Tenang, saya tidak sedang menyusun daftar lagu-lagu terbaik Rhoma Irama.
Daftar ini sekadar catatan subyektif, yang sempit saja, merangkum lagu-lagu Rhoma berirama rancak (upbeat) terbaik. Inilah jenis lagu yang paling saya suka dari Soneta—kendaraan Raden Haji Oma (Rhoma) Irama meraih popularitas—sejak pertama kali mengenal mereka lewat siaran radio Permata FM Boyolali di usia prasekolah.
Lagu-lagu dalam daftar ini bolehlah kita sebut kulminasi ambisi beliau menghasilkan genre hibrid baru berjuluk rockdut. Genre yang dilahirkan Rhoma agar dangdut tetap punya taring dan energi lebih kala berkompetisi di palagan budaya pop Indonesia. Selain itu, oplosan distorsi dan horn section dalam aransemen dangdut melayu adalah taktik Soneta merespons kebangkitan grup rock macam AKA atau God Bless yang juga menyasar pangsa pendengar anak muda. Upaya kreatif Rhoma ini, setelah diuji sejarah, oleh deretan pengamat musik ditasbihkan “revolusioner”. Sudah cukup banyak artikel mengulas debat kebudayaan rock dan dangdut era Majalah Aktuil, peran Rhoma dalam budaya pop Indonesia (terutama ketika dia mulai menjajal karier sebagai aktor), dan sekian bukti dia penghibur dalam paket komplet yang pantas menjadi ikon. Tak perlu saya jabarkan ulang di sini. Untuk memahami lebih jauh posisi penting Soneta dalam jagat musik Tanah Air, tengok saja buku babon ‘Dangdut Stories’ dari Andrew N. Wientraub.
Satu hal saja yang ingin saya tambahkan. Rhoma adalah satu-satunya bintang pop yang sanggup memaksa ratusan warga Kecamatan Selo di Boyolali, patungan menyewa truk, lalu menonton film-filmnya di bioskop Sonokrido, kawasan pusat kota. Rombongan manusia itu akan membanjiri kota nyaris sepekan, setiap ada film baru. Belum pernah lagi terjadi fenomena semacam itu. Hal yang tak terulang lagi di era Via Vallen dan Noah.
Berikutnya, saya perlu menjelaskan kenapa sepilihan lagu berikut masuk daftar, sementara puluhan lainnya yang juga masuk kategori rockdut terpaksa minggir dulu. Faktor utamanya, dari deretan panjang album-album Soneta, lagu-lagu ini memuat rekam jejak eksperimentasi bunyi paling berani. Ada upaya percobaan di sana.
Jauh-jauh sebelum terpaksa melayani duel dengan para rocker, Oma selalu mengawinsilangkan bermacam genre. Delapan inilah yang saya pikir paling berhasil.
Atas sekian alasan di atas, terminologi yang saya rasa pas buat menjuluki daftar ini adalah “goks”, istilah masa kini untuk ‘gokil’. Sebab ada banyak deretan lagu Rhoma yang mendayu dan ‘sans’ (sebutan ‘santai’ anak sekarang), tapi tak kalah hebatnya dari sisi musikalitas. Minimal, saya harap lagu-lagu ini bisa menggambarkan sisi paling liar Rhoma (setidaknya dari aspek musikalitas, bukan konteks lirik yang tentunya sebagian besar konservatif).
Daftar ini karenanya sekadar mempertegas status Rhoma. Ia bukan hanya pionir, tetapi juga musisi legendaris yang patut kita kagumi. Kalian boleh tak menyukai pandangan politiknya, tapi untuk urusan terobosan musikalitas—termasuk cita-citanya mengakhiri polemik bias selera kelas terhadap dangdut walaupun tak sepenuhnya berhasil—semua orang patut bertekuk lutut. Persis seperti sebagian warga AS yang membenci pemikiran Ted Nugent, tapi berbesar hati mengakui dia sebagai gitaris pilih tanding.
Tetap segarnya karya-karya eksperimental Rhoma setelah sekian dekade sebetulnya mengesankan, sekaligus menyedihkan. Apalagi saat kita sadar kancah dangdut kontemporer tak kunjung naik kelas dari sekadar menghasilkan pengekor sound Soneta.
Sayang, tidak banyak album Rhoma masuk spotify, sehingga Youtube akan jadi sumber rujukan utama catatan ini. Semua tautan ke video klip, termasuk cuplikan film legendaris Menggapai Matahari ada di setiap judul lagu. Sila klik saja.
Berikut daftar yang saya susun. Sama sekali tidak memakai peringkat. (Spoiler: sebab ‘Stress’ sudah pasti ada di urutan teratas).
Punya pendapat berbeda? Jangan ragu berbagi di kolom komentar.
Manifesto Rhoma yang tertuang dalam klimaks film Menggapai Matahari II. Soneta beradu panggung melawan band rock pimpinan Ikang Fawzi. No spoiler: tentu saja bang haji menang. Tapi lewat cara apa menangnya? Nah, itu yang lebih penting. Bang Haji memenangkan pertempuran di gelanggang kesenian melalui salah satu aransemen paling rumit yang pernah dia buat. Saat diwawancarai Om Budi Suwarna Kompas, Bang Rhoma bilang proses aransemen semua lagunya mengandalkan feeling saja, sebab dia tak bisa menulis ataupun baca not balok.
Saya curiga klaim beliau lamis, atawa agak-agak terlalu merendah. ‘Seni’ adalah lagunya yang paling rapi dan sadar timing untuk membangun momentum, meminjam beberapa elemen sound prog rock akhir 70-an, dan dirancang menjadi jenis lagu stadium rock (simak saja bridge-nya). Lagu ini semacam balasan telak terhadap ucapan Benny Soebardja, sang gitaris Giant Step & Sharkmove, yang mencap musik Soneta “tai anjing”.
Gara-gara film (dan momen munculnya lagu ’Seni’) tersebut, semakin retaklah hubungan penikmat rock kelas menengah dan penggemar dangdut. Konflik ini tak perlu lagi ada. Generasi saya tak lagi diwarisi kebencian organik masa lalu, sudah saatnya dangdut dan rock kekinian kawin lagi. Monata, ambil contoh, masih meneruskan semangat Soneta. Namun ya corak rock-nya masih terjebak karakter sound 80’an. NDX aka Familia justru lebih segar, karena mereka merengkuh gaya produksi masa kini dan meminjam tanpa malu elemen hip hop. Rockdut masih punya masa depan. Masalahnya, siapa berani menempuh jalur penuh risiko itu? Sebab, kalau tainya rockdut dari era 80-an saja keren begini, harusnya sih banyak orang tak keberatan diberaki anjing.
Honorable Mention:
Anthem karaoke terbaik, bukan representasi rockdut Soneta yang goks, tapi jelas pasti masuk kategori 10 besar lagu terbaiknya. Kemampuan menyanyikan refrain ‘mirasantika’ bakal membuat siapapun bertambah cool dua kali lipat.