MOJOK.CO – Mereka yang melupakan kopi sachet tak ubahnya seperti Malin Kundang yang tidak mengenal ibunya setelah kaya raya. Nista! Kejam! Dusta!
Sebagai salah satu penikmat kopi, maraknya coffee shop di mana-mana tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi saya pribadi. Alternatif tempat yang bisa dikunjungi bertambah, lengkap dengan desain kedai yang unik, tempelan quotes inspiratif. Sungguh, tidak bisa disangkal, coffee shop adalah sarang anak-anak muda kreatif.
Tapi, dari sekian nuansa positif itu, selalu saja tersempil sisi ironi. Salah satu ironi yang muncul dari para penikmat kopi garis keras adalah…
…penistaan kopi sachet!!!
Ya, ini sungguh memilukan.
Ingat saat berita tak terduga yang menyebutkan bahwa kopi sachet bisa menyala saat dibakar? Kabar itu semakin membuat penikmat kopi sachet tertekan sekaligus bertanya-tanya dengan khawatir: apakah perut kami seperti bom waktu yang menunggu untuk meledak?
Please, deh: tak cukupkah garis keras-garis kerasan itu hanya ada pada politik, agama, atau sepak bola? Masa iya, sih, sekarang harus hinggap pada urusan kopi?
Tapi, yah, apa boleh buat. Arus semacam itu sudah semakin deras, padahal hanya sedikit saja yang membela kopi sachet. Sungguh menyedihkan.
Padahal, nih ya, kalau kita mengakui dengan jujur dan rendah hati, kopi sachet adalah rahim semua pencinta kopi di seluruh dunia!!!
Well, mungkin tidak seluruh dunia, tapi setidaknya di Indonesia. Eh, oke, oke, mungkin tidak seluruh penduduk Indonesia, tapi setidaknya saya, deh. Saya ini, loh, memulai karier penikmat kopi dengan dimulai dari kopi sachet.
Seingat saya, pertama kali saya suka kopi adalah ketika saya disuguhi oleh gebetan, yang sekarang alhamdulilah sudah menjadi istri orang lain—bukan saya. Eits, Anda jangan ketawa, nanti saya murka.
Good Day Mocaccino yang ia suguhkan. Kencan sambil menyeruput kopi itu ternyata memang luar biasa nikmat sekali. Selepas pulang, saya langsung beli, menyeduh sendiri di rumah hanya sekadar untuk mengulangi kemesraan bersama dengannya. Begitu romantis.
Awalnya, sih, begitu, sampai kemudian saya coba lagi rasa-rasa yang lain karena ternyata ada 5 pilihan rasa (sekarang sudah ada tujuh). Selepas itu, saya jadi kecanduan kopi sachet. Saya mulai menjajal merek yang lain—nyaris semua merek kopi sachet. Tapi, ingat: ini sudah tak ada hubungannya sama sekali dengan gebetan saya yang tadi!
Setelah bertahun tahun ngopi sachet, maqom saya meningkat jadi “kopi racikan” (istilah yang saya buat sendiri). Kopinya, sih, masih kopi instan dari merek Nescafe atau Indocafe, lalu pakai krimer Indocrimer, Nescafe, atau Kapal Api. Kopi racikan jadi pilihan saya karena saya jadi bisa mengatur sendiri tingkat manis atau pahitnya. Saya menjalani tirakat kopi racikan itu lumayan lama, mungkin sekitar 3 tahun lebih.
Lambat laun, kopi sachet mulai tertinggalkan. Soalnya, rasanya jadi aneh sendiri setelah saya lebih sering meracik kopi. Saya juga mulai sedikit belagu pada teman-teman saya yang masih mengonsumsi kopi sachet. Saya bilang kepada mereka bahwa gulanya nggak asli, persis kayak cinta sang pengkhianat. Dengan sombong, saya tunjukkan kopi saya: kopi racikan sendiri. Sungguh, saya merasa maqom kopi saya sudah naik satu level dari mereka.
Sesekali, saya mengunjungi kedai kopi. Terus, kopi apa yang saya pesan? Yaaa, paling cuma cappuccino atau latte. Saya tak pernah memesan espresso, tuh. Nggak berani. Sesekali, saya juga pesan kopi hitam, itupun yang dingin.
Dalam rentang waktu yang cukup lama, saya memudian kecanduan sama…
…Yummy Coffee Indomaret. Iya, saya serius!!!
Harganya lebih mahal dari kopi sachet, juga dari kopi racikan sendiri. Namun, rasanya juga beda, lebih berkelas di lidah saya. Berkat Yummy coffee inilah, saya mengenal espresso. Menariknya, harganya pun murah, di bawah 10 ribu rupiah. Reaksi pertama saya ketika melihat espresso adalah menyesal karena cuma dapat sedikit dan pahitnya—beuuuuh—haram jadah.
Dari pengalaman itu, barulah saya tahu kopi asli tanpa campuran gula dan susu seperti apa rasanya. Pahit, sih, tapi kok… sedap.
Perkenalan dengan manual brew kemudian diperantarai oleh kopi legendaris dari Bandung Aroma. Saya mencari informasi di internet tentang cara menyeduh kopi tanpa ampas dengan alat. Pilihan saya pun jatuh pada Vietnam Drip dan French Press karena penggunaannya mudah dan murah.
Setelah memiliki alat penyeduh kopi, tentu saja saya beli kopi lagi. Di sinilah saya tertegun mengenal jenis-jenis kopi. Mana yang harus saya beli? Setelah percobaan berkali-kali, akhirnya Robusta-lah yang sesuai lidah saya, bukan Arabica.
Hingga sampailah saya pada maqom penikmat-kopi-lumayan-paripurna. Tentu saja, “paripurna” di sini ya “paripurna” menurut saya, yakni membeli kopi biji, digiling sendiri, lalu seduh di rumah dengan teknik manual brew. Kenapa saya bilang “lumayan”? Ya karena saya masih tidak menghiraukan gramasi kopi dan derajat panas air. Kalau sudah seperti itu, nanti saya lebih mirip sama coffee snob dong, Gaes-gaesku~
Jadi, ladies and gentlemen, sadarkah kalian semua pada satu hal? Seluruh perjalanan kopi ini semuanya bermula dari satu titik, yaitu…
…kopi sachet.
Ya, ya, ya. Saya pikir, tidak sedikit coffee snob, expertise, sampai barista level master sekalipun yang tidak melewati tahap kopi sachet. Saya rasa, saya tidak sendiri. Mungkin memang ada yang langsung menikmati kopi asli dengan teknik manual brew, tapi berapa banyak, sih, orang yang seperti itu?
Dengarlah baik-baik, Saudaraku. Kopi sachet adalah kenangan—kenangan bersama seorang mantan. Kopi sachet juga adalah perjuangan—perjuangan yang menemanimu membereskan skripsi dan rapat-rapat demonstrasi. Kopi sachet adalah guru SD yang mengajarimu huruf-huruf sehingga pandai menipu, eh—maksud saya—membaca.
Mereka yang melupakan kopi sachet tak ubahnya seperti Malin Kundang yang tidak mengenal ibunya setelah kaya raya. Atau, Qorun yang mendaku bahwa kekayaan itu hasil dirinya sendiri tanpa campur tangan Allah Ta’ala. Nista! Kejam! Dusta!
Dan inilah yang paling penting: kopi sachet adalah simbol perlawanan kelas. Ini serius, Gaes.
Penikmat kopi sachet selalu muncul dari kelas menengah ke bawah. Bukan berarti mereka tidak suka kopi asli dengan teknik seduh ini-itu, tapi karena ongkos hidup mereka memang membatasi. Maka, cukuplah ngopi seharga lima ribu rupiah, itu pun dengan gelas plastik. Mantap!
Dengan menyelewengkan ucapan Camus, marilah kita tutup tulisan ini dengan simpulan: “Satu-satunya cara untuk menghadapi dunia yang penuh dengan coffee snob adalah menjadi penikmat kopi sachet sehingga eksistensi Anda adalah pemberontakan.”