Aborsi merupakan keputusan yang bahkan mungkin sama sekali tidak akan terpikirkan bagi setiap kaum hawa di mana pun ia berada. Menurut mereka, ada alasan kuat yang melatarbelakangi pilihan mereka.
***
Kami mengenal satu sama lain kurang lebih satu setengah tahun, dan saya baru mengetahu alasan sebenarnya ia meminjam uang beberapa bulan ini. Alasannya cukup membuat saya tidak bisa berkata-kata.
Saya bertemu dengan Tata (20) di sebuah kafe yang tidak hanya menyuguhkan makanan dan minumannya, tetapi juga mengusung konsep art space dengan menyuguhkan beberapa karya seni yang dapat dinikmati pengunjungnya.
Tata yang saya kenal satu setengah tahun lalu sangat berbeda dengan Tata yang sekarang. People change, they said. Tata yang dulu adalah seorang perempuan dewasa muda yang masih berusia 18 tahun yang merupakan mahasiswa baru di sebuah universitas di Yogyakarta. Perkenalan kami cukup singkat saat itu, sekedar haha hihi sampai saya harus pindah sementara ke Ibukota, akhir Oktober 2019.
“Jadi, gimana perasaanmu hari ini?” tanya saya mengawali pembicaraan.
“Hahahahaha anjir basa basi banget cuk pengantarnya, gak papa, biasa aja hari ini,” balasnya sambil tertawa terbaha-bahak.
Hahaha sial, bisa saja ia menyatakan hal itu to the point meski ia sudah tahu maksud dan tujuan saya mengajaknya bertemu.
“Ngobrol biasa aja gapapa kok,” jelasnya sambil menghembuskan asap dari rokok yang ia nikmati.
“Hahaha baiklah kalau begitu,” jawabku sambil membenahkan posisi duduk.
“Jadi, gimana rasanya aborsi?” tanya saya pelan. Mendengar pertanyaan saya, Tata tersenyum dan mengambil nafas panjang, kemudian meletakkan rokoknya sejenak.
“Yang aku alami dulu, aku sempet sakit secara fisik dan psikis juga. Itu juga aku alami sebelum dan sesudah aborsi, dan yang jelas aku lalui semua sendiri. Dari awal tanda-tanda yang ada, terlambat datang bulan, pusing, dan mual,” jelasnya dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.
Yang Tata ingat dari proses aborsi itu adalah bagaimana rasa sakit ketika kontraksi yang ia alami. Ia menjelaskan kalau sakit perut yang ia alami lebih sakit dari pada ketika sakit perut datang bulan. Mungkin kaun hawa lainnya bisa relate dengan sakit perut datang bulan, bagaimana hal itu sangat menyiksa.
Tata sendiri mengaku tidak pernah sama sekali memikirkan ia akan melakukan aborsi dalam hidupnya. “Emang waktu itu bajingan banget sih tu cowok. Di sisi lain, aku sudah merasa seperti diperkosa. Bahkan aku sampai menangis di hadapannya dengan harapan ia tidak akan melakukan hal itu kepadaku,” jelasnya dengan tatapan kosong ke sebuah lukisan.
“Aktivitas seksual berikutnya ia lakukan tanpa persetujuanku lagi, yang ternyata mengakibatkan kebobolan dan aku hamil tanpa aku dan dia sadari,” jelasnya perlahan. Akhir Desember 2019, Tata memutuskan untuk mekaukan aborsi.
“Dengan bantuan beberapa teman saja untuk mengantarkam karena kendaraan pribadi semua dipakai orang tua, Gojek pun duit menipis karena aku pakai konsultasi, dan lain-lain,” kata Tata.
Tata rutin berkonsulitas di sebuah lembaga sampai kemudian memutuskan untuk aborsi. Segala proses aku selesaikan dengan tertata dan serapih mungkin, aku usahakan untuk tenang. “Mereka juga menjelaskan bagaimana risikonya, dan mau tidak mau aku harus menyetujuinya,” ungkapnya sambil menggerakkan tangannya, tetapi tatapannya masih kosong ke lukisan.
Meski pihak lembaga di mana ia berkonsultasi menahannya untuk tidak melakukan abrosi. “Meski di awal mereka tetap berusaha menahanku, dengan cara yang baik tentunya, untuk tidak melakukan aborsi. Namun, apa boleh buat, tekadku tetap bulat.”
“Orang tua kamu gimana? Kamu beri tahu mereka nggak?” tanya saya penasaran.
Tata melirik saya. “Tentu saja nggak, kalau aku beri tahu mereka, pasti aku udah diusir dari rumah, dan enggak tahu apa yang akan terjadi padaku sekatang,” jelasnya sambil menguyah pelan kentang goreng yang ia pesan.
“Dengan latar belakang orang tuaku yang cukup kolot akan pemahaman mereka tentang seksualitas dan dengan didikan mereka yang sangat keras, bikin aku yakin akan respon terburuk mereka,” ungkapnya. Tata mengaku tidak bisa relate dengan keadaan orang tua yang marah namun masih bisa memaafkan dan menerima kembali apapun keadaan anaknya.
Tidak selesai begitu saja dengan aborsi
Penderitaan yang Tata alami pada November – Desember 2019 tidak berakhir begitu saja pasca-melakukan aborsi. Ia mengaku kalang kabut untuk menghubungi kawan-kawannya hanya sekadar untuk bercerita meringankan bebannya. Bahkan untuk sekadar ngobrol singkat, rasanya sungguh menyiksa batinnya. Ingatannya selalu kembali pada waktu di mana ia menenggak obat yang ia dapat dari lembaga itu.
“Bagaimana perasaanmu waktu itu?” tanya saya pelan
“Nggak bisa dideskripsikan sama sekali. Rasanya sangat sakit. Tubuhku dan hatiku. Yaampun, anakku ayu banget,” jelasnya dengan nada lirih.
Mendengar responnya, saya tertegun sejenak, hanya memandanginya memastikan ia masih merasa nyaman dan aman meski saya tahu dari raut wajahnya, ia merasa gundah gulana. Saya memberikan jeda sejenak dari obrolan ini.
“Cowokmu waktu itu tau?” tanya saya setelah obrolan ringan kami lewati.
“Tahu, setelah aku aborsi baru aku kabarin dia. Tapi ya gitulah, seperti prediksiku di awal, persis. Dia denial, dan mengatakan bahwa aku berbohong. Dan yang paling parah, yang bikin aku sakit hati, dia menyatakan kalau aku berhubungan badan juga dengan lelaki lain. Padahal waktu itu kami masih berstatus pacarana,” ungkapnya perlahan.
Saya tertegun ternyata model lelaki seperti itu masih ada, dan mungkin banyak jumlahnya.
“Tapi nggak cuma sampai situ saja,” jelasnya menggantung.
“Ternyata cabang bayinya kembar, yang pertama sudah luruh pada Desember 2019 yang janinnya aku saksikan sendiri setelah aku meminum obatnya. Sementara ternyata di dalam perut masih ada 1 janin yang belum keluar,” katanya.
Tata baru tahu ada janin yang tertinggal setelah selama akhir Januari 2020 ia tiba-tiba ngerasa nggak enak badan. Cukup lama ia menyadari ada yang salah di rahimnya sampai kemudian ia memutuskan konsultasi ke lembaga yang sama dan melakukan proses USG untuk memastikan. Ternyata bener, masih ada janin satunya yang di dalam, walaupun nggak memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang lagi,” sambungnya menerawang.
Tata saat itu bingung karena tak punya uang sama sekali. Akhirnya dengan berat hati aku pinjam ke beberapa teman sekitar kurang lebih Rp 200.000,- dengan alasan ‘Aku bantuin ngelunasin utang keluargaku’, termasuk aku juga pinjam ke kamu kan dengan alasan itu, dan untungnya kamu percaya dan bisa pinjemin,” imbuhnya.
Udara siang itu termasuk dingin, sesekali angin bertiup menggerakkan rambutnya yang tergerai. Membuat suasana begitu sepi, hanya lantunan lagu dari speaker kafe yang mengisi kesunyian ruangan yang cukup besar namun hanya ada kami berdua saja.
Tata juga menceritakan tentang bagaimana tahun 2020 menjadi tahun terburuk dalam hidupnya. Hampir setiap malam ia menangis dan titik terburuknya ialah ia melukai dirinya dengan cutting di tangan kirinya. Tak jarang ia mengenakan pakaian berlengan panjang untuk menutupi bekas lukanya yang masih saya lihat secara samar-samar kemarin.
Sudut pandang kehidupan yang berubah
Mengingat Tata yang dulu dan sekarang, saya sangat salut dengannya. Hati dan kemauannya bertahan sangat patut diacungi jempol. Sisa-sisa tahun 2020 yang ia miliki ia gunakan untuk mencoba bangkit sebisa mungkin. Sekecil apapun langkah dan prosesnya.
Awal tahun 2021 saya melihat unggahan di sosial media Tata menjadi lebih ramai, ia menjadi lebih banyak berinteraksi dengan pengikutnya, seperti membagikan hasil karya dengan makna yang lebih ceria. Ia sangat senang sekali menggambar. Yang berbeda ialah, pada tahun 2020 Tata lebih banyak mengunggah gambaran dengan makna “kehilangan”, tentu berkaitan dengan apa yang telah ia alami.
“Menurutmu aborsi itu pilihan terbaik atau nggak?” tanya saya.
“Ya tergantung situasi dan kondisi sih. Ada yang Namanya pro-life dan pro-choice. Pro-life adalah ketika kita memilih untuk mempertahankan janin dalam situasi dan kondisi apapun. Tapi kalo pro-choice adalah ketika kita memilih untuk mengaborsi janin tersebut karena situasi dan kondisinya tidak memungkinkan, seperti kehidupannya tidak akan terjamin, atau yang lain lah, setidaknya itu menurutku. Meski harusnya orang tua itu selalu bertanggung jawab, atau setidaknya mereka yang memutuskan dan setuju satu sama lain untuk berhubungan badan,” jelasnya lengkap.
“Terus, setelah masa-masa sulit itu, ada yang berubah dari kamu nggak?” tanya saya penasaran
“Ada. Yaitu sudut pandang. Bahwa pemerkosaan itu nyata. Karena jujur, sebelumnya aku bodo amat perihal pemerkosaan. Sampai aku ngalamin sendiri. Dulu sih aku selalu menganggap kalau pemerkosaan terjadi karena pihak perempuan juga coba-coba kayak apa yang orang tuaku sampaikan ke aku, sampai aku ngalamin sendiri,” kata Tata.
Tata kini merasa, pemerkosaan itu bukan tentang kamu diewe, tapi bagaimana dia memperlakukan kamu dengan memaksa maksa dan tanpa keinginanmu, cara dia menyentuh badanmu secara paksa, dan mungkin bisa dibilang pelecehan seksual.
Tata menjelaskan bahwa sampai sekarang ia masih dalam proses healing dengan segala perjalanan yang pernah ia lewati. “Hal ini tidak pernah mudah buatku, dan aku kadang mimpi lihat anakku. Berat, tapi aku harus belajar bangkit pelan-pelan,” ungkapnya.
Tata aktif mengikuti kegiatan luar kampus, menyibukkan diri dengan mengembangkan bakat dan minatnya, serta memperdalam pengetahuannya. Hal-hal itu itu yang membuatnya bertahan hingga saat ini dan cara yang ia yakini mampu mengobati rasa sakitnya.
BACA JUGA Fried Chicken Cak Yunus Memang Kaki Lima, tapi Istimewa liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.