MOJOK.CO – Edy Rahmayadi mundur dan digantikan Joko Driyono. Kapankah rumah tua, penuh debu, dan sarang laba-laba itu rubuh? Kuncinya ada di klub dan suporter.
Kongres PSSI (20/1) yang lalu dikejutkan dengan keputusan mundurnya Edy Rahmayadi dari posisi Ketua Umum. Pak Edy, yang selama ini merasa mampu double job, berubah pikiran. Beliau merasa gagal menjalankan amanat sebagai Ketum PSSI. Keputusan “legowo” diambil. Edy Rahmayadi mundur, untuk kemudian digantikan Joko Driyono.
Sorak kepuasan ketika Edy Rahmayadi mundur hanya berlangsung sepersekian detik. Sorakan itu lantas teredam ketika Pak Edy meminta Joko Driyono untuk naik ke mimbar. Secara simbolis, Edy menyerahkan pataka PSSI kepada Joko Driyono. Maka sah, Pak Joko menjadi plt Ketum PSSI sampai Kongres Luar Biasa dilaksanakan.
Tak berselang lama, tagar #JokdriOut menjadi trending topic di Twitter. Kecewa, banyak netizen menyangkan Joko Driyono yang naik jabatan. Akun @Footballnesia mengabarkan bahwa hanya ada tiga klub yang “tidak sejalan” dengan visi ini. Mereka adalah Persik Kediri, Madura FC, dan Persib Bandung. Sampai di sini, ada satu hal yang perlu diketahui dan dipahami. Sudah gatal ingin revolusi, tapi jangan sampai bikin kita memprotes menggunakan jalan yang salah.
Adalah Ram Surahman, perwakilan Persebaya Surabaya, memberikan penjelasan yang benderang.
Pertama, secara otomatis, Joko Driyono naik menjadi Ketum PSSI setelah ketua sebelumnya mengundurkan diri karena itu amanah statuta. Apalagi, di Kongres PSSI kemarin, tidak ada agenda pemilihan ketua. Jika bersikeras melakukan pemilihan ketua, semuanya justru melanggar aturan.
Kedua, pemilihan ketua hanya bisa dilakukan lewat KLB, lewat dua jalur, yaitu keputusan Exco PSSI atau permintaan tertulis dari 2/3 voters. Nah, sudah jelas bukan kita perlu berjuang dari arah mana?
Andie Peci, Koordinator Suporter yang datang ke Kongres PSSI menegaskan dua hal. Pertama, lewat Twitter pribadinya, Cak Andie menegaskan bahwa perubahan tidak bisa hanya dilakukan lewat retorika. Keberanian itu harus dilatih.
Kedua, pengurus lama yang masih ada di PSSI sudah seharusnya untuk mundur. “Kami memang tidak bisa menjamin orang-orang baru dapat membawa perubahan. Namun, orang-orang lama yang sudah bertahun-tahun berada di dalam jelas tidak menghasilkan sesuatu untuk perubahan sepak bola nasional,” tegas Andie Peci seperti dikutip oleh Tirto.
Andie Peci juga menambahkan bahwa para pengurus lama ini sudah tidak mendapatkan kepercayaan dari banyak suporter. kepercayaan yang dimaksud adalah membersihkan PSSI dari banyaknya kasus pengaturan skor. Pengurus lama ini sudah tidak mungkin lagi menyelesaikan masalah ini.
Dan percayalah, banyak orang yang punya pemikiran yang sama. Salah satu buktinya adalah naiknya tagar #JokdriOut ketika Joko Driyono secara otomatis naik menjadi Ketua Umum. Jadi, dari fakta di atas, ada dua hal yang bisa dilakukan oleh suporter.
Pertama, mendesak klub masing-masing, yang tergabung dalam “voters” untuk tidak lagi memberikan suara kepada orang-orang lama. Suara dari suporter, sampai saat ini, terasa sangat sulit menembus “lapis Exco” karena dikuasai “itu-itu saja”. Oleh sebab itu, menyamakan persepsi menjadi satu gelombang besar adalah jalan masuk akal untuk ditempuh.
Ketika, misalnya, Persebaya Surabaya tidak bisa berbuat banyak di Kongres PSSI yang lalu, mereka bisa menjadi garda terdepan untuk mengawal gelombang perubahan menjelang KLB. Atau bisa klub mana saja sebetulnya. Asalkan terjadi konsolidasi nasional untuk secara nyata bergerak bersama membuat perubahan.
Saya rasa, hanya ini jalan paling mudah untuk ditempuh. Menjagakan perubahan kepada Exco sama saja menunggu matahari terbit dari selatan. Saat ini saja, sudah tiga anggota Exco dicokok Satgas Antimafia Sepak Bola. Mereka adalah Johar Ling Eng, Hidayat, dan Papat Yunisal. Kita tidak bisa mempercayakan perubahan apalagi ketika ke depan, misalnya, ada anggota Exco lagi yang diborgol Satgas.
Masa depan sepak bola sedang berada di sebuah titik di mana hanya klub yang bisa membuat perubahan nyata. Klub, yang di dalamnya bernaung suporter yang punya kekuatan besar melahirkan gelombang Tsunami perubahan. Suporter, yang bisa dilakukan, adalah memberikan tegakan kepada klub untuk tidak lagi “berurusan” dengan orang-orang lama.
Keberanian, setidaknya tidak hanya ditunjukkan dengan kekerasan sepeti ketika melihat suporter lawan. Keberanian suporter sebaiknya juga terlihat ketika klub punya daya besar untuk menghadirkan Tsunami perubahan. Mengubah “akan” menjadi “ayo” di sepak bola Indonesia ini sangat sulit dilakukan.
PSSI ini seperti rumah tua yang penuh debu dan sarang laba-laba. Penghuni rumah tua itu pastinya enggan melakukan pembersihan karena mereka nyaman dengan debu dan sarang laba-laba. Demi kesehatan, hanya orang luar yang bisa membersihkan rumah usang itu dan merestorasinya menjadi rumah nyaman untuk semua orang.
Apakah kita bisa (dan mau) melakukannya?