MOJOK.CO – Saya gay dan saya ingin bilang: menonton film Garin Nugroho “Kucumbu Tubuh Indahku” sepuluh kali pun tidak akan mengubah orientasi seksualmu. Please, deh!
Saya tergerak untuk menulis tulisan ini setelah membaca komentar-komentar yang ditulis di dua petisi sekaligus, yang masing-masing berjudul Tolak penayangan film LGBT dengan judul “Kucumbu Tubuh Indahku” Sutradara Garin Nugroho dan Gawat! Indonesia sudah mulai memproduksi film LGBT dengan judul “Kucumbu Tubuh Indahku”. Kedua petisi ini, pada intinya, berpesan “Tolak LGBT.”
Kemunculan kedua petisi ini didorong dengan adanya film “Kucumbu Tubuh Indahku” yang ditayangkan serentak di beberapa bioskop di Indonesia mulai hari Kamis tanggal 18 April 2019. Saya sudah menonton trailer film ini kira-kira setahun silam dan cukup menantikan filmnya. Sempat ditayangkan di acara tahunan, JAFF (Jogja-NETPAC Netpac Film Festival) tahun 2018, tapi sayang sekali saya melewatkannya. Jadi, saya sangat gembira ketika tahu film itu akan ditayangkan di bioskop lagi.
Saya sudah menontonnya hari Kamis lalu saat tayang perdana dan sangat mengapreasiasi film yang disutradari oleh Garin Nugroho ini.
Tapi, sekarang saya tidak akan membahas banyak tentang film ini atau membuat resensinya. Sebaliknya, saya hanya ingin curhat saja karena merasa gemas membaca komentar-komentar yang ada di kedua petisi tadi. Beberapa komentar yang saya baca kurang lebih mengungkapkan kekhawatiran bahwa film ini akan mempengaruhi anak muda yang sedang mencari jati diri.
Khawatir gimana? Ya khawatir kalau mereka akan ikut-ikutan.
Oh ya, sebelum saya melanjutkan, kalian perlu tahu bahwa saya ini seorang gay. Homo. Penyuka sesama jenis. Dan saya cukup terbuka soal orientasi seksual saya, meski bukan berarti saya bawa papan besar berkalungkan tulisan “Saya homo” ke mana pun saya pergi, ya (toh kalian tidak berkalung identitas “Saya hetero/straight/normal”, kan?).
Jika ada yang bertanya “Kapan kamu berubah jadi gay?” saya nggak tahu harus jawab gimana. Soal perasaan saya yang tertarik dengan laki-laki, saya anggap itu anugerah, pemberian dari Tuhan, dan saya mensyukurinya.
Saya tidak akan cerita panjang lebar tentang kisah hidup saya, tapi singkatnya saya menerima dan mengakui perasaan saya. Soalnya, saya kenal beberapa orang yang mengaku punya perasaan serupa, tapi merasa dalam kondisi yang “tidak memungkinkan” untuk menerima/terbuka dengan perasaannya.
Lagi pula, saya tidak pernah berubah, jika yang kalian maksud berubah adalah menjadi homoseksual dari “kodrat” heteroseksual. Jika boleh meluruskan, saya sudah gay dari dulu. Kalian saja yang nggak tahu.
Memang, perjalanan penerimaan diri itu tidak semudah mengatakannya sekarang. Saya mengalami masa-masa denial dan pertimbangan ini-itu. Namun, bukankah menjadi diri sendiri adalah hak masing-masing orang yang wajib dihormati?
Sebelum kalian beragumen soal ayat ini dan itu, ingatkah kita seringkali menyebut Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa? Jadi, kalau Tuhan menginginkan saya hilang dari muka bumi ini, maka saat ini, detik ini juga, saya akan hilang dari muka bumi ini.
Saya bisa saja berdoa meminta pacar (tentu saja laki-laki) tapi itu jadi urusan Tuhan untuk mengabulkan atau tidak, bukan? Bisa saja Tuhan menakdirkan saya jomblo seumur hidup, ya saya cuma bisa sendika dawuh. Tapi sembari bersikap sendika dawuh, bukankah Tuhan bermurah hati memberi kita kebebasan untuk memilih?
Sadar atau tidak, ada banyak hal sederhana yang sering kali kita lupakan atau kita taking for granted. Misalnya: memilih bangun pagi atau siang, memilih pekerjaan, mau makan apa hari ini, hingga perkara jodoh dan jatuh cinta yang bahkan Tuhan pun memberi kita kebebasan.
Perasaan jatuh cinta yang nano-nano ini memang patut disyukuri. Tuhan menciptakan kita berbeda dan unik, Sayang. Kenapa repot-repot menyamaratakan? Jadi, saya rasa, setiap orang bebas jatuh cinta sebebas-bebasnya dengan siapa saja, sesuai nuraninya. Siapa yang kamu rindukan dan ada di benakmu ketika kamu nglilir jam 3 pagi juga hanya kamu yang tahu, bukan?
Ketahuilah, Sayangku, sedari kecil saya menonton film di televisi dan selalu disuguhi tokoh-tokoh heteroseksual. Bahkan dalam film kartun sekalipun, seperti dalam Doraemon misalnya, tokoh Nobita digambarkan “tergila-gila” kepada Shizuka.
Sampai saya berumur 25 tahun, hampir semua film yang saya tonton memiliki kisah cinta heteroseksual dan sampai hari ini saya masih homoseksual. Kenapa? Ya karena memang saya tidak tertarik dengan perempuan.
Dengan kata lain, menonton film Garin Nugroho “Kucumbu Tubuh Indahku” ini sepuluh kali pun, jika memang kamu (laki-laki) tidak tertarik dengan laki-laki, ya kamu tidak akan tiba-tiba ingin mencium laki-laki lain.
Film ini tidak akan pernah mengubah siapa pun, Sayang.
Bahkan sebenarnya, kalau kalian sempat membaca sinopsis/resensinya, film “Kucumbu Tubuh Indahku” ini berfokus pada kesenian lengger lanang yang alur ceritanya mengacu pada kisah hidup seorang koreografer dan penari, Rianto. Iya, film ini mengangkat salah satu tari tradisional yang ada di Indonesia. Budaya Indonesia.
Dari film ini juga, saya menyadari bahwa bahasa Indonesia terbilang lebih maju daripada bahasa Inggris. Beberapa penutur bahasa asing, seperti Inggris, mencoba memopulerkan kata they sebagai sebutan orang ketiga tunggal yang netral atau tidak bergender. Tapi, kita sudah punya sedari dulu, bukan? Kita bahkan tidak perlu repot-repot memilih he atau she ketika cukup menggunakan kata “dia” atau “ia”. Bukankah leluhur kita sudah futuristik sekali?
Makanya, saya heran: kalian sering kali teriak-teriak menolak budaya Barat dan mengajak untuk mencintai budaya Indonesia, tapi kok malah menolak film ini, sih? Kenapa coba? Kalau kalian sudah menonton dan memperhatikan filmnya baik-baik, ada banyak logat bahasa Jawa yang berbeda yang digunakan di dalamnya. Bahkan, kita diajak melihat kondisi desa dan masyarakatnya di masa lalu.
Kisah romansa Juno, si tokoh utama dalam film itu, hanya sepenggal kecil kisah dari film besar itu. Ketertarikannya pada mas-mas petinju di “Kucumbu Tubuh Indahku” pun hanya kepingan kecil dari hidupnya yang besar sebagai penari, sebagai dirinya sendiri yang utuh.
Lagi pula, toh si mas-mas ini akan menikah dengan gadis yang dicintainya dan Juno tahu dia sedang jatuh cinta dengan people he can’t have. Bukankah itu relatable banget dengan kisah cinta kita yang memilukan?!
Dan ketahuilah, mas-mas itu tidak serta merta berubah menjadi homo hanya karena dia menghabiskan waktu dengan Juno sebelum dia menikah.
Sudahlah, saya tidak akan memberikan spoiler film ini. Silakan kalian tonton sendiri selama film ini masih tayang (semoga tidak tiba-tiba hilang jadwalnya di bioskop) dan jika kalian tertarik.
Toh, kalau memang nggak tertarik, ya tinggal nggak usah nonton, kan? Kalau boleh, saya ingin meminjam kalimat favorit dari Bapak Presiden kita dulu:
…gitu aja kok repot???!!!