MOJOK.CO – Juventus tidak lagi menjaring ikan berkualitas. Mereka tengah menyeleksi dan menjaring ikan raksasa bermental juara. Cukup untuk menguasai Eropa, Nyonya?
Sisi lain Turin, Mei 2006, diselimuti awan gelap. Juventus, untuk kali pertama, degradasi ke Serie B. Skandal Calciopoli, mempreteli fisik dan sejarah Si Nyonya Tua secara paripurna. Aib itu akan bertahan selamanya, menjadi gores hitam di sepanjang langkah. Hingga 2019, hingga bertahun-tahun nanti, mereka akan diasosiasikan dengan kejahatan.
Skuat yang memang sudah menua itu dipreteli. Beberapa bintang enggan bermain di Serie B. Lillian Thuram, Fabio Cannavaro, dan Zlatan Ibrahimovic hengkang. Namun, mereka yang “berdarah dan menangis hitam dan putih” masih setia untuk berjuang. Mereka adalah Gianluigi Buffon, Alessandro Del Piero, David Trezeguet, Mauro Camoranesi, dan Pavel Nedved.
Blessing in disguise, permata muda dipromosikan ke tim utama dan salah satunya menjadi kesayangan Juventus. Mereka adalah Sebastian Giovinco dan Claudio Marchisio. Kesetiaan para kesatria tua, ditemani pasukan-pasukan muda, sukses membawa Si Nyonya Tua kembali ke kerajaan tempatnya berada: Serie A, dengan Del Piero dan 21 golnya, menjadi pencetak gol terbanyak.
Ditinggal pergi pemain bintang adalah sebuah keniscayaan. Semua klub bakal merasakannya. Namun, ketika degradasi, Juventus harus merelakan dua Scudetto diberikan kepada Internazionale secara cuma-cuma. Sebuah corengan arang di dahi. Bagi orang Jepang, corengan arang di dahi adalah analogi penistaan paling pahit.
Juventini seluruh dunia tak bakal mau mengakui kalau dua Scudetti itu sudah lepas. Meski diiringi oleh bau tak sedap, status juara adalah segalanya. Sementara itu, seperti komedian tidak lucu, Interisti tertawa-tawa sendiri. Menertawakan rival mereka, mengumpulkan candaan kodian dan lambat laun tak lagi relevan.
Betul, tak lagi relevan, apalagi kalau kamu melihat delapan tahun terakhir. Si Nyonya Tua bersolek, paling stylish, paling modern. Ia seperti atlet paling kompeten, seperti anak jenius, yang seperti sudah berusaha berlari, ketika rival yang lain baru belajar merangkak. Juventus, yang dirundung, justru yang paling peka membaca tanda zaman.
Oh, jangan salah, Juventus tidak melewati rute yang nyaman setelah kembali ke Serie A pada musim 2007/2008. Mulai dari Claudio Ranieri, Ciro Ferrara, Alberto Zaccheroni, Luigi Delneri, hingga Antonio Conte. Fondasi itu dibangun dengan bahan kekecewaan. Sebuah noktah hitam yang justru menjadi pelecut motivasi.
Konsep hidup Si Nyonya Tua berubah ketika Andrea Agnelli menjadi Presiden. Alessio Secco dan Beppe Marotta menjadi tangan kanan dan kiri. Kebijakan berubah, revolusi dimulai. Kita harus memutar waktu hingga musim 2007/2008 untuk melihat perubahan kebijakan. Salah satunya pembelian pemain. Pembelian sukses dengan harga murah dimulai dari sosok Tiago, Vincenzo Iaquinta, dan Domenico Criscito. Harga masing-masing tidak lebih dari 12 juta euro.
Kebijakan Juventus membeli pemain dengan harga murah berlanjut ketika Paolo De Cigle dibeli dari Siena hanya dengan 5 juta euro. Saat itu musim 2008/2009 ketika mereka mendatangkan Antonio Chimenti dan Olof Mellberg secara gratis. Sebuah platform yang bertahan hingga saat ini.
Martin Caceres dan Fabio Grosso. Kombinasi keduanya membuat manajemen hanya perlu keluar uang sebesar 3 juta euro. Dana belanja bisa dialokasikan untuk menjaring kualitas dalam diri Diego Ribas (25 juta euro) dan Felipe Melo (23 juta).
Pembelian luar biasa murah dengan kualitas tinggi hadir di musim 2010/2011. Gerbong kualitas itu diisi Leonardo Bonucci (14 juta euro), Fabio Quagliarella (loan-5 juta), Simone Pepe (loan-3 juta), Andrea Barzagli (300 RIBU euro), dan Luca Toni (gratis). Rombongan pemain yang menjadi tulang punggung, baik di Juventus, maupun di klub lain.
Setelah itu, Si Nyonya Tua melanjutkan kecemerlangan mereka di meja negosiasi dengan mendatangkan pemain-pemain kelas A dengan harga murah. Mulai dari Mirko Vucinic, Arturo Vidal, Stephan Lichsteiner, Emanuele Giaccherini, dan yang sensasional: ANDREA PIRLO (secara gratis). Dominasi Juventus berlanjut, diwarnai pemain-pemain sepeti Carlos Tevez (10 juta), Daniele Rugani (5 juta), Patrice Evra (2 juta), Kingsley Coman (gratis), dan Alvaro Morata (20 juta).
Ketika keuangan sudah semakin stabil, manajemen berani menjaring kualitas kelas kakap. Paulo Dybala (37 juta), Alex Sandro (25 juta), Mario Mandzukic (20 juta). Semakin meningkat ketika memboyong pencetak gol terbanyak Gonzalo Higuain (83 juta), Miralem Pjanic (30 juta), Federico Bernardeschi (37 juta), Blaise Matuidi (24 juta), dan Juan Cuadrado (20 juta).
Platform menjaring dengan cerdas masih dipertahankan ketika berhasil menarik Wojciech Szczesny (12 juta euro) dari Arsenal dan Mattia De Sciglio (12 juta) dari AC Milan. Salah satu strategi adalah meminjam lalu membeli. Juan Cuadrado dan Douglas Costa menjadi contoh. Seiring pembangunan stadion yang sukses mendatangkan pemasukan besar, Juventus bersalin muka menjadi salah satu “nelayan besar” di bursa transfer dunia.
Kedatangan Cristiano Ronaldo mengubah citra klub ini. olok-olok Calciopoli seperti tenggelam di tengah dominasi, baik di atas lapangan maupun di meja negosiasi. Rival mereka seperti kesulitan mengejar. Bayi yang masih merangkak, selamanya memang tak akan bisa mengejar anak remaja yang sudah berlari dan punya gairah tinggi.
Juru transfer Juventus penerus Luciano Moggi: Fabio Paratici!
Selain Atletico Madrid, aman untuk diklaim kalau Juventus adalah pemenang di bursa transfer. Budget belanja yang besar, kestabilan prestasi, dan citra yang semakin mengilap membuat Si Nyonya Tua masih punya vitalitas untuk bersaing. Dan, di balik kecemerlangan itu, ada nama Fabio Paratici.
Laki-laki berusia 47 tahun kelahiran Borgonovo Val Tidone, masuk Provinsi Piacenza, punya pesona sendiri. Ia duduk di meja perundingan dengan pengetahuan yang luas. Sebagai seorang anak presiden sebuah klub kecil, Paratici menguasai penuh strategi bisnis. Membeli pemain sudah seperti seni bagi Paratici.
Paratici adalah laki-laki dengan gairah yang sangat tinggi kalau bicara soal pengetahuan. Sikap yang membuatnya punya segala modal untuk duduk di meja perundingan. Memancarkan percaya diri dan kepercayaan penuh, seperti citra Juventus selepas awan gelap Calciopoli itu mulai sirna.
Paratici adalah sosok yang realistis. Ketika bicara empat mata dengan Jorge Mendes, Paratici masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ketika sedang bernegosiasi untuk mendatangkan Joao Cancelo, Paratici mendapat bisikan secara langsung dari Mendes kalau Ronaldo ingin hengkang dari Real Madrid dan sudah ingin datang ke Turin.
Anak laki-laki Paratici pernah berkata kalau dirinya ingin klub membeli Ronaldo. Saat itu, Paratici hanya bisa menjawab kalau keinginan anaknya adalah sesuatu yang tidak mungkin. Namun, ketika terbuka sebuah kesempatan, berbekal pengetahuan dan kelihaian di atas meja perundingan, Paratici menjaring Ronaldo tanpa pikir dua kali.
Agnelli bisa diyakinkan. Hanya butuh waktu 3 jam bagi Agnelli untuk memikirkan proposal Paratici. Ronaldo bukan hanya meningkatkan kualitas tim. Kontribusi terbesar Ronaldo ada di masa depan, di citra dan pesona klub, di kas klub, dan menjadi wajah klub sendiri. “Ini klub mau juara.” Nama Ronaldo menggemakan gairah itu.
Maka tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan remaja paling cemerlang saat ini, Matthijs de Ligt untuk bergabung. Bek Ajax berusia 19 tahun itu berstatus kapten dengan kedewasaan dan kualitas seperti veteran. Harga pasar Matthijs de Ligt diperkirakan lebih dari 100 juta euro, apalagi dengan Barcelona, Paris Saint-Germain, dan Liverpool sibuk membuntuti.
Boleh kamu bilang kalau negosiasi Matthijs de Ligt berjalan lambat. Ajax dan Juventus kesulitan menyelesaikan detail transfer. Ketika nego transfer ini dirasa bakal lama dan membuat klub mengeluarkan dana besar, Paratici memberi kejutan. Juventus, per 19 Juli 2019, resmi mendapatkan tanda tangan Matthijs de Ligt dengan harga 70 juta euro saja! Jauh dari perkiraan awal yang menyentuh 100 juta euro.
Juventus tidak lagi menjaring ikan berkualitas. Mereka tengah menyeleksi dan menjaring mental juara. Platform lawas namun efektif masih dipertahankan ketika menjaring Aaron Ramsey, Adrien Rabiot, dan Gigi Buffon secara GRATIS!
Maka, semuanya terangkum menjadi satu pertanyaan utuh: Apakah mental juara ini sudah cukup untuk menuntun Si Nyonya Tua mendaki bukit Liga Champions yang terjal itu?