MOJOK.CO – Kedatangan Cristian Gonzales dan gerbong pemain mahal ke PSIM Yogyakarta malah melahirkan kecemasan. Bagaimana cara memandang perasaan janggal ini?
Mencintai PSIM Yogyakarta adalah soal mengagumi kesederhanaan dalam keseharian. Bagi warga Kota Jogja dua dekade yang lalu, datang ke stadion demi Parang Biru berlaga bukan sebatas menonton pertandingan.
Ada usaha menjaga tali silaturahmi hingga reuni dengan teman lama yang hanya bisa ditemui di stadion. Bapak saya gemar betul melakukannya. Duduk bersama teman-teman lamanya, yang dahulu sering duduk melingkar di tribun Stadion Kridosono untuk main judi. Atau di lain kesempatan, duduk bersama teman-teman kampung sebelah, yang biasa duduk di tribun utara Stadion Mandala Krida.
Guyub, mereka saling bertukar rokok, menanyakan kabar, sesekali mengangsurkan gelas air mineral yang berisi ciu. Menonton sepak bola menjadi budaya yang diwariskan. Bukan soal “bola” itu sendiri, tetapi usaha menghargai keberadaan sesama dengan sapa. Oleh sebab itu, terkadang prestasi klub tidak terlalu diambil pusing.
Sesekali harapan itu tentu muncul. Melihat PSIM Yogyakarta menjadi sosok yang dianggap penting di sepak bola Indonesia. Namun, ketika tak bisa mencapai cita-cita itu, ya sudah, nrimo ing pandum, iklas, legowo. Mencintai PSIM adalah soal mencintai budaya, yang dibalut dengan kesederhanaan.
Dua musim ke belakang, ketika klub ini hanya bisa berlaga dengan modal pas-pasan, suporter tidak mengajukan tuntutan yang muluk. Bisa berlaga dengan pemain-pemain muda, bermain dengan konsep modern asuhan Coach Erwan Hendarwanto. Bahkan, PSIM menjadi satu dari sedikit tim di Indonesia, baik Liga 1 maupun 2 yang bisa bermain semodern itu.
Ketika tampil dengan kondisi minus sembilan poin, hanya bermodalkan pemain-pemain muda dan murah, Coach Erwan mampu menghadirkan kejutan. Minus sembilan bisa dibabat habis, bahkan terbuka peluang lolos ke delapan besar. Namun, ketika gagal, ya sudah, nrimo ing pandum, memahami kekurangan tim tidak lantas melunturkan cinta.
Musim ini, perubahan drastis sedang dan sudah terjadi. Bambang Susanto, CEO anyar PSIM, pengusaha, datag membawa dana besar. Pembenahan dilakukan dengan kecepatan yang mengejutkan. Beberapa pemain lama tak lagi dipakai. Banyak pemain baru, terutama dari Bogor FC yang ditarik masuk.
Mulai dari pelatih, pemain kunci, hingga pemain bintang, semuanya baru. Raphael Maitimo yang kali pertama datang. Lalu disusul pelatih baru, Vladimir Vujovic. Selanjutnya, beberapa pemain baru datang juga. Dan akhirnya, Cristian Gonzales, yang sudah dirumorkan sejak lama, akhirnya berseragam PSIM juga.
keberadaan investor baru dengan modal besar sudah pasti membawa perubahan. Ya dari konsep bermain, pemilihan pemain, hingga brand PSIM sendiri. Sesuatu yang pasti di sepak bola hanya satu, yaitu perubahan itu sendiri. Selebihnya tidak ada yang abadi. Termasuk identitas klub.
Termasuk ke identitas klub. Secinta apapun investor ke klub, ia membawa misi supaya modalnya tidak sia-sia. Dan sering terjadi, benturan antara idealisme dan bisnis. Perlu ada keseimbangan di sini.
Sepak bola adalah industri yang hidup, dan nilainya sangat besar. Investor mungkin akan membawa ideologi dan paradigma mereka sendiri. Mereka akan mengubah sesuatu di dalam tubuh PSIM yang tidak lagi kompatibel dengan zaman. Salah satu yang perlu diperhatikan betul adalah soal ekspektasi. Oh, jangan salah, ini unsur yang berbahaya.
Cristian Gonzales, kita ambil contoh. Boleh dikata, mantan pemain Persik Kediri ini adalah striker paling tajam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Namun, di usia yang sudah menginjak 42 tahun, kegemukan, dan stamina yang jauh menurun, ia bukan lagi Cristian Gonzales yang dahulu.
Anggapan ini bahkan sudah ada ketika Cristian Gonzales bermain untuk PSS Sleman musim lalu. Namun, lagi dan lagi, ia bisa memberi bukti bahwa rajin bikin gol bukan soal usia, melainkan teknik dan mental. Keberadaan Cristian Gonzales tidak hanya penting di lapangan, melainkan juga di ruang ganti.
Keberhasilan Cristian Gonzales membawa PSS promosi menjadi unsur tambahan yang tidak perlu untuk saat ini. Jujur saja, semua unsur suporter PSIM ingin menyaksikan peristiwa yang sama. Promosi, bermain di kasta paling tinggi. Namun, bagaimana bila cita-cita itu tidak terjadi?
Gerbong pemain baru dan mahal bukan jaminan masa depan klub. Apalagi pemain-pemain mahal itu sudah tidak lagi berada dalam level terbaik. Ini seperti jebakan situasi. Ketika level tidak lagi tinggi, tetapi ekspektasi makin besar, yang ada biasanya hanya kekecewaan.
Pertanyaannya adalah, ketika gagal promosi, apakah investor akan pergi begitu saja? Inilah pentingnya mengatur dua ekspektasi besar, yaitu manajemen dan suporter.
Uang banyak sudah dikeluarkan. Harapannya tentu promosi. Namun, sepak bola itu sulit ditebak. Bagaimana bila gagal? Apakah manajemen akan “Yawis, cabut saja. Cari proyek di tempat lain?” Klub yang sehat adalah klub menyiapkan diri untuk jangka panjang. Bukan untuk hore-hore saja satu musim. Itu kayak berjudi, lalu udahan kalau kalah. Jangan sampai bisa promosi, tapi keteteran menyiapkan diri. Lihat manajemen tetangga lor ndeso.
Manajemen juga tidak boleh hanya menjadikan musim depan sebagai patokan gagal/tidaknya investasi. Membangun pondasi itu perlahan, semuanya diukur dan dikerjakan. Tim utama dibenah, tapi jangan lupa akademi, kesehatan pemain, perencanaan keuangan pemain, dan lain-lain.
Nah, buat suporter, yang paling sulit adalah tetap mendukung tanpa mengeluh, ketika proyek berharga mahal tidak berhasil. Saat itulah, dukungan suporter menjadi yang paling dibutuhkan. Menyatukan pemain baru, ide pelatih yg baru, dengan tulang punggung pemain lama itu nggak gampang.
Jangan lantas menarik diri ketika semuanya tidak berjalan dengan baik untuk PSIM. Pada titik ini, pemikiran jangka panjang, selaras dengan manajemen harus dibangun dan dijaga. Manajemen mau membuka diri dan berdialog itu sangat baik. Sangat jarang klub lain melakukannya. Ini menunjukkan kalau guyub itu masih ada. Musim depan, adalah musim terberat bagi PSIM di sepanjang sejarahnya.
Ujian kedewasaan dan kesungguhan hati yang sesungguhnya muncul ketika kamu punya uang atau kekuasaan. Ini ujian soal menjadi “manusia” sebenarnya, yg terwujud dalam klub, pemain, dan suporter.
Kedatangan Cristian Gonzales dan gerbong pemain mahal justru melahirkan kecemasan-kecemasan itu. Proyek berisiko tinggi seperti ini sudah jamak terjadi di sepak bola Indonesia. Dan, biasanya tidak berakhir dengan baik. Harapannya tentu PSIM bakal bisa terus bertahan, bahkan apabila kelak Pak Bambang cabut.
Orang yang sayang akan sesuatu selalu waspada dengan mara bahaya. Ia nggak ingin “yang tersayang” tersakiti oleh bahaya itu. Makanya, ketika semua tampak baik, jangan merasa aneh kalau saya cemas.
AYDK