MOJOK.CO – Kalau UMR Jogja rendah, itu bukan ancaman sekalipun warganya bakal tak punya tanah di kampung halamannya sendiri. Tapi kalau klitih, nah itu jelas bahaya.
Belum lama ini keributan soal rendahnya UMR Jogja mencuat lagi di lini massa Twitter. Seperti biasa, ada mas-mas ganteng dan berpendidikan tinggi yang menganggap orang Jogja itu nilai hidupnya tidak dilandaskan pada materi, makanya mereka tetap bahagia walau UMR-nya kecil.
Hm. Oke.
Saya kira mas-mas model begini belum pernah tiba dalam suatu momentum di saat ibu sakit keras, lalu di saat bersamaan kamu butuh uang untuk bayar kuliah, lantas tiba-tiba pacarmu minta putus, kemudian kamu ikut sakit karena beban pikiran yang menumpuk.
Wesjaaan, gamblis tenan nek wes ngonoooo.
Orang yang pernah mengalami penderitaan seperti itu tentu akan merasa sedih jika ia hanya berpenghasilan UMR Jogja.
Di tengah harga makanan di Jalan Kaliurang yang terus menerus mengalami inflasi, tiket parkir motor mendadak sering naik dari Rp1.000 jadi Rp2.000, gas elpiji 3 kg bakal dicabut subsidinya, dan harga rumah kontrakan dan tanah yang semakin mahal… maka cara terbaik yang masih positif dan bisa dilakukan ialah sambat.
Mending kalau keluhannya cuma misuh, “kowaassuuuuuu.” Salah-salah pisuhannya bisa berkembang jadi, “awas tak pateni kowe” (awas kubunuh kamu).
Pisuhan itu bukan tidak mungkin benar-benar terjadi belakangan ini. Terutama dengan fenomena klitih di beberapa tahun terakhir ini di Jogja. Buat kamu yang tidak tahu klitih itu apa, kamu bisa baca dulu di sini. Panjang soalnya kalau mau jelasin klitih itu apa kalau di tulisan ini.
Sebagai salah satu orang yang pernah ikut muter, ngedrop SMA musuh, dan dekat dengan pembicaraan bab per–klitih–an, saya berani bersaksi bahwa fenomena klitih akhir-akhir ini sudah di luar nalar. Bahkan di luar nalar pelaku klitih zaman dulu.
Dulu klitih banyak dilakukan oleh pelajar-pelajar SMA kelas menengah Jogja. Dan dalam proses klitih alias tawuran tersebut, pelaku klitih tak jarang masih mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan baik di masa depan.
Ya klitih sih klitih aja, tapi jangan sembarangan karena kami masih kepingin juga punya masa depan, dapat beasiswa kuliah, atau menyerahkan jiwa raga ke negara sebagai PNS.
Oleh sebab itu, klitih zaman kami dulu tak ada yang sampai bawa gir atau golok untuk membunuh lawannya. Pol mentok cuma mancal motor, atau ngajak sparing di lahan kosong. Maklum, masih takut masuk penjara dan kena blacklist namanya dari kemungkinan-kemungkinan baik di masa depan.
Seiring berjalannya waktu, fenomena klitih ini mulai menyebar ke area Jogja pinggiran dan sudah jadi tren untuk anak-anak di luar sekolah.
Buat yang belum tahu, fenomena klitih belakangan ini merupakan entitas non-genk sekolah.
Pada awal dasawarsa 2000-an Jogja sudah terkenal dengan jaringan genk Qzruh (QZR), Joxzin (JXZ), dam Humoriezt (HRZ) yang muaranya kini mengarah ke partai-partai dengan basis kampung-kampung tertentu di Jogja.
Iya, iya, mungkin kamu kaget, tapi kalau orang Jogja yang suka main “di jalan” pasti tahu siapa dan apa saja nama partainya.
Masalahnya fenomena klitih yang kini ada, jelas berbeda dengan fenomena klitih lama.
Dulu klitih atau tawuran antara Qzruh, Joxzin, Humorizetz atau pun tawuran antargenk SMA dan SMP yang masih jelas jaringan musuhnya. Sedangkan klitih sekarang sudah random betul. Orang bisa sabet-sabetan gir atau parang sesuka hati. Siapa yang disasar sudah tak jelas lagi.
Bukan lagi QZR vs Jxz atau Hippies vs NBZ, tapi sudah sembarang orang diterabas. Macam paitan sengit sama orang yang nggak dikenal dan nggak pernah bersentuhan langsung tetap saja kena terabas.
Saya lihat mayoritas bocah-bocah pelaku klitih yang sering ditangkap aparat belakangan ini berasal dari keluarga yang secara kemampuan ekonomi berada di posisi sial. Alias mereka yang berada di bawah sejahtera.
Pelaku klitih sekarang diisi oleh mereka yang masih hidup dalam keluarga yang masih bingung besok mau makan apa. Dan dari landasan kayak begitu, saya berani berasumsi, bocah-bocah seperti ini sudah tak punya apa pun untuk dipertaruhkan lagi di masa depan.
Itulah kenapa keberaniannya dan tingkat kenekatannya jadi jauh berlipat ganda.
Orang tua gaji UMR (atau bahkan kurang), jaminan pendidikan tinggi jauh dari angan-angan, dan kehadiran mereka sebagai manusia sering tak dianggap penting atau sekadar menjadi objek bersyukur oleh masyarakat.
Dengan segala kesialan seperti itu… pelarian mereka akhirnya… ya ke klitih ajaaa.
Bisa saja dengan klitih, mereka akhirnya mendapat hal-hal yang tidak didapat jika mereka tetap hidup anteng dengan slogan nrima ing pandum (baca: legowo). Dalam nalar mereka, bisa jadi rasa dihormati, ditakuti, dan disegani bisa muncul dengan klitih, bukan nrima ing pandum.
Hal-hal kayak gitu adalah sebuah capaian yang tak akan bisa dimengerti oleh orang-orang seperti saya atau Anda.
Bagi orang-orang ini, dihormati sekaligus ditakuti merupakan bentuk pengakuan yang hakiki bagi mereka. Yang sejak lahir ceprot berada pada situasi keluarga dengan keadaan penuh keterbatasan dan dibuang dari masyarakat.
Lagipula, dengan memilih korban secara random, semakin terlihat bahwa musuh mereka kini adalah masyarakat sendiri. Bukan lagi antar golongan geng-gengan, tapi semua orang. Karena yakin tak mungkin dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang sehat, ya sudah musuhi aja semuanya sekalian dengan klitih.
Oleh karena itu, sudah seharusnya, kita nggak berlebihan meromantisir Jogja—terutama lewat UMR-nya yang rendah. Itu bukan capaian, itu kekurangan yang sangat mengerikan di arus bawah.
Benar jika orang Jogja masih pada suka guyon dan ramah-ramah di angkringan, tapi masalah-masalah sosial lain seperti UMR rendah tapi harga hunian naik gila, ketimpangan sosial yang kaya makin gampang yang miskin makin tersingkir, serta air sumur yang sering kering di perkampungan dekat hotel/apartemen makin jadi fenomena rutin tahunan.
Lebih parahnya, hal-hal semacam ini dianggap bukan situasi yang genting di Jogja. Dianggap biasa aja. Padahal jika dibiarkan secara terus-menerus, lama-lama masalah ini akan menumpuk dan hanya menimbulkan ledakan sosial yang lebih merugikan lagi di masa depan.
Artinya, fenomena klitih itu sebenarnya jadi alarm kecil bagi pemerintah daerah Jogja, bahwa kota dan provinsi ini sebenarnya sedang tidak diurus dengan baik-baik saja.
Masyarakat yang mulai tergusur dan tercerabut dari kehidupannya dari pembangunan-pembangunan yang mengatasnamakan investasi di Jogja, tanpa disadari sedang menambah batalyon pasukan pelaku klitih di masa depan.
Lalu kita ber-haha-hihi dengan UMR yang kecil, warga yang makin miskin, lalu menyalahkan fenomena klitih yang makin tinggi di sudut angkringan ditemani secangkir kopi susu anget…
……
…
Hm, memang benar-benar kegetiran yang romantis.
BACA JUGA Kok Masalah Klitih di Jogja Tidak Selesai-selesai? atau tulisan rubrik ESAI lainnya.