Kita, orang Indonesia, sering sekali dianggap sebagai orang dengan tingkat literasi rendah. Literasi rendah sering kita pahami dengan tingkat minat baca yang rendah.
Tak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun, apakah kalian tahu bahwa kita tidak hanya rendah soal tingkat minat baca, melainkan rendah pula soal minat mendengar. Ini tentunya tak kalah berbahaya.
Dari level atas—pejabat, public figur, dan sebagainya—hingga level bawah seperti kita-kita ini, orang-orang biasa, kerap malas mendengarkan. Kita bisa melihatnya di tayangan televisi, bagaimana para pejabat atau figur publik asik berbicara (biasanya nirmakna), dan seakan enggan mendengarkan lawan bicaranya.
Kita juga kerap melihat di tongkrongan, bagaimana kita dan kawan-kawan kita berbicara sampai mulut berbusa, seakan tak memberi ruang kepada orang lain untuk berbicara. Dan ketika ada orang lain ingin berbicara, kita malah mencegatnya dengan berbicara lagi, seakan-akan telinga yang kita miliki ini haram dipergunakan untuk mendengar.
Kita hanya tahu bicara, bicara, dan bicara. Kita seakan lupa bahwa ada dua telinga yang kita miliki, yang seharusnya dimaksimalkan untuk mendengar lebih banyak, bukan berbicara lebih banyak. Kita hanya punya satu mulut, kan? Dari desain yang Tuhan rancang untuk kita, seharusnya porsi mendengar lebih besar dari porsi berbicara. Namun, kita, orang Indonesia, malah memperlakukan sebaliknya. Ironis!
Sayangnya, keengganan untuk mendengar ini dialami pula oleh orang-orang yang katanya “open minded”, berpendidikan, dan berliterasi. Mereka seakan enggan mendengar terhadap apa-apa yang mungkin bertentangan dengannya.
Padahal, sebagai orang yang “open minded”, hal utama yang harus dilakukan adalah mendengar. Mendengarlah, siapa tahu ada insight menarik dari sebuah hal yang bertentangan dengan apa yang dipercayai.
Kalau begini terus mainnya, tidak heran bahwa di luar sana, ada banyak orang yang maunya benar sendiri, maunya menang sendiri, dan maunya didengar terus. Mau didengar tapi tidak mau mendengar? Enak saja.
Bayangkan betapa bahayanya fenomena ini: minat baca kita rendah, minat dengar kita juga rendah, namun minat bicara kita kelewat tinggi. Klop! Sebuah perpaduan yang pas untuk makhuk yang ironisnya menyebut diri sebagai manusia.
Iqbal AR
Batu, Malang
[email protected]
Uneg-uneg, keluh kesah, dan tanggapan untuk Surat Orang Biasa bisa dikirim di sini