Aku sudah mati-matian membangun identitas diri, sebagai penulis dan penggerak sosial keperempuanan. Tapi tetap saja, aku lebih dikenal sebagai istri Si Fulan. Tidak peduli bagaimana sikap, cara pandang, dan tindakan yang aku lakukan, mereka selalu berteriak, “Hei! Istri Fulan!”.
Sejujurnya, itu membuatku tidak nyaman. Bukan berarti aku tidak mencintai suamiku. Tapi, tidak bisakah perempuan dikenal karena warisannya sendiri? Karena wawasan, dedikasi, dan daya tular yang dibangun.
Beberapa bulan sejak menikah, aku merasa tidak cukup bebas dengan masyarakat yang menggantungkan kasta sosial perempuan kepada laki-laki. Aku cukup yakin, bahwa perasaan ini bukan kesalahan. Namun, di saat yang sama dengan puluhan pengalaman, nyatanya aku belum berani melawan atau minimal mengatakan tidak suka. Lebih mudah bagiku menghadapi orang-orang di luar sana, yang jelas melakukan kekerasan kepada perempuan. Dibanding melawan stigma masyarakat di lingkungan sendiri.
Bagiku, status istri harusnya tidak menghapus jejak hidup seseorang. Tidak menjadi orang baru, pun menjadi orang lain. Ketika aku melakukan kebaikan, apresiasi yang diberikan ditujukan kepada suamiku. Aku tidak keberatan. Tapi, bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Apakah hal itu masih akan dikaitkan dengan suamiku? Jawabannya tidak. Kebaikan adalah milik suami, keburukan adalah milik istri sendiri.Â
Uung Hasanah
Pamekasan, [email protected]