Katakanlah Anda berada pada satu tahapan dalam hidup ketika Anda sudah bisa membeli mobil, tapi Anda juga belum bisa dikatakan “sukses” atau “kaya” (entah bagaimana Anda mendefinisikan kedua konsep itu). Anda kemudian membeli mobil idaman Anda. Baru idaman, belum impian, karena Anda belum kaya. Entah ia berbodi sedan, hatchback, SUV, atau lainnya. Pada awalnya tentu Anda berbahagia. Ada sensasi tersendiri yang Anda rasakan saat orang melihat mobil Anda atau ketika Anda menoleh ke belakang seusai parkir hanya untuk mengagumi betapa cantiknya mobil baru Anda.
Namun, setelah mengenal dan merasakan apa saja kelebihan mobil Anda, seiring berjalannya waktu Anda akan mengetahui apa saja kekurangan mobil Anda, juga hal-hal yang seharusnya tidak menjadi kekurangan tetapi tetap terasa sebagai kekurangan.
Salah satu dari hal yang saya maksud adalah tombol yang “kosong”. Mobil biasanya dijual dalam bermacam varian, dari yang murah sampai mahal. Makin mahal harganya, makin banyak fitur yang Anda dapatkan. Karena Anda belum kaya, Anda terpaksa berpuas diri dengan membeli varian bukan yang tertinggi dari mobil idaman Anda. Akibatnya, misalkan ada tombol navigasi di konsol tengah mobil Anda, ketahuilah bahwa tombol itu ada untuk orang-orang yang mampu membeli varian tertinggi mobil itu, bukan untuk Anda. Sehingga bila Anda iseng memencet tombol navigasi itu, yang akan muncul di layar sentuh hanyalah pengingat bahwa Anda: tidak kaya-kaya amat.
Menurut saya pribadi sebagai penerjemah, terjemahan yang tepat bagi kata-kata di atas adalah “Kami tahu Anda sudah berdarah-darah untuk menebus mobil ini, tapi Anda masih harus menguras kocek Anda yang sudah kering. Bye bye”. atau kalau mau lebih singkat, “Makanya cepetan kaya!”
Yang jelas, setelah dibilangi begitu, sebagai pencinta mobil terlintas bermacam penyesalan di kepala saya: mengapa sedari dulu saya tidak menjadi anak yang lulus cum laude dan diperebutkan perusahaan multinasional? Mengapa saya tidak bekerja lebih keras dan menabung lebih banyak? Dan penyesalan yang paling besar (meskipun ini mungkin bersifat lebih umum, bukan sekadar berkaitan dengan fitur yang minimal): mengapa saya ditakdirkan lahir di negara yang industri otomotifnya morat-marit dan tertinggal puluhan tahun dari negara-negara yang relatif lebih waras?
Sebagai contoh betapa peraturan terkait mobil di Indonesia amat menyebalkan, menurut Pasal 57 butir 3f Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, diwajibkan menggunakan “helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah”. Artinya, Anda harus mengenakan kedua perlengkapan itu bila mengendarai mobil atap terbuka (roadster) seperti Porsche Boxster.
Mari berangan sejenak: Anda telah bekerja keras membanting tulang menyiksa badan sampai usia paruh baya untuk menghidupi keluarga sekaligus menggapai mimpi-mimpi Anda. Setelah tabungan untuk masa depan anak beres, Anda punya cukup disposable income untuk membahagiakan diri, dan Anda memutuskan menggunakannya untuk meminang Porsche Boxster, roadster legendaris dari Stuttgart.
Kemudian … Anda diwajibkan memakai helm dan rompi pemantul cahaya yang biasanya berwarna cerah ketika menungganginya. Bayangkan betapa konyolnya: menaiki mobil keren yang diharapkan bisa membuat diri merasakan sensasi maskulinitas ala Bond, tetapi di saat yanng sama dipaksa berpenampilan seperti mandor konstruksi.
Agaknya peraturan tersebut tidak relevan bagi saya karena saya sadar posisi saya sebagai insan kelas menengahnya kelas menengah tak akan mengizinkan saya meminang roadster. Tapi, tentu saja tetap ada keterbelakangan otomotif Indonesia yang merugikan orang seperti saya.
Misalnya ini: pada umumnya body style mobil yang paling aerodinamis adalah sedan. Bentuk sedan membuatnya dapat melaju membelah angin lebih lancar dibanding hatchback atau MPV, ia bisa didesain dengan distribusi bobot yang lebih berimbang daripada hatchback, dan mampu memberikan ruang lebih bagi penumpang belakang (mungkin itulah mengapa lebih banyak mobil mewah dan sporty dari Eropa berbodi sedan).
Tapi, karena pemerintah Indonesia kecanduan bertindak kepada rakyatnya bagai orang tua yang gemar melarang anaknya merasakan kesenangan sekecil apa pun, pajak barang mewah bagi sedan jauh lebih mahal daripada hatchback dan MPV (sedan 30%, hatchback dan MPV 10%). Jadi, bila Anda ingin membeli mobil dengan budget pas-pasan, niscaya pilihan Anda makin terbatas.
Dihadapkan dengan kondisi yang tidak mengenakkan demikian, orang biasa seperti saya hanya bisa nrimo. Saya juga tidak tahu kapan saya akan kaya dan kapan Indonesia akan maju. Dengan segala keterbatasan itu, yang penting prinsip saya tetap satu.