MOJOK – Bagi klub-klub Liga 1, Stadion Marora, kandang Perseru Serui, adalah stadion yang angker.
Perseru Serui memang belum setenar Persipura Jayapura. Meskipun sama-sama berasal dari Papua, Perseru harus legawa menjalani musim 2018 Liga 1 Indonesia di bawah bayang-bayang Persipura, tetangganya yang mengilap prestasinya itu.
Perseru masih berusaha keras mengambil hati masyarakat. Bahwasanya, selain Mutiara Hitam, masyarakat Papua juga punya Cendrawasih Jingga.
Perseru Seriu lolos ke Liga 1 pada tahun 2014 setelah berhasil duduk sebagai peringkat kedua Liga 2. Kala itu, Liga 2 masih disebut sebagai Divisi Utama. Perseru berhasil menyusul Persipura untuk turut berlaga di kasta tertinggi sepak bola Indonesia.
Harapannya, dengan berada di Liga 1, Perseru mampu membawa semangat sepak bola di daerahnya dan bergabung di level yang sama dengan Persipura. Namun, justru ada beberapa kendala yang harus dihadapi Perseru dalam mengarungi lautan sepak bola Liga 1 sebelum mampu berdiri sejajar dengan tetangganya tersebut.
Pertama, kendala terbesar adalah letak geografis Serui yang cukup terpencil. Serui adalah ibukota Kabupaten Kepulauan Yapen. Serui hanya bisa dijangkau dengan minimal dua kali transit perjalanan udara melalui Makassar dan Biak. Kemudian dilanjut perjalanan dari Biak ke Serui yang bisa dilakukan melalui jalur udara atau laut.
Sebagai referensi, Semen Padang membutuhkan waktu 19 jam perjalanan untuk tandang ke Stadion Marora, rumah Perseru Serui. Bayangkan repotnya, apabila Perseru Serui lolos ke Piala Champions Asia dan menghadapi Kashima Antlers dari Jepang. Tsubasa saja yang seumur hidupnya tidak pernah marah-marah di komik bakal misuh-misuh saat mengantre kapal di dermaga.
Kendala kedua ada pada animo masyarakat Yapen sendiri. Bagi Yapen dan Papua, Persipura masih dianggap sebagai “anak kesayangan” Papua. Sejak promosi ke divisi teratas dan satu liga dengan Persipura, Stadion Marora hanya dan hanya akan penuh saat Persipura bertandang.
Tidak peduli Semen Padang atau Persija Jakarta yang berkunjung, Stadion Marora akan tetap sepi di pertandingan Liga 1. Harga tiket yang dibanderol 75 ribu saja untuk tribun VIP bisa menjadi gratis demi menarik minat warga Yapen. Rendahnya animo suporter untuk datang ke stadion menjadi pekerjaan rumah bagi Perseru. Kalau Nankatsu FC bertandang dan yang menonton hanya 10 orang, bisa tersinggung perasaan Wakabayashi.
Kendala terakhir tentu soal stadion. Verifikasi Stadion Marora masih dipertanyakan keabsahannya. Banyak yang mempertanyakan stadion yang berkapasitas lima ribu orang bisa diloloskan dan menggelar laga Liga 1. Meskipun sudah memperbaiki infrastruktur pencahayaan, Marora masih menyimpan beberapa masalah.
PSM Makassar pernah mengalami pengalaman yang kurang mengenakkan soal stadion ini saat lawatannya 31 Maret lalu pada pekan kedua Liga 1. Tidak hanya bebatuan dan kursi pemain yang rusak, Robert Rene Alberts, pelatih PSM, sampai menemukan kotoran di stadion. Entah kotoran apa yang dimaksud.
Saat berita ini ditayangkan, Tim Mojok Institute sedang menjalankan penelitian tentang jenis kotoran yang terdapat di Stadion Marora agar tidak terjadi fitnah. Mungkin saja yang dimaksud kotoran adalah kata-kata kotor.