Kata orang, jabatan itu seperti pacar, dia cuma amanah, cuma titipan, sebelum diambil kembali oleh… jodohnya. Tapi tidak sedikit orang yang berebut untuk mendapatkan amanah itu. Di Turki, misalnya, baru-baru ini kita mendengar bagaimana ketika tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba tentaranya berusaha merebut jabatan dengan cara memberontak. Untungnya gagal. Kalau tidak, entah bagaimana nasib idola kita semua, Bang Tayyip Erdogan.
Dan penyebab gagalnya pemberontakan itu heroik pula: dihadang oleh rakyat Turki yang seribu persen mencintai presidennya. Dicintai rakyatnya begitu rupa, siapa yang tidak terharu? Tidak terkecuali Bang Tayyip yang sempat menghilang, yang kita kira tidak akan kembali lagi ke Turki walau sudah tiga kali puasa, tiga kali lebaran. Ingat, bagaimanapun, Bang Tayyip juga manusia, punya hati, punya rasa. Ditambah dukungan dari sahabat kita semua, Abangnda Jonru, dan sejuta likers fans page-nya, maka makin kuatlah keinginan Bang Tayyip untuk kembali.
Dukungan dari rakyat di negeri yang ribuan kilometer jauhnya dari Turki ini, masih tidak masuk di akal saya. Apa yang sudah dilakukan Bang Tayyip sebenarnya sehingga Abangnda Jonru dan sejuta umatnya begitu menggilainya? Belum pernah saya dengar ada ekspor seprai besar-besaran dari Indonesia ke Turki, misalnya. Tapi mungkin begitulah cinta, buta kata orang. Mencari alasan seseorang mencintai orang yang lain sama rumitnya dengan mencari tahu bulat yang bulatnya benar-benar bulat.
Kembali ke soal jabatan, baru-baru ini kita diberi tontonan (sekaligus tuntunan) oleh presiden kita PJM Jokowi betapa jabatan itu cuma sementara lewat kocok-ulang kabinetnya. Tak pelak, kontroversi pun merebak. Saya sepakat dengan pendapat Kepala Suku Mojok yang menyebut bahwa keriuhan ada di seputar nama Anies Baswedan, Sri Mulyani, Wiranto, dan tak ketinggalan, the one and only, Mba’ Puan.
Banyak orang bertanya-tanya alasan PJM Jokowi mengocok ulang kabinetnya. Kebanyakan menyebut jatah kursi untuk Golkar dan PAN yang baru bergabung dengan koalisi. Dan semuanya mentah karena Golkar dan PAN toh sama-sama cuma kebagian satu pos. Pendukung garis keras Jokowi menyebut soal kinerja, dan justru tepat di sanalah masalahnya. Kenapa Anies Baswedan? Kenapa bukan Puan? Inilah pelajaran pertama soal jabatan dari Jokowi: yang fana adalah jabatan, Mba’ Puan abadi.
Saya punya pendapat lain. Saya kira kocok-ulang kabinet ini tidak bisa dilepaskan dari manuver SBY, mantan presiden kita yang chabby itu. Ketika bahkan Prabowo, rival berat Jokowi di pilpres yang lalu, anteng-anteng saja di rumah, Pak Beye malah bikin safari politik ‘SBY Tour d’Java’. Kayak balap sepeda. Dan puncaknya adalah ketika kemarin Partai Demokrat resmi mengumumkan calon presiden dari partainya. Dan, benar tebakan kita semua, Partai Demokrat akhirnya mengusung nama mantan ibu negara sebagai capresnya: Hillary Clinton.
Saya tidak tahu berapa lama Pak Beye dihukum tidur menghadap tembok oleh Ibu Ani gara-gara perkara ini, yang jelas kemarin Jokowi mengumumkan nama menteri-menteri barunya. Merapatkan barisan dengan kader-kader partai mantan oposisi. Tidak bisa tidak, Jokowi pasti kebat-kebit melihat manuver berani SBY dan partainya.
Bicara soal menteri, yang datang dan yang pergi, Anies Baswedan tentu tidak habis dibahas dalam satu artikel, tapi yang luput dari perhatian kita adalah terdepaknya juga Tom and Jerry kabinet kerja Jokowi, dynamic duo Sudirman Said dan Rizal Ramli. Setahun belakangan, kita, rakyat jelata nan sengsara ini, disuguhi perdebatan keduanya di media-media. Whatever Sudirman said, Rizal said the opposite. Dan inilah pelajaran kedua soal jabatan dari Jokowi: tidak ada jabatan yang sebegitu hebatnya sehingga layak dipertahankan mati-matian, atau dengan perdebatan keras di media, karena cinta di atas segala-galanya. You jump, I jump.
Kembalinya Sri Mulyani jadi menteri adalah kehebohan yang lain lagi. Setelah minggat pada tahun 2010, pergi tanpa pamit aku, katanya ke pasar, pamit beli terasi, ternyata magang di Bank Dunia, beliau akhirnya kembali. Tidak mudah, tentu saja, untuk mengajak beliau kembali. Bang Tayyip yang di lagu gak pulang selama tiga kali puasa, tiga kali lebaran, tapi kenyataannya cuma ngilang sehari, tentu bukan tandingan beliau dalam hal minggat.
Tidak kurang Pak Luhut harus membersihkan jalan beliau supaya mau kembali, dengan membuat ical (hilang) Aburizal Bakrie dari kepemimpinan Partai Golkar dan menggantinya dengan Papah Setnov. Inilah pelajaran ketiga soal jabatan dari Jokowi: jabatan itu seperti cinta, tidak bisa diminta, hanya bisa diberi. Lebih baik lagi kalau yang memberi sudah siap jiwa dan raga, lahir dan batin.
Sementara kembalinya Sri Mulyani masih ramai diperdebatkan, diangkatnya Asman Abnur sebagai Menpan cenderung adem–ayem tanpa kontroversi. Inilah menteri baru yang menurut saya paling pas menduduki posnya. Beliau menjabat sebagai Menpan, atau bisa kita sebut menteri dari PAN.
Bagaimana dengan Wiranto yang penunjukkannya juga menuai kehebohan? Selain Mba’ Puan, saya kira Pak Wiranto ini juga abadi. Saya curiga kalau beliau ini sebenarnya cyborg. Saya tidak menemukan pidato sertijabnya ketika menyerahkan jabatan Panglima TNI-nya pada tahun 1999, takutnya beliau cuma berkata pendek saja: “Hasta la vista, Beibeh. I’ll be back.”
Tapi soal posisinya sebagai Menkopolhukam, saya rasa kok agak kurang tepat. Seharusnya beliau diangkat menjadi Kepala BIN, menggantikan Bang Yos yang jas biru meling-nya itu gak banget. Kemampuan Pak Wiranto menyamar sudah terbukti di tivi-tivi milik Hari Tanoe dulu. Nah, dari Hari Tanoe yang masih sibuk keliling Indonesia memperkenalkan mars partainya sementara Pak Wiranto sudah jadi menteri, kita bisa belajar bahwa jabatan tidak bisa diraih dengan bernyanyi setiap ada jeda iklan, tapi dengan kerja, kerja, kerja. Nyamar, nyamar, nyamar….