu. Keberadaan dirinya di atas lapangan tidak terasa. Rasio gol atau asis kapten Arsenal itu turun drastis. Saya tidak akan masuk ke detail angka. Namun, satu yang pasti, menghilangnya Aubameyang berdampak besar kepada Arsenal.
Sementara itu, bersama Inter, Lukaku akhirnya menemukan tempat yang bisa disebut rumah. Dia lebih dihargai. Dia merasa dibutuhkan. Dia lebih dilindungi. Lukaku tidak lagi menjadi objek ledekan oleh fans, tetapi protagonista yang membawa Inter ke puncak klasemen Serie A untuk sementara.
Minggu ini, keduanya mencatatkan rekor. Aubameyang mencetak 200 gol ketika bermain di lima liga top Eropa. Kini, total golnya untuk klub dan negara sudah mencapai 303 gol.
Bersama Inter, kini Lukaku mencatatkan rekor 300 gol untuk klub dan negara. Satu hal yang luar biasa adalah Lukaku melakukannya di usia 27 tahun! Catatan yang tidak bisa diremehkan mengingat usianya yang terbilang masih sangat muda untuk rekor ini.
Sebagai perbandingan, hanya Lionel Messi yang mampu membuat 300 gol dengan usia yang lebih muda (25 tahun). Sementara itu, Cristiano Ronaldo, membuat 300 gol di usia 27 tahun. Sama seperti usia Lukaku saat ini. Lewandowski dan Luis Suarez, dua striker top Eropa, melakukannya di usia 28 tahun.
Melihat rekam jejak klub yang dibela, Lukaku terbilang istimewa. Jika Messi dan Ronaldo menabung ratusan gol bersama dua klub dari galaksi yang berbeda, Lukaku melakukannya bersama Everton dan West Bromwich Albion. Untuk dua klub “semenjana” ini, dia membuat 104 gol! Apakah Messi dan Ronaldo bisa melakukannya? Eits, belum tentu.
Catatan 300 gol Lukaku bukan semata kemampuan teknisnya dengan bola. Kelebihan striker asal Belgia ini justru ada di dalam otak dan kemauannya untuk terus belajar.
Kompilasi video meme seperti mengubur citra diri Lukaku sebenarnya. Tak banyak yang mengetahui bahwa semangat belajarnya sangat luar biasa. Dia menunjukkan determinasi tinggi untuk semakin berkembang.
“Sejak kali pertama saya berbincang dengannya, saya tahu bahwa Lukaku bukan tipikal “nomor 9”, penyerang tengah, atau penyerang yang hanya mengandalkan tenaga,” ungkap Roberto Martinez, mantan pelatih Lukaku di Everton dan pelatihnya saat ini di timnas Belgia.
“Lukaku adalah seorang pemikir. Ia sosok yang berpengetahuan luas. Dia berbicara enam atau tujuh bahasa (Prancis, Belanda, Inggris, Spanyol, Italia, dan Portugis) dan memandang sebuah pertandingan dengan sudut pandang yang berbeda. Dia seperti seorang manajer jika melihat caranya menganalisis sebuah pertandingan. Saya terkejut dengan caranya menganalisis. Dia bisa menjelaskan sebuah pertandingan, menjelaskan pergerakan pemain, pokoknya sebuah percakapan yang tak akan Anda alami bersama remaja berusia 20 tahun,” tambah Martinez beberapa tahun yang lalu.
Menyitir kalimat Martinez, bisa dibayangkan bahwa sejak usia awal 20 tahun, Lukaku sudah punya cara pandang yang berbeda ketimbang anak remaja seusianya. Dia bisa menganalisis sebuah pertandingan dengan hasil yang memuaskan, bahkan membuat seorang pelatih terkejut dengan kemampuannya ini.
Fakta ini tak akan terjadi apabila Lukaku tak punya level kecerdasan yang dibutuhkan. Dia juga tak akan bisa menggali informasi sedalam itu tanpa niat belajar yang tinggi. Lukaku adalah sosok yang tekun. Dia memahami bahwa pengetahuan adalah senjata.
“Ketika menonton sebuah pertandingan, saya seperti tahu apa yang akan terjadi. Saya tahu pola mereka karena saya sudah membuat analisis pergerakan pemain. Seperti setiap kali kami melawan Arsenal, saya tahu yang akan dilakukan pemain mereka, seperti misalnya pola mereka berlari (bergerak). Dan biasanya analisis saya tepat,” ungkap Lukaku ketika masih berseragam Everton.
Bagaimana cara Lukaku memproses analisis di tengah pertandingan?
“Ketika berada di posisi tertentu di lapangan, saya selalu membayangkan posisi gawang dan penempatan posisi bek lawan. Dari situ, saya tahu harus bagaimana. Anda harus punya kesadaran posisi. Mengapa? Karena kesadaran akan posisi adalah yang paling penting dalam sepak bola,” jelas Lukaku.
“Saya punya banyak video pemain di komputer saya. Dan saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk menontonnya. Saya mencoba menganalisis kekuatan mereka, mencontohnya sedikit, lalu melatihnya saat sesi latihan. Saya suka menonton sepak bola dan saya senang menganalisis pemain lain,” tambahnya.
Sekali lagi, pernyataan seperti itu tak akan lahir dari pemain semenjana, yang hanya bermain bola dengan “menendang bola” saja, tanpa ada usaha untuk memahami lebih lanjut. Determinasi untuk belajar membangun siapa kamu saat ini. Sepak bola tak hanya soal teknik dan bakat. Sepak bola adalah soal kerja keras dan kemauan untuk terus berkembang.
Ledekan tidak bisa mengontrol bola dengan tepat akan terus menghantui Lukaku. Namun, ledekan itu tidak akan mencegahnya untuk tidur nyenyak di malam hari. Dia sudah membuat 300 gol dan mengantar Inter ke puncak. Dia tidak perlu memberi bukti kepada para pembenci.
Usaha memberi bukti justru harus dilakukan Aubameyang. Sebagai kapten, dia tidak boleh terlihat lebih lemah dibandingkan para pemain muda. Sebagai kapten, dia harus menjadi mercusuar Arsenal.
Aubameyang pernah memikul tim Arsenal sendirian ketika masih dilatih Unai Emery. Dia boleh merasa lelah dan “menghilang” dari pertandingan. Namun, sekali lagi, sebagai kapten, dia harus terus mencari performa terbaik untuk rekan-rekan yang dia pimpin.
Pada akhirnya, sepak bola adalah soal pencarian. Antara validasi akan pengaruh di atas lapangan atau memberi bukti bahwa dirimu mampu. Aubameyang dan Lukaku, contoh dua manusia yang terus belajar tanpa melihat usia. Terus berusaha meski dunia menertawakan kelemahanmu.
BACA JUGA Ketika Striker Inter Milan, Romelu Lukaku, Lebih Tajam Ketimbang AC Milan dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.