Ketika beberapa desainer besar menolak karyanya dikenakan Melania Trump, seorang imigran Yahudi yang sukses menjadi desainer fesyen ternama Amerika memilih posisi berbeda. Ialah Ralph Lauren, yang alih-alih mencampuradukkan pilihan politik dengan karya seni, ia merayakan pelantikan presiden baru AS dengan merancang busana spesial untuk Ibu Negara.
Busana biru muda yang dipadu dengan cropped jacket menjadi first statement Melania Trump sebagai FLOTUS atau First Lady of the United States. Maxi dress itu dipadukan dengan sarung tangan berbahan kulit lembut dan pumps warna senada. Sungguh perpaduan yang membuat tubuh langsing Melania tampak anggun mempesona. Sekelebat saya bukan melihat sosok Melania, melainkan Jackie Kennedy yang bereinkarnasi dan mendampingi Donald Trump sebagai tebusan atas dosa-dosanya di masa silam. Faktanya, di mata khalayak, dosa masa lalu Melania jauh lebih besar daripada Jackie.
Amerika telah mencatat sejarahnya. Ketika ratusan kamera menyorot ujung kepala hingga kaki Melania di hari inaugurasi—yang tak lebih ramai dari delapan bahkan empat tahun sebelumnya, tagar #boycottLauren menduduki trending topic. Kala itu, masyarakat Amerika (bahkan dunia) masih terkejut dengan kemenangan Donald Trump atas Clinton. Kebencian netizen terhadap pasangan ini tak terbendung dan berimbas kepada Lauren.
Tagar tersebut membuat Lauren, yang setengah abad lalu mendirikan Ralph Lauren Corporation, mendapat ribuan pesan hujatan, bahkan hingga beberapa hari setelah inaugurasi berakhir. Masyarakat yang anti-Trump tentu sepakat dengan boikot ini. Mereka beranggapan Lauren layak menerima konsekuensi atas pilihannya.
Jauh sebelum inagurasi, sedikitnya sepuluh perancang busana ternama dunia telah menolak merancang gaun bagi Melania. Di antaranya ialah Sophie Theallet yang delapan tahun terakhir merancang gaun untuk Michelle Obama. Meski menyadari tidak bijaksana mencampuradukkan pilihan politik dengan karya seni, Sophie menegaskan bahwa brand miliknya dengan tegas menolak diskriminasi. Rasisme, seksisme, dan xenofobia yang dilakukan Trump selama kampanye hingga hari ini tidaklah sejalan dengan nilai-nilai yang dianut Theallet.
Dalam barisan yang sama ada Marc Jacob dan Tom Ford. Lain dengan Sophie yang menulis penolakannya melalui surat terbuka, Ford yang merupakan pendukung Partai Demokrat dan pemilih Clinton mengatakan keberatannya dalam sebuah wawancara di acara televisi The View. Tidak dijelaskan standar apa yang ia gunakan, Ford mengatakan Melania tidak mencerminkan brand yang ia miliki. Dalam kesempatan lain Jacobs menyatakan, lebih baik ia menggunakan energinya membantu mereka yang telah disakiti oleh Trump dan para pendukungnya.
Mereka, para perancang busana itu, adalah manusia biasa yang sah saja mengemukakan pandangan politik dan sikap mereka. Namun, berangkat dari sini, akan menarik jika kita melihat sosok Melania lebih jauh.
Melania bukan tak sadar suaminya adalah objek bulan-bulanan media dan netizen karena kontroversi yang kerap ditimbulkannya. Ujaran kebencian terhadap Trump juga berimbas kepadanya sejak masa kampanye hingga hari ini. Masa lalunya selama menjalani kehidupan sebagai model pun turut dibongkar, termasuk foto telanjangnya pada 1995 di majalah Prancis Max.
Namun, melihat Melania secara personal dan mempermasalahkannya secara moral adalah kesalahan besar. Melihatnya sebagai korban juga tidak tepat. Tentu tidak kompatibel jika menempatkan standar yang kita anut pada orang lain, yang jelas-jelas mengimani nilai yang berbeda dengan kita. Bukankah semua orang punya masa lalu dan berhak berubah ke arah mana pun di masa depan? Juga Melania. Tidak perlu jadi moralis-moralis bangetlah.
Di sisi lain, jauh lebih sehat jika menempatkan ketidaksetujuan kita terhadap Melania terkait sikap diamnya, yakni diam atas pernyataan dan kebijakan Trump saat menyudutkan perempuan, seksis, antikeberagaman, dan berbau islamfobia. Kita perlu benar-benar bertanya pada Melania, Tante sehat?
Dalam beberapa wawancara media, Melania mengungkapkan bahwa tak selamanya ia setuju dengan Trump. Ia juga kerap memberikan kritik kepada suaminya, meski kadang didengar, kadang juga dianggap angin lalu. Sikap inilah yang tak terdeteksi oleh kita karena tertutupi oleh berita tentang Donald yang masif dan menyakitkan. Tapi, dari sini kita bisa melihat, sebetulnya Melania punya sikap, walau nggak tegas juga atas sikapnya itu.
Tak tegasnya Melania menyatakan keberatan masuk dalam kategori violation by omission, atau kekerasan melalui pembiaran. Memang sih, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik layar. Bisa jadi blio merana. Namun, sebagai first lady, pernyataan sikap politik Melania sangat penting. Dengan meredam suara lalu memilih diam, sama saja ia menyetujui semua sikap dan keputusan Trump yang membahayakan kehidupan umat itu.
Jika dikaitkan kembali dengan penolakan sederet perancang busana ternama terhadap Melania, hal itu bukanlah sentimen semata yang berkutat pada citra atau representasi sebuah karya. Jika kita tarik lebih jauh, penolakan itu adalah pernyataan tegas mereka sebagai warna negara terhadap seseorang yang kini menjadi simbol negara. Penolakan ini jauh melampaui urusan personalitas atau bahkan bisnis.
Melania hari ini bukanlah Melania beberapa bulan yang lalu, seorang perempuan sipil yang juga layak dihormati pilihan hidupnya. Karena ketika kita berbicara negara ada kaum-kaum tertindas di dalamnya yang menderita oleh pernyataan dan kebijakan suaminya, Melania harus tegas dan segera menyatakan sikap politiknya. Sebab, bisa jadi hal itu adalah angin surga bagi rakyat Amerika.