MOJOK.CO – Surat protes untuk sepak bola Indonesia ini saya susun dengan semangat ahimsa Mahatma Ghandi. Buang niat menyakiti, bangun semangat menjaga bangunan bersama ini.
Himsa dan ahimsa. Dunia ini berada di atas titian tipis. Supaya bisa terus berputar, ia harus seimbang. Dunia, kita semua, justru menari secara liar di atas titian itu. Alih-alih berjalan dengan tenang, kita merusak titian yang sudah tipis. Ketika titian itu runtuh, ketika kita sama-sama jatuh, tak pernah sekali saja, kita melihat ke dalam diri sendiri.
Lebih enak berteriak ke telinga sesama. Menyalahkan, melempar tanggung jawab, mencari perbandingan yang tak sesuai. Kita berlomba-lomba mengaduh, merasa paling tersakiti dari sebuah kejatuhan yang lucunya kita bikin sendiri. Keterpurukan itu karya kita sendiri. Lantas, mengapa kita tak lelah untuk menyudahinya saja?
Sepak bola Indonesia seperti orang bodoh yang menjejak-jejakkan kakinya secara liar di atas titian tipis. Menyakiti dan tidak menyakiti adalah dikotomi yang jernih. Mana yang baik dan mana yang tidak baik. Hanya demi harga diri kosong, kita memilih menyakiti. Glorifikasi rival menjadi bumbu yang tak sedap. Mengapa kita tak pernah lelah?
Dua bulan terakhir adalah masa-masa yang melelahkan untuk saya ketika memikirkan sepak bola Indonesia. Konflik antar-suporter dan lagu sedih timnas Indonesia saling berkelindan. Menjadi cermin paling jelas tentang tidak sehatnya sepak bola Indonesia. Kamu tidak merasakannya? Kamu tidak pernah merasa sepak bola kita tak akan pernah berkembang?
Tentang bara suporter….
Rivalitas bukan fana. Ia ada di setiap sisi kehidupan. Ia punya banyak makna. Namun, di dunia suporter sepak bola Indonesia, rivalitas cuma punya satu bahasa, yaitu kekerasan. Sejarah dan faktor kedaerahan menjadi narasi paling laris dipakai.
Banyak malam-malam yang saya habiskan ketika masih bocah untuk menguping rapat-rapat PTLM (Paguyuban Tresno Laskar Mataram), pendahulu Hooligans, Brajamusti, dan The Maident sebagai wadah suporter PSIM. Tempat bapak saya jaga malam sudah seperti “markas” untuk rapat-rapat di malam hari.
Saya menikmatinya. Orang-orang yang luar biasa di mata saya. Mereka bisa mengumpulkan ribuan orang hanya dalam satu kali seruan. PTLM tidak seatraktif Brajamusti, The Maident. Namun, mereka menjadi gambar nyata betapa sepak bola Indonesia adalah identitas yang tidak bisa dikelupas begitu saja. Identitas itu menempel begitu kuat, lebih kuat ketimbang identitas kesukuan atau bahkan agama sekalipun.
Malam yang ingar-bingar itu diwarnai berbagai celotehan, mulai dari membahas sebuah pertandingan hingga rivalitas dengan suporter lain.
Bapak saya pernah bercerita. Tahun 1997, sebelum reformasi, suporter PSIM Jogja bisa menerobos Sriwedari. Pesta menjadi sangat lengkap ketika PSIM pulang dengan kemenangan. Bapak saya, dengan bangga memamerkan lebam-lebam yang ia dapat ketika kunjungan itu menjadi bentrokan. Perang batu hingga dikurung di dalam stadion hingga pukul 11 malam jadi pengalaman yang akan ia simpan seumur hidup.
Saya tumbuh besar dengan narasi seperti itu. Bahkan pemain-pemain legendaris PSIM bercerita sendiri kepada saya. Betapa sepak bola Indonesia jadi sangat seru karena keberadaan suporter. Bentrokan-bentrokan itu tak hanya sudah diantisipasi akan terjadi, mereka selalu berjaga-jaga, tetapi juga dirayakan.
Sebuah narasi yang kini bikin saya sangat lelah ketika mengingatnya kembali. Banyak teman seangkatan saya yang masih menikmati dan merindukan bentrokan-bentrokan itu.
Apakah kalian tidak pernah lelah? Apakah kalian tidak rindu menghabiskan malam untuk duduk melingkar dan membicarakan perdamaian di sepak bola Indonesia? Ya, kita pernah membicarakan perdamaian sepak bola Indonesia ditemani alkohol murah yang diangsurkan satu sama lain menggunakan gelas plastik itu.
Di tengah kepala yang ringan dan tawa berderai kita membayangkannya. Membayangkan rombongan suporter disambut di setiap perbatasan. Menyanyi “Piye, piye, piye kabare (isi sendiri).” Kita saling menyapa, menyumbang air mineral botolan untuk suporter yang sedang nglarak ke stadion lawan. Generasi sekarang merayakannya dengan istilah away days.
Mungkin karena pengaruh alkohol itu pula yang membuat impian manis perdamaian suporter sepak bola Indonesia cuma racauan tidak jelas. Kini, dalam konteks sepak bola, membicarakan Jogja-Solo, Jogja-Sleman, Jakarta-Bandung, Jepara-Kudus, Malang-Surabaya, dan lain sebagainya, adalah membicarakan kekerasan. Tidak ada yang lain lagi.
Sepak bola Indonesia disusun oleh basis suporter yang kuat dan federasi yang menaungi. Sayangnya basis yang kuat menjadi semakin kuat ketika “memukul” suporter lain. Sementara itu, federasi yang menaungi semakin masuk angin. Bahkan, menteri olahraga yang diharapkan bisa jadi jujugan curhat pun kena masalah hukum.
Berkembangnya sepak bola Indonesia diiringi oleh suporter yang kreatif di atas tribun dan federasi yang waras. Jangan lupakan juga klub kudu sehat dan pesepak bola yang profesional. Jerman dengan Bundesliga bisa jadi tempat belajar. Jangan ambil contoh buruk seperti Serie A yang rasis dan Inggris dengan hooligans-nya. Ambil contoh positif untuk menetralkan yang negatif.
Jangan lagi jadikan sejarah yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola sebagai modal tempur di media sosial. Jogja dan Solo, misalnya. Banyak suporter yang menarik mundur garis permusuhan ke masa lalu, di masa Mataram. Biarkan simbah-simbah masa lalu bermusuhan karena intrik politik perebutan kekuasaan. Kita, cucu-cucu yang naif ini, jangan mengambil yang negatif sebagai bumbu permusuhan. Belajar sejarah jangan hanya berhenti di babad kekerasan untuk justifikasi permusuhan.
Saya selalu meyakini dua hal penting dalam perkembangan sepak bola Indonesia. Pertama, iklim suporter yang sejuk. Kedua, federasi yang waras. Ekosistem yang layak huni membantu biota di dalamnya berkembang dengan baik.
Seperti yang saya singgung di atas tulisan. Suporter dan federasi sepak bola Indonesia sedang berjalan di atas titian yang sangat tipis. Titian itu akan semakin rapuh ketika kekerasan suporter masih dianggap sebagai aksi wajar yang mengiringi rivalitas. Retakan titian itu akan lebar ketika federasi tak kunjung sehat dan waras. Mengurus jadwal kompetisi dan suksesi kepemimpinan, misalnya.
Pada akhirnya, sepak bola Indonesia adalah soal “kita”, bukan saja “aku” dan “kamu”. Bermimpi Garuda terbang tinggi akan selamanya akan menjadi mimpi pecandu alkohol ketika pondasi di bawahnya sangat naif.
Surat protes ini saya susun dengan semangat ahimsa Mahatma Gandhi. Rumah yang kokoh tak akan bisa dibangun jika penghuni di dalamnya saling membunuh (himsa). Rumah yang menjadi kosong karena penghuninya mati akan menjadi tidak terurus. Rapuh, lalu ambruk pada masanya nanti.
Penghuni yang saling menjaga, membuang kekerasan dan niat membunuh (ahimsa) yang akan menggaransi masa depan. Saya kira ini urun pikiran yang sangat mudah dipahami.
Apakah kalian tidak lelah?
BACA JUGA Ulang Tahun PSIM: Satu Tungku Tiga Batu dan Warisan Tiga Generasi atau artikel Yamadipati Seno lainnya.