MOJOK.CO – Andrea Pirlo mampu mewujudkan teori di dalam tesisnya. Salah satu pemain yang cocok dengan ide permainannya untuk Juventus adalah Aaron Ramsey.
Saya membayangkan Andrea Pirlo masuk ke gentleman’s room di Juventus Stadium setelah Juventus mengalahkan Sampdoria dengan skor 3-0. Pirlo membuka kancing jas sebelum duduk di sofa bercap “TEMPO by Natuzzi”, produsen sofa terbaik di Italia, sambil menghela napas lega. Dia bergumam, “MAMAM!”
Pirlo menuangkan red wine ke gelas artistik. Anggur itu bercap Barbera, anggur tersohor dari Piedmont. Sebuah wilayah di Italia yang berbatasan langsung dengan Swiss dan Prancis. Turin, sebuah tempat di mana Juventus bersemayam, adalah ibu kota wilayah Piedmont. Dia menggoyang-goyangkan anggur di dalam gelas itu, menghirup aromanya sebentar, lalu mencecapnya. Senyum kecil tersunggih di bibirnya. Dia bergumam lagi, “MAMAM!”
Cecapan kedua dia lakukan sambil menyilangkan kaki. Bersantai. Menyandarkan punggung di kulit sofa yang nyaman itu, Pirlo menertawakan para peragu. Orang-orang yang sempat menganggapnya tidak pantas melatih Juventus. Memang, baru satu pertandingan. Perjalanan masih panjang. Namun, Pirlo yakin kalau teori yang dia pelajari bisa diwujudkan di atas lapangan.
Kemampuan mewujudkan teori dalam kepala menjadi aksi di atas lapangan membedakan pelatih biasa dan berkualitas. Meskipun baru satu pertandingan, Pirlo memberi bukti kalau pinggir lapangan bukan catwalk, tetapi medan perang. Sebuah tempat di mana strategi yang dia pelajari harus bisa diwujudkan.
Ide Pirlo untuk Juventus
Ide permainan Andrea Pirlo bisa kita temukan di tesisnya yang berjudul “Il Calcio Che Vorrei” (The Football I Would Like). Tesis itu ditulis sebagai syarat kelulusan kursus kepelatihan UEFA Pro. Pirlo lulus dengan skor 107 dari nilai maksimal 110. Kurang tiga poin, Pirlo lulus dengan nilai sempurna. Mungkin nilai tiga diikhlaskan karena kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Pirlo langsung bisa mewujudkan idenya ke atas lapangan. Mulai dari bentuk tim ketika menyerang (2-3-5), counterpress, membuat lapangan menjadi selebar mungkin, menyerang ruang di antara pemain lawan, dan third-man run. Tiga dari empat ide terwujud ke dalam diri Aaron Ramsey, gelandang sentral Juventus.
Untuk para gelandang, Pirlo menegaskan di dalam tesisnya, kemampuan teknis dan visi krusial adanya. Selain itu, para gelandang harus punya mobilitas prima untuk banyak fungsi, misalnya mengkonstruksi serangan dan menyelesaikan peluang. Para gelandang juga harus punya kesadaran untuk segera merebut bola setelah penguasaan hilang (counterpress). Aaron Ramsey, selain Adrien Rabiot, menjadi gelandang ideal di dalam ide permainan Pirlo.
Aaron Ramsey diboyong Juventus ketika Maurizio Sarri masih melatih. Sebelum datang ke Juventus pun, Ramsey sudah dikenal dunia sebagai salah satu gelandang yang pandai membaca permainan dan mencari celah ruang. Semenjak bermain untuk Arsenal, Ramsey sudah dikenal sebagai advance #8 terbaik di dunia dengan spesifikasi yang unik. Kemampuan late run pemain asal Wales ini sangat baik. Dia banyak membuat peluang dan gol lewat teknik yang bisa diterjemahkan sebagai “muncul dari belakang”.
Ketika melawan Sampdoria, Juventus menggunakan pola dasar 3-5-2. Ketika menyerang, tim bergerak membentuk skema 2-3-5. Danilo, salah satu bek tengah, naik satu ruang ke gelandang, berdiri dekat Adrien Rabiot dan Weston McKennie.
Aaron Ramsey, yang mengawali laga dari lapangan tengah, bergerak ke kiri atas, mengisi ruang Cristiano Ronaldo. Ketika Ramsey naik ke atas sebelah kiri, Ronaldo bergeser ke tengah. Sementara itu, Dejan Kulusevski sedikit bergeser ke kanan. Tiga pemain ini mengemban peran rifinitura atau finishing.
Dua bek sayap, Juan Cuadrado dan Gianluca Frabotta berdiri sejauh mungkin dekat garis tepi lapangan (menyediakan peran ampiezza atau width). Kombinasi peran tiga rifinitura dan dua ampiezza memudahkan Juventus memasukkan pemain ke dalam kotak penalti. Sangat cocok ketika melawan sebuah tim yang bertahan dengan low block. Perlu dicatat, memasukkan banyak pemain ke kotak penalti dalam waktu cepat bukan pekerjaan mudah.
Andrea Pirlo, di dalam tesisnya menjelaskan bahwa rifinitura dan ampiezza merujuk ke peran pemain, bukan posisi. Peran pemain yang berada di belakang (bek dan kiper) dalam transisi menyerang disebut costruzione dan coperture preventive. Artinya, mereka mengkonstruksi serangan dan mencegah lawan masuk ke wilayah sendiri.
Menurutnya, di sepak bola modern, tidak ada lagi yang namanya posisi, tetapi fungsi atau peran. Ketika seorang pemain ada di tengah, dia menjadi gelandang. Ketika naik ke atas, dia penyerang. Pola pikir itu yang diterapkan. Nama posisi hanya formalitas semata. Oleh sebab itu, berkat corak permainannya, Aaron Ramsey cocok sekali dengan ide Pirlo ini.
“Tujuan utama dari fase menyerang kami adalah mengalirkan bola ke finishing zone. Minimal, di ruang tersebut, ada dua pemain yang bergerak secara konstan di antara lini bertahan dan lini tengah, dan secara berkala, pemain lain membantu mereka,” tulis Pirlo di dalam tesis 30 halaman itu.
“Ketika bola menuju gawang, dua pemain harus segera masuk finishing zone. Pemain lain yang memosisikan diri di antara lini lawan harus terus bergerak untuk menyediakan opsi umpan. Mereka harus bisa menghindari pengawasan pemain lawan.” Peran atau fungsi ini cocok sekali diberikan kepada Aaron Ramsey.
Andrea Pirlo menegaskan bahwa aspek paling penting dari game model yang dia buat adalah lokasi. Para pemain harus menjaga struktur tim. Jangan merusak struktur dengan meninggalkan posisi di waktu yang salah. Salah satu prinsip turunan dari game model di atas selalu berusaha menciptakan situasi third-man run.
Aaron Ramsey dan kecerdasan membaca pertandingan
Sesuai namanya, third-man run, adalah orang ketiga yang membuat pergerakan. Bukan soal perselingkuhan, tetapi pergerakan tidak terdeteksi dari pemain ketiga. Hmm… mirip perselingkuhan, sih.
Sederhananya seperti ini: Ronaldo memberi umpan pendek ke arah Dejan Kulusevski di depan kotak penalti. Ronaldo bergerak mendekat untuk meminta bola kembali. Namun, alih-alih memberikan bola ke Ronaldo, Kulusevski melakukan umpan terobosan ke arah lari Aaron Ramsey. Bek lawan yang tertarik pergerakan Ronaldo tidak sadar Ramsey masuk mengisi ruang kosong itu.
Mengutip kalimat Xavi Hernandez, Pirlo menulis kalau third-man run itu sangat sulit diantisipasi. Pergerakan pemain ketiga, biasanya, memang tidak terdeteksi. Namun, perlu dicatat, pergerakan ini bukan sekadar lari. Ada banyak syarat yang perlu dipenuhi supaya third-man run bisa dieksekusi sempurna.
Beberapa di antara adalah, pertama, struktur tim harus sempurna. Oleh sebab itu, Pirlo menegaskan para pemain harus peka dengan lokasi supaya struktur tim terjaga. Kedua, ada banyak bentuk segitiga atau diamond di lapangan supaya opsi umpan selalu tersedia. Ketiga, dan paling krusial, eksekutor third-man run harus pandai membaca timing dan ruang.
Aaron Ramsey sudah memenuhi syarat nomor tiga. Dua syarat sebelumnya disediakan oleh Andrea Pirlo lewat pemosisian pemain. fans Juventus perlu tahu kalau konsep ini pernah membuat Ramsey menjadi pencetak gol terbanyak. Mengalahkan para striker Arsenal kala itu.
Masih banyak teori Pirlo yang terwujud ketika Juventus mengalahkan Sampdoria. Salah satunya adalah memaksimalkan kecerdasan Rabiot untuk melakukan cover ketika Bonucci naik menyerang. Lewat satu pertandingan itu, seharusnya fans Juventus bisa menilai kalau Pirlo tidak hanya bisa berteori lewat tesisnya.
Jika konsisten, kombinasi Pirlo, Aaron Ramsey, Rabiot, dan pemain pilihan lainnya, bakal membuat Juventus menjadi tim modern yang tidak tertebak.
Sepak bola bukan soal menendang bola saja. Aspek paling penting adalah lokasi atau pemanfaatan ruang. Di gentleman’s room itu, Andrea Pirlo mencecap red wine itu satu kali lagi. Asam dari Barbera sudah lebih terasa. Dia meletakkan gelas yang masih berisi anggur lalu menatap jadwal Serie A yang ditempelkan ke dinding. Tatapannya dingin, penuh aura keyakinan.
BACA JUGA Potensi Kombinasi Dybala dan Ramsey Untuk Ronaldo di Juventus dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.