MOJOK.CO – “President Joko Widodo Street” diresmikan di UEA. Ini tanda potensi Indonesia diakui. Wabilkhusus soal kerja sama investasi bernilai triliunan.
Diresmikannya nama Presiden Joko Widodo sebagai nama salah satu jalan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), menjadi bukti sahih keberhasilan Pemerintah saat ini.
Tentu selain wakil presiden yang tak perlu kerja keras (tanda kalau presidennya kerja betulan), demokrasi di jalanan yang berjalanan baik, sampai pencarian vaksin corona secara alami, Pemerintah sukses menyepakati kerja sama di bidang investasi dengan UEA.
Ibarat anak yang mendapat hadiah kelulusan setelah menyelesaikan ujian kenaikan kelas, peresmian nama jalan tersebut dapat dikatakan sebagai hadiah satu tahun pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Bila dihitung sejak 2014, maka inilah hadiah enam tahun pemerintahan di bawah kepemimpinan Joko Widodo.
Padahal kamu juga pasti tahu, memberi nama jalan di luar negeri itu tak semudah memberi nama jalan dusun, seperti yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa yang lagi KKN. Kalau cuma jalan dusun mah, hanya perlu potong bambu, ditulisi dengan nama yang disepakati, kemudian dipatok pakai palu atau batu. No, nama President Joko Widodo Street di UEA tidak seperti itu plis.
Memang, prestasi seperti inilah yang kita rindukan dari Pakde yang satu ini. Apresiasi patut diberikan lantaran selama satu tahun ini beliau banyak kali di-roasting pendapat negatif dari berbagai elemen masyarakat.
Mulai dari masalah penanganan pandemi yang dirasa kurang fokus dan maksimal, indikasi melanggengkan politik dinasti dalam pilkada, pelemahan KPK yang begitu terasa, dan yang teranyar soal UU Cipta Kerja.
Tetap saja, walau menghadapi perbedaan pendapat dari berbagai pihak, Jokowi bergeming untuk melaksanakan agenda utamanya, yaitu kebangkitan ekonomi.
Ya, kalau kamu ingat, Jokowi pernah mengatakan bahwa periode kedua ini akan dijalani “tanpa beban”. Sering kali, pernyataan ini ditafsirkan sebagai keleluasaan Jokowi untuk memutuskan berbagai kebijakan, tak peduli dengan tekanan dari pihak manapun.
Rakyat menganggap pernyataan tersebut dinyatakan Jokowi untuk menuntaskan masalah-masalah di bidang hukum, HAM, intoleransi agama, dan lain-lain. Tapi, monmaap, perlu saya luruskan, pernyataan tersebut sejatinya dibuat Jokowi saat ia berbicara di hadapan para anggota APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia).
Intinya, Jokowi berbicara tentang “tak ada beban” dalam konteks memajukan perekonomian Indonesia. Ya, fokusnya adalah bidang ekonomi. Apapun taruhannya, hajar terus pokoknya.
Maka dari itu, kalau pada masa pandemi ini ada istilah gas dan rem, yang menggambarkan antara masalah kesehatan dan ekonomi, janganlah kita terlalu kaget dan heran. Memang fokus utama di periode ini ya ekonomi. Adapun, dengan adanya pandemi, hal tersebut tentu mengganggu berbagai rancangan anggaran yang sudah disusun sedari awal.
Pun demikian, ketika bicara masalah pilkada. Pertimbangan menyelenggarakan pilkada pada masa pandemi, salah satunya, tentu ditentukan oleh perhitungan cuan, eh cost yang sudah kadung dikeluarkan setiap pasangan calon dari parpol-parpol.
Ini belum ngomongin tentang UU Cipta Kerja. Yang nafas utamanya adalah bagaimana menarik sebanyak-banyaknya investor asing untuk masuk ke Indonesia, termasuk UEA. Dengan demikian, lapangan kerja akan semakin terbuka lebar di mana-mana. Katanya sih seperti itu. Jadi ya tetep, ujung-ujungnya adalah masalah ekonomi juga.
Makanya jangan kaget dan nggak perlu protes kalau Jokowi jadi kelihatan beda begitu. Kan memang tidak ada beban. Kalau Presiden saja tidak terbebani, mengapa para akademisi, mahasiswa, dan pekerja perlu terbeban? Sudah tho yo, nrimo wae.
Dari kebijakan terkait tiga hal di atas, kita dapat melihat keteguhan hati Presiden untuk tetap memajukan perekonomian Indonesia. Sampai-sampai UEA menyadari itu dan menjadikan President Joko Widodo Street hadir di Abu Dhabi.
Pada bulan Januari lalu, perjanjian kerja sama Indonesia-UEA terdiri dari 5 perjanjian antarpemerintah di bidang keagamaan, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan penanggulangan terorisme.
Lalu, terdapat pula 11 perjanjian bisnis antara lain di bidang energi, migas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan riset. Total nilai investasi tersebut sebesar US$ 22,89 miliar atau sekitar Rp314,9 triliun. Ya, nilai investasi yang bisa digunakan untuk bikin swab test massal di beberapa provinsi, eh.
Tak heran, dengan lancarnya tata kelola investasi kedua negara berikut dengan cuan yang diputar-putar di sini dan di sana, nama Presiden kita diabadikan dalam ‘President Joko Widodo Street’ di UEA. Waw. Hail to Mr. President!
Strategi Pakde Jokowi memang ciamik dan cantik. Tak hanya negara-negara di jazirah Arab yang dapat dipeluk erat, Cina dan Amerika Serikat pun dapat dirangkul. Padahal kedua negara tersebut sedang berseteru.
Luhut Binsar Panjaitan tentu tak diragukan dalam urusan negosiasi dengan Cina. Sedangkan di sisi lain, Prabowo Subianto baru-baru ini diutus ke Amerika Serikat, padahal sebelumnya sempat dilarang masuk negara Paman Sam.
Keren nggak? Bisa jadi, suatu saat nanti akan ada satu sudut di New York bernama “Prabowo Subianto Street”. Atau, akan ada jalan raya di Beijing bernama “Luhut Binsar Panjaitan Road”. Hmm, siapa tau, nantinya juga akan ada “Puan Maharani Tower” di samping Dubai Tower.
Ah, kalau semua itu terjadi, dengan apresiasi dari negara asing itu pantas kalau kita menobatkan Jokowi sebagai Bapak Investasi Indonesia. Ayo tepuk tangan yang meriah.
BACA JUGA Kamu Rindu Sukarno? Kangen Soeharto? Tenang, Ada Pak Jokowi dan tulisan Yesaya Sihombing lainnya.