Kalian boleh bilang saya kurus karena kurang gizi, malnutrisi, pola hidup tak sehat, hingga cacingan. Saya terima. Perawakan saya seolah mengiyakan itu semua. Namun yang terjadi sebenarnya, belakang ini saya makan hanya sehari sekali. Ini karena yang beasiswa macet hampir empat bulan.
Saat ini saya menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga menggunakan beasiswa Program Magister Lanjut Doktor (PMLD) dari Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI). Penerima beasiswa PMLD angkatan 2019, di mana saya salah satunya, merupakan angkatan pertama alias percobaan.
Sejak awal, Kemenag memang kerap telat mengirimkan beasiswa di tiap pergantian tahun. Namun, baru kali ini keterlambatannya mencapai hampir 4 bulan. Keterlambatan penyalursan beasiswa itu tidak hanya berdampak pada penerima beasiswa saja. Bapak kos di mana saya selama ini menyewa kamar juga ikut terdampak. Saya sudah nunggak kos tiga bulan, hak beliau tidak terpenuhi.
“Angkatan yang dulu-dulu di beasiswa Kemenag juga sering telat kok. Gitu aja kok ngeluh!” Mungkin menjadi salah satu alibi klise yang bakal muncul di tengah keterlambatan penyaluran kali ini. Tentu saja saya akan mendamprat balik pernyataan itu. Sudah tau bobrok kok malah dilestarikan!
Bagian paling menyakitkan
Untuk Kemenag, bagian paling menyakitkan dari keterlambatan beasiswa ini adalah terlilit utang. Paceklik yang cukup lama memaksa kami mau-tidak mau berutang. Memang, kami penerima beasiswa bukanlah kategori tidak mampu. Namun perlu disadari, mayoritas dari kami UIN Kalijaga juga bukan dari kalangan berlimpah, mayoritas berangkat dari kondisi ekonomi tiarap. Sementara dalam kontrak beasiswa awal, kami dilarang bekerja dan diminta fokus studi.
Mungkin uneg-uneg ini terkesan sambat tak tahu diri. Banyak orang di luar sana tidak seberuntung kami yang bisa melanjutkan pendidikan dengan beasiswa. Namun para penerima beasiswa juga manusia. Kami juga butuh makan, butuh membayar untuk tempat tinggal, perlu bensin untuk penelitian. Semua itu diperlukan demi mengejar tenggat waktu disertasi yang dituntut selesai dalam waktu cepat.
Perihal urusan administrasi kementerian yang terkesan alot dan lama, apa benar-benar tidak ada solusi sama sekali? Sebab kami mencium gelagat pilih kasih di sini. Ceritanya, ketika ada salah satu perwakilan kelas kami yang mencoba menghubungi bertanya tekrait beasiswa ini, kok tidak ada balasan. Sementara penerima beasiswa PMLD di UIN Jakarta direspons pesan WA-nya. Memang LDR selalu jadi masalah ya, yang berjarak kalah dengan yang dekat.
Jangan bawa narasi ‘berkah’
Untuk pengelola UIN Sunan Kalijaga, Tolong, berhentilah memakai—untuk tidak menyebut jualan—narasi “berkah”. Kerap kami diingatkan tanggung jawab beasiswa yang dari pajak rakyat, jika tidak berhati-hati bisa tidak berkah. Kami tahu. Saya sadar. Bahkan saking sadarnya sejak dulu saya tidak mau mengakui kalau beasiswa ini diberi pemerintah. Ini diberi rakyat, orang-orang biasa. Pemerintah hanya penyalur.
Please…jangan bawa narasi berkah dong. Saya geli mendengarnya. Mengingat yang bicara begitu adalah sosok pejabat kampus yang juga masih mengajar di kelas. Saat bertugas mengajar dalam satu mata kuliah, ternyata beliau ini sering absen. Hanya dua kali masuk kelas dan yang terakhir tiba-tiba memberikan UAS. Memang sih, mahasiswa, lebih-lebih yang berada tingkat pascasarjana, itu dituntut belajar mandiri. Namun ini persoalan komitmen juga saya rasa. Dia sebagai pengajar telah ditugaskan, kok malah begitu dihubungi sulit balasnya dan sering sesuka hati memberikan jadwal. Kok kampus yang konon dapat penghargaan inklusif sebegitu sepihaknya?
Beasiswa ini memang niat awalnya sangat baik yakni untuk memutus rintangan distraksi finansial. Oleh karenanya, calon akademisi muda bisa fokus memproduksi ilmu pengetahuan. Namun yang terjadi kini, beasiswa malah macet pencairannya yang bukan tidak mungkin bisa membatalkan niat awal yang mulia itu.
Naufal Waliyuddin
Umbulharjo, Kota Yogyakarta
[email protected]