MOJOK.CO – Harapannya, Arsenal tidak menjadi orang pandir, yang mengulang-ulang kesalahan yang sama. Atau sebetulnya memang sudah menjadi klub pandir yang patut ditertawakan?
Kekalahan Arsenal dari Lyon di kompetisi pramusim Emirates Cup cukup menjelaskan banyak hal. Pertama, performa bagus selama tur di Amerika Serikat tidak ada artinya tanpa dasar yang kuat. Kedua, masalah menahun yang masih saja terlihat. Ketiga, sudah benar Dani Ceballos dipinjam dan klub sedang mengusahakan kedatangan Nicolas Pepe.
Mari kita dedah satu per satu.
Tur Amerika Serikat: Arsenal kaya imajinasi, miskin efisiensi
Melawan Bayern Munchen, Fiorentina, dan Real Madrid, skuat asuhan Unai Emery terlihat begitu menjanjikan. Terutama ketika melihat dan menilai performa beberapa pemain muda yang diberi kesempatan. Sungguh, Joe Willock, Eddie Nketiah, Robbie Burton, dan Gabriel Martinelli tidak mengecewakan. Bahkan, Arsenal terlihat lebih hidup ketika generasi baru ini turun bermain.
Laga-laga di Amerika juga seperti menjadi inisiasi kedua buat Reiss Nelson yang musim kemarin disekolahkan ke Hoffenheim. Meski belum terlihat fit betul, Nelson menunjukkan kalau performanya di Bundesliga bukan kebetulan semata.
Beberapa pemain muda ini bisa bermain tanpa takut. Mereka berani berekspresi, mengambil keputusan yang berisiko. Ini pelajaran penting bagi pemain muda. Kemampuan mengeksekusi sebuah momen sulit bisa jadi pendorong yang besar maknanya bagi proses perkembangan. Nketiah menjadi lebih efisien, Burton begitu tenang, Martinelli tak ragu untuk seize the day.
Sayangnya, di balik imajinasi itu, sebuah penyakit lama mengiringi: inkonsistensi. Ini terjadi di banyak lini, di beragam momen, terutama ketika Arsenal ditekan balik oleh lawan.
Inferior
Sering terjadi, Arsenal bisa langsung tancap gas ketika peluit sepak mula berbunyi. Penuh energi, penuh vitalitas. Bahkan, sering pula terjadi, The Gunners bisa unggul lebih dulu. Namun, rasa nyaman karena unggul itu bisa berubah dengan cepat karena kesalahan-kesalahan minor. Kecil saja, tapi dampaknya sangat besar.
Misalnya, kartu merah. Ditinggal satu pemain, kompaksi tim, konsentrasi, kedisiplinan, dan lain-lain bisa langsung ambruk. Gagal mengeksekusi perangkap offside adalah contoh lain. Ketika gol terjadi, ketika lawan bisa bangkit, dan main rajin menekan, tiba-tiba Arsenal menjadi inferior. Mereka seperti masuk ke dalam cangkang, bertahan terlalu dalam, untuk membuat kesalahan, lagi dan lagi.
Laga di Amerika Serikat melawan Madrid jadi contoh bagus. Lalu, kekalahan dari Lyon juga sama saja. Ketika sudah unggul, para pemain seperti tidak sadar kalau rasa nyaman di sepak bola itu seperti fatamorgana. Kalau 90 menit laga belum selesai, tidak ada yang namanya rasa nyaman. Kamu harus “kejam” di atas lapangan. Efektif memanfaatkan penguasaan bola dan semua peluang yang didapat.
Sekali saja menutup diri dan merasa inferior, tidak ada tim di dunia ini yang bisa sukses. Ohh, ini bukan perkara berhadapan dengan tim besar. melawan Leicester City musim lalu pun bisa jadi contoh bagus ketika pemain-pemain Arsenal inferior di depan determinasi Leicester.
Obat dalam diri Ceballos dan Pepe
Saya tahu, kualitas individu bukan solusi akan penyakit yang sudah menahun. Memang benar, mereka akan menyuntikkan kualitas. Namun, kalau tidak didukung oleh sistem dan kedisiplinan semuanya akan sia-sia. Kaya imajinasi, miskin efisiensi.
Melawan Lyon, Gooners punya kesempatan menyaksikan langsung cara bermain Dani Ceballos. Saya bersyukur Ceballos masuk di momen yang tepat, ketika Arsenal tertinggal dari Lyon. Para pemain seperti diajari lagi makna urgensi dan determinasi. Bermain bersama tim sebesar Madrid, dengan tuntutan sangat tinggi, punya sisi positif yang perlu dieksplorasi Unai Emery.
Ceballos sadar kalau Lyon bertahan dengan jumlah pemain lebih banyak, membuat ruang bermain menjadi sempit. Pemain asal Spanyol itu memilih bermain dengan menaikkan tempo. Ia berusaha selalu menyediakan diri untuk menjadi sasaran umpan di lapangan lawan. Ceballos selalu berusaha mencari solusi, memberikan umpan vertikal atau menyebar ke samping.
Cara bermainnya sangat sederhana. Minta bola, kontrol, dan lepas lebih cepat. Dengan begitu, sirkulasi bola menjadi lebih cepat dan pemain-pemain lain akan mendapatkan ruang lebih lega. Kesadaran untuk mencari solusi harus dimiliki pemain lain. Jelas tak mungkin Arsenal mengandalkan urgensi dan determinasi Ceballos seorang diri.
Obat kedua, mungkin, ada dalam diri Nicolas Pepe. Memang, pemain asal Pantai Gading itu belum resmi menjadi pemain Arsenal. Jika, dan hanya jika, Pepe resmi bergabung, Arsenal akan diajari cara menjadi efisien. Pengalaman Pepe bersama Lille sangat penting.
Ketika berbicara kepada France Football, Pepe menjelaskan pelajaran penting yang ia dapat ketika dipinjamkan ke Orleans, klub divisi tiga.
“Sekarang saya paham. Kamu harus punya insting pembunuh dan klinis. Dua atribut itu pasti dimiliki oleh para pemain hebat lainnya. Ketika kamu berusaha berkontribusi, kamu akan mendapatkan balasannya secara otomatis. Saya tidak ingin menjadi pemain yang berlebihan, atau pemain yang bersinar sendirian.”
Pepe tidak omong kosong. Ucapannya itu dibuktikkan di atas lapangan. Musim lalu, Pepe mencetak 22 gol dan 11 asis. Ia hanya kalah dari Kylian Mbappe. Keduanya sama-sama membuat 11 asis. Lille, seorang diri, ia bawa ke posisi dua di bawah Paris Saint-Germain.
Kembali ke Arsenal melawan Lyon, berapa kali para pemain membuang peluang? Mulai dari Aubameyang, Willock, Nelson, Henrikh Mkhitaryan, dan Eddie Nketiah. Gol harus bisa dibuat dari semua lini, dari semua pemain. Banyak menguasai bola tak ada artinya tanpa efisiensi. Sudah terbukti, ketika gagal memanfaatkan peluang, Arsenal menjadi pesakitan sejati. Final Europa League seharusnya menjadi pelajaran berharga.
Well, guna laga pramusim memang begini, untuk sekali lagi menunjukkan kelemahan. Harapannya, Arsenal tidak menjadi orang pandir, yang mengulang-ulang kesalahan yang sama. Atau memang sudah?