Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur meminta Tuhan ganti nama. Barangkali jika teks ini berdiri sendiri, tanpa ada penjelasan, bahkan umat yang paling sabar pun akan muntab marah. Tapi kita tahu, MUI Jatim tidak meminta kita mengganti nama Tuhan sebagai entitas akbar, namun Tuhan yang manusia.
Menarik bagaimana seseorang bisa bersikap bijak ketika ia memahami sebuah perkara dengan utuh, lain persoalan ketika seseorang atau bahkan media menuliskan sesuatu yang ia tidak ketahui. Kerap kali kita menjadi acuh, marah, atau membenci hal yang susah kita pahami.
Ketua Umum MUI Jawa Timur KH Abdusshomad Bukhori mengatakan, Tuhan sejatinya terjemahan dari “Illah” dalam bahasa Arab. “Memang bersifat umum, tapi kalau dita’rifkan di dalam Islam itu menjadi Allah,” katanya. Ia memahami bahwa kita perlu membedakan antara Tuhan sebagai nama manusia dan Tuhan sebagai entitas yang dimuliakan dan disembah. Kerancuan pemahaman dan ketidaktahuan bisa jadi berbahaya, selain menjadi fitnah, ia berpotensi membikin malu.
Anda mau contoh? Mojok.co pernah membuat respons reaktif ketika MUI membahas BPJS, respons yang abai fakta dan minim pemahaman membuat media ini mesti menanggung malu. Tapi kita bersama tahu, Mojok dengan besar hati mengakui kesalahannya. Jangan dibandingkan dengan situs sebelah yang gemar menyebar dusta dan menghapus postingan blog setelah ketahuan salah. Tapi cukup tentang Mojok.
Apa kabar Tuhan? Ia kini jadi perhatian. Kita dengan gembira, dan sedikit kekanak-kanakan, menyebarkan foto KTP Tuhan di media sosial. Dalam foto tersebut terpampang jelas alamat, agama, nomor induk kependudukan dan juga hari kelahiran Tuhan. Beruntung Tuhan adalah mahluk yang sabar.
Jika Tuhan mau, ia bisa menuntut tiap manusia, juga media, yang menyebarkan foto dan data pribadinya tanpa izin. Undang–undang kita memungkinkan itu—yang sayangnya, jarang dipedulikan banyak orang.
Beberapa dari kita, dengan semangat ingin menjadi lucu dan menjadi yang petama, menyebarkan data pribadi yang tertera di KTP Tuhan. Tanpa sedikitpun punya pikiran, bagaimana jika kelompok intoleran menilai itu sebagai penghinaan? Bagaimana jika data pribadi itu digunakan untuk kejahatan? Keinginan untuk jadi yang utama dan yang jenaka kerap mengabaikan akal sehat. Beberapa media malah dengan gencar mengeksploitasi kehidupan pribadi Tuhan, seolah ia penting diketahui publik.
Tuhan memang sabar, ia rela jadi lelucon. Tapi baiknya kita sepakati dulu: kita sedang membahas Tuhan yang manusia, bukan Tuhan yang Maha Esa—yang namanya kita gunakan untuk menyerang kelompok minorias atau bahkan melarang umat beragama lain beribadah. Kita sedang bicara tentang Tuhan, seorang manusia yang menggenapi nubuat “15 menit ketenaran” Andy Warhol.
Ketika kabar bahwa Tuhan sedang di Jakarta, beberapa kawan saya di media sosial menjadi bersemangat. Keberadaan Tuhan membuat kita bisa menertawakan diri sendiri dan ide tentangnya dengan bebas tanpa takut dianggap menodai agama (blasfemi). “Kalau ketemu Tuhan, tolong lihat di tangannya ada siapa. Siapa tahu jodoh saya di tangan dia,” kata seorang kawan.
Kemunculan sosok Tuhan disambut beragam, kebanyakan tentu saja dengan humor. Bayangkan jika anda hendak bertandang ke rumah Tuhan, seseorang di jalan bertanya mau kemana. Dengan mantap anda menjawab, “Saya mau pergi ke rumah Tuhan,” atau “Saya dipanggil Tuhan.” Anda boleh jadi sangat marah apabila lelucon inidiperuntukkan kepada Tuhan yang Maha Esa, namun ketika ia disematkan kepada sesosok manusia, ah akui sajalah, ini lumayan lucu, kan?
Lelucon menghadirkan kesan berbeda mengenai sosok Tuhan. Ada yang cair: yang sakral menjadi profan, dan yang transenden menjadi imanen. Lebih dari itu, sosok Tuhan yang selama ini dianggap tak terjangkau dan misterius menjadi terang benderang. Kita mendekap konsep Tuhan yang manusia sebagai kesempatan untuk menjadi bebas—terlepas keyakinan apapun yang kita miliki. Tuhan yang manusia adalah sosok yang dekat dan hadir. Sementara Tuhan yang serba maha masih berada di singgasana-Nya.
Tuhan memiliki banyak nama, jika kita sepakat bahwa segala yang maha berhak dilabeli sebagai Tuhan. Ia bisa saja bernama Wisnu, Indra, Siwa, atau Yesus. Maka beberapa agama yang telah dewasa tidak mempersoalkan penamaan, Yesus bisa jadi seorang pemain sepak bola, sementara Wisnu bisa jadi peneliti kajian media. Tapi jangan sekali-sekali bermain dengan nama Allah. Ia adalah sesuatu yang suci.
Tahun 2007 silam, Kementerian Dalam Negeri Malaysia melarang surat kabar Katolik berbahasa Melayu, The Herald, menggunakan kata ‘Allah’ yang merujuk kepada Tuhan. Pemerintah berdalih, jika surat kabar The Herald menggunakan kata ‘Allah’, itu bisa membingungkan mayoritas Muslim dan membahayakan keamanan nasional. Bayangkan, betapa lemah iman seseorang sehingga Tuhan saja bisa tertukar karena memiliki nama yang salah.
Umat Islam Malaysia mengatakan bahwa Allah hanya milik muslim. Saya ragu bagaimana jika mereka mampir ke Syiria, Mesir, Lebanon, atau tempat-tempat lain di mana kata Allah biasa dikumandangkan di gereja, dan bukan hal yang mengagetkan jika banyak pemeluk Katolik memiliki nama Abdullah (yang artinya hamba Allah). Kita tentu bisa membedakan, mana yang tertinggal dan siapa yang beradab.
Sosok Tuhan yang hadir di Indonesia sebagai manusia menjadikan kita umat yang tidak lagi kagetan. Setidaknya, Tuhan tidak terlalu sial sebab tidak tinggal di Malaysia. Semoga keberadaan Tuhan ini mengajarkan kita bagaimana bersikap adil–terutama kepada yang tidak kita ketahui dan tidak kita pahami.
Lha, kok ya serius amat ini tulisan?