Saya adalah warga Pandeglang yang sampai saat ini tinggal di Serang. Jarak rantau saya tak terlalu jauh memang. Jika naik kendaraan umum seperti Bus (Murni-Asli) dan PS (elf) cukup ditempuh dalam waktu 1,5 jam saja. Bisa lebih cepat dari itu jika tidak banyak ngetem atau kena macet.
Saya selalu menyukai perjalanan, terlebih ketika bisa duduk menikati sembari bersandar di samping jendela mobil dengan kaca sedikit terbuka sehingga bisa menikmati angin sepoi-sepoi. Bahkan, selain nongkrong di wc, duduk di pinggir pantai, dan perpustakaan, duduk di dalam bis juga menjadi tempat favorit saya untuk merenung, pengecualian ketika muatan penuh alias over capacity.
Sudah lumrah dan bukan rahasia jika kelakuan Bus Murni dan Bus Asli kerap memaksakan penumpang ke dalam bus meski sudah penuh. Sehingga kami para warga Pandeglang jika terburu hendak pulang, di jejal oleh kenek seperti ikan pindang. Jangan tanya perasaan saya bagaimana! yang jelas panas, pegal, dan kesal minta ampun.
Bahkan berkali-kali saya pernah dari Terminal Pakupatan sampai Saketi tidak kebagian tempat duduk. Ini biasa terjadi di waktu long weekend seperti menjelang hari raya. Bukan cuma kesulitan cari kendaraan yang kosong tapi juga tarif ongkos yang mendadak mahal sampai tiga kali lipat. Bahkan beberapa penumpang dari Terminal Kalideres yang menuju Labuan (Terminal Terogong) kerap kena tarif sampai seratus ribu. Kurang asem memang, aji mumpung.
Namun, harus saya akui bahwa di samping pengalaman mengesalkan tadi, ada hikmah juga di baliknya. Meski tiap minggu sekali saya selalu pulang ke Pandeglang namun berbagai pengalaman naik bus ini tak pernah membuat saya kapok malah menjadi semacam reminder ketika sesekali saya merasa lelah akan hidup yang kadang berliku.
Hikmah naik Bus Murni dan Asli
Saat panjenengan naik Bus Murni dan Asli dengan tujuan Labuan atau Labuan-kalideres, yang menjadi pemandangan sehari-hari adalah riuhnya pedagang asongan. Mulai dari minuman, buah-buahan, lampu bohlam, cerutu, power bank, head set, alat-alat tulis hingga buku doa-doa. Itu belum semua saya sebutkan, pengamen sudah pasti mulai dari pembawa gitar, gendang dari pipa, karokean, yang mengaji hingga yang dakwah, ini beneran berdakwah di dalam bus bahkan beberapa kali saya mendengar ceramah dari Palima sampai Cadasari hingga pengemis.
Ketika saya mulai menggerutu, lelah menjalani hari bahkan seringnya protes dengan keadaan segala ragam kehidupan tadi seolah menampar saya. Bahwa keluhan saya tak seberapa dibanding mereka. Berkali-kali saya menyaksikan seorang penjual asongan manisan yang duduk sambil mengipas-ngipas peluh di lehernya. Barisan tukang ojek pangkalan yang matanya menyorot putus asa karena susahnya dapat penumpang yang lebih banyak memilih ojek online. Apalagi tukang becak! meski di Serang tak terlalu banyak tapi mereka tetap ada.
Bahkan terkadang ada yang menjual asongan buah seperti buah salak dan jeruk dalam satu karung sepanjang Bogeg sampai Pabrik-Cadasari dan hanya berhasil menjual satu plastik buah. Mereka obral dengan sangat murah, sepuluh ribu berisi empat puluh buah salak, jelas lebih banyak ketimbang beli buah salah di toko buah.
Semua itu, membuat saya menyadari tentang pentingnya bersyukur meski saya tidak kerja di tempat bonafit, gaji saya juga pas saja tapi cukup, meski hidup saya seakan jalan di tempat. Saya teringat dengan kata-kata Denzel Washington dalam salah satu ceramah motivasinya bahwa; “kamu akan gagal di beberapa titik dalam hidupmu. Terima itu. Kamu akan kalah, kamu akan mempermalukan dirimu sendiri. Kamu akan mengacaukan sesuatu, tidak ada keraguan tentang itu. Rangkullah itu, karena itu tak bisa dihindari”.
Wartini Sumarno,
Saketi-Pandeglang, Banten,
[email protected]