Sebagian pelajar di negeri Wakanda, seringkali dibenturkan oleh sebuah pilihan dan realita setelah mereka mentas dari SMA maupun SMK. Pilihan itu antara mau lanjut kuliah di perguruan tinggi maupun pilihan untuk rehat sejenak menikmati kebebasan hidup tanpa pikiran dan beban, alias nganggur. Terkadang setelah berhasil memilih pilihan, masih saja mereka dibenturkan dengan realita. Entah perihal minim finansial, gagal mendapat izin orang tua buat kuliah, bahkan hingga ditolak oleh kampus idaman.
Berbeda dengan saya. Pada tahun 2019 saya berhasil menuntaskan jenjang pendidikan SMK dengan indikasi keberhasilan kelulusan yang cukup memalukan. Bagaimana tidak, saya lulus dengan pridikat nilai kelulusan 2 koma sekian pada saat itu. Alhasil, membuahkan predikat nilai kurang memuaskan. Tetapi bagi saya itu bukan masalah yang serius, karena orientasi setelah lulus SMK adalah kerja. Membantu beban orang tua yang selalu meminta anaknya untuk segera bisa mencari cuan sendiri.
Walhasil, saya rehat dalam dunia pendidikan, yang sering kita sebut sebagai gap year. Jangan ngira saya nganggur ketika itu. Ngalor ngidul berusaha sekuat tenaga buat nyari kesibukan supaya nggak dicelotehi omongan tetangga. Begitu berat bagi saya ketika itu. Hingga akhirnya sampai dengan saat ini saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, banyak cobaan yang saya alami ketika mendapat julukan gap year.
#1 Merasakan susahnya mencari pekerjaan
Enggan dikira pengangguran setelah lulus dari SMK, saya mencoba untuk merantau ke kota orang demi selembar cuan. Di kala teman-teman sebaya yang sibuk mendafarkan diri dan berhasil lolos di perguruan tinggi idaman mereka, saya masih ngalor ngidul bawa amplop coklat menemui beberapa HRD di perusahaan. Tidak selalu diterima dengan baik tentu. Banyak cobaan yang saya temui.
Tetapi berkat usaha dan jerih payah, pilihan memutuskan gap year dan mengambil sebuah pekerjaan di perusahaan besar berhasil saya lampaui. Walaupun pada akhirnya saya memilih resign, karena merasa jadi buruh itu berat. Dari situlah saya mulai membuka mata, bahwa keberlanjutan pendidikan itu ternyata penting. Jika tidak begitu, siapa nanti yang meneruskan presiden Wakanda di pemilu 2034?
# 2 Dianggap beban keluarga oleh tetangga
Jangan mengira, bahwa dahsyatnya ocehan mulut tetangga hanya terjadi di dunia maya. Di kampung saya tak kalah dahsyat. Beberapa ocehan yang mereka lontarkan kepada saya teramat bervariasi. Semua tentu bermula dari akibat keputusan saya memilih pulang kampung dari kota rantau untuk melanjutkan pendidikan. Tahu sendiri kan, perihal satu bahan omongan saja jika sudah diketahui ibu-ibu, efek dominonya sangat luar biasa. Bisa satu kelurahan mengetahui bahan gosipan itu.
Misalnya, “Anak orang nggak punya kok nekat daftar kuliah, emang duit dari mana?”, ada lagi yang lebih tajam, “Kamu kuliah buat apa? Toh nanti ujung-ujungnya juga bakal jadi buruh pabrik seperti profesimu sebelumnya”. Jengkel? Tentu. Astaghfirullahaladzim istighfar….
#3 Selalu dianggap paling tua ketika di kampus
Sangat sering saya dipanggil dengan sebutan ”Om”, kan kebangeten bisa-bisanya sebutan semacam itu diberikan sama seorang gap year. Saya bukan om-om yang sudah mau lanjut usia. Pahami itu! Memang betul, kebanyakan teman satu angkatan saya memiliki selisih umur antara 2-3 tahun lebih muda dari saya. Tetapi julukan yang diberikan itu lho, garai tensi darah naik 2x lipat.
Sebenarnya hal itu tak begitu menjadi masalah bagi saya. Tetapi ini lain cerita. Mereka seakan-akan membuat julukan “Om” adalah sebagai ejekan semata. Apa belum pada tau yaa mereka itu, kalau yang lebih tua belum tentu dipanggil duluan sama yang kuasa. Biarlah mereka bersuka cita dengan gaya bahasa, saya cukup diam saja sambil memikirkan sebutan apa yang cocok buat mereka.
#4 Overthinking perihal masa depan di umur yang semakin menua
Bagi mereka yang berkecukupan ekonomi tentu merasa tenang-tenang saja dalam menempuh perkuliahan. Apalagi mereka yang mendapat beasiswa. Belum lagi mereka yang telah dititahkan sebagai pewaris tahta tunggal oleh orang tua mereka. Seakan-akan hidup mereka adalah serba-serbi kepastian akan masa depan.
Lalu bagaimana dengan seorang gap year yang umurnya terlampau tua, ekonomi keluarga semakin menuntut, ditambah lagi dengan angan-angan masa depan yang setinggi langit ke tujuh? Serasa hidup ini serba overthinking. Khawatir jadi coboy kampus yang lulus 14 semester, khawatir nanti gagal mendapatkan pekerjaan yang diharapkan orang tua, belum lagi ditambah dengan kekhawatiran nikah tua. Yaaa ampun…
Biarlah tak mengapa, namanya juga ramuan hidup. Kadang senang, kadang juga jadi lelucon. Saya yakin semuanya adalah cobaan hidup. Selagi kita percaya sama Pangeran, insya Allah segala urusan akan dipermudah. Apa salahnya toh dengan gap year? Kami sebagai gap year juga punya latar belakang masing-masing lho. Punya cita-cita juga kok. Jadi, untuk kalian warga Wakanda, entah itu tetangga maupun rekan kuliah saya, harap toleransi yaaa… Sampai jumpa di kesempatan yang berbahagia…
Yoga Tamtama
Kec. Kebakkramat, Kab. Karanganyar, Prov. Jawa Tengah
[email protected]