Pada suatu ketika, saya sedang berada di rumah teman untuk urusan pekerjaan. Di sana ada saya, teman saya (A), dan seniornya (B), mereka berdua adalah laki-laki sementara saya perempuan sendiri. Kebetulan, si A sedang ada masalah dengan calon istrinya. Maka jadilah ia curhat kepada saya dan seniornya. Sebagai orang yang sudah berumah tangga atau lebih berpengalaman, B memberikan banyak wejangan kepada A.
Ada salah satu gagasan yang mereka sepakati bersama—tapi saya merasa keberatan terhadapnya—yakni mereka sebagai pihak laki-laki, heran dengan pasangannya yang memilih untuk memakai baju kucel atau yang sudah kumal saat berada di rumah.
Si A bilang, “Sudah dibeliin baju bagus-bagus, mahal-mahal, eh dipakainya pas di luar rumah doang. Padahal kan, yang beliin laki-lakinya—kita! Lha kok dipamerinnya malah ke orang lain.”
“Nah, bener itu. Minta peralatan dandan katanya biar makin cantik, udah dibeliin. Eh tetep aja dipakainya ya pas ada acara di luar rumah. Kalau di dalem rumah, boro-boro pakai make-up dan baju bagus dihadapan suami atau pasangan,” senironya mengamini. Begitu seterusnya curhat dua lelaki tentang kesamaan pasangan masing-masing.
Saya nggak setuju, tapi nggak berani juga buat buka suara. Cuma mesem saja sambil nggerundel dalam dada. Iya, sepengecut itu aqutuuuw~
Sebenarnya, apa yang dikeluhkan oleh dua orang tadi tidak sepenuhnya salah. Mungkin, sebagai pihak yang sudah berjasa dalam memberikan sesuatu kepada pasangannya, mereka menginginkan feed back atau timbal balik. Mereka ingin agar pasangannya pakai baju bagus juga saat di dalam rumah—tidak hanya saat sedang ada urusan di luar rumah. Dua laki-laki tadi sepertinya merasa punya hak untuk melihat pasangannya dalam keadaan bersih, dan cantik macam laundry karena merasa sudah memenuhi kewajiban sebagai suami dan calon suami.
Tapi boleh kan kita coba ambil sudut pandang lain? Enggg nganu, Mz—jadi gini. Teman saya, si A adalah seorang anak sekaligus calon suami yang masih “numpang” di rumah orang tuanya. Apakah semakin beranjak dewasa maka seseorang semakin mandiri untuk mencukupi kebutuhannya? Belum tentu. Contohnya si A ini, jangankan mengurus rumah, urusan makan saja masih diladeni sama ibunya. Iya, diambilin nasi sayur lauknya. Kalau sudah habis, ya ibunya yang menaruh piring kotor ke wastafel dan mencucinya—urusan baju apalagi. Tertebaklah sudah.
Dengan habit yang seperti itu—yang nggak kenal pekerjaan domestik dalam rumah tangga—ia menginginkan istri atau pasangan yang senantiasa bersih, wangi, dan cantik sepanjang hari. Wani-wanine!
Lha apa ya ndak mikir, kalau suami nggak mau mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel lantai, cuci baju, belajar masak, dan sebagainya, otomatis kan yang mengerjakan ya istrinya seorang diri. Itu belum kalau sudah ketambahan anggota keluarga alias sudah punya anak. Beres-beres rumah, mencuci baju semua anggota keluarga, memasak, mengurus anak 24 jam kan capek, keringetan, dekil, blas hampir tidak ada cantik-cantiknya. Jadi, ya tidak salah juga kalau istri lebih memilih untuk pakai baju seadanya di dalam rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Lha wong ya tidak ada tamu—tidak ada yang menonton.
Saya memang belum berkeluarga, tapi dari cerita-cerita sanak keluarga saya yang sudah berumah tangga, terutama dari pihak perempuan, tidak jarang mereka sebenarnya juga merasa ketar-ketir kalau suaminya melirik perempuan lain di luar sana yang lebih terlihat semlohai dan wangi. Sering pula mereka curhat bahwa mereka juga punya keinginan untuk tampil seperti saat mereka masih melajang, serba bersih, wangi, sedap dipandang.
Tapi, apa daya kami, wahai lelaki? Kalian tidak membantu kami mengurus rumah, tak mau gantian memandikan buah hati, setrikaan menggunung pun tak kalian sentuh sama sekali. Kalau rumah berantakan, kalian pikir yang ngomelin kami cuma para suami? Enggak, masih ada omelan orang tua kita berdua dan juga bisik-bisik tetangga yang menunggu untuk disampaikan pada ibu rumah tangga.
Sudah tidak mau membantu meringankan beban istri sama sekali, tidak ada inisiatif untuk cari asisten rumah tangga, kemudian masih menuntut istri untuk selalu tampil cantik dan wangi. Cih! Ha mbok ya sadar diri!
Tapi mau bagaimana lagi. Telinga kami sudah dijejali paham bahwa keluh kesah yang kami sampaikan tadi merupakan kewajiban kami sebagai istri. Selain itu—katanya—istri juga harus selalu bersyukur dan legawa atas apa pun dan berapa pun pemberian suami. Protes? Membantah? Kata durhaka dan nerakalah yang menanti.
Padahal, apa to susahnya menyapu lantai, menjemur pakaian basah yang baru dicuci, menyuapi anak, memandikan buah hati, atau sekali-sekali bersedia mengeluarkan anggaran untuk menyetrikakan pakaian-pakaian di laundry? Tahu, nggak? Dengan suami mau berbagi tanggung jawab dan peran, istri jadi tidak capek sendirian karena “beban”-nya berkurang. Kalau pekerjaan rumah dibagi dan beban berkurang, penampilan istri terlihat mendingan—dan kalau penampilan istri agak cakepan, maka suami pun sepertinya akan merasa lebih senang. Dengan suasana rumah tangga yang menyenangkan, banyak hal yang bisa dibicarakan dan diselesaikan.
Atau, kalau sudah terlampau lelah setelah seharian bekerja dan merasa tidak sanggup membantu isitri, opsi kedua ya mencari pengasuh anak atau asisten rumah tangga. Toh, sekarang banyak yayasan yang menyediakan tenaga untuk mengisi pekerjaan tersebut. Cari tahu alias survei dahulu perihal yayasan mana yang sesuai dan dapat dipercaya juga menguntungkan tiga pihak yang terlibat.
Masih tidak mau serepot itu? Bertanya dan cari saja melalui tetangga atau saudara perihal orang yang sekiranya cocok atau sudah berpengalaman jadi pengasuh anak asisten rumah tangga. Sebelum berangkat dan sepulang kerja tidak perlu ikut mengerjakan pekerjaan domestik dan tetap—istri terlihat cantik.