MOJOK.CO – Lautan manusia di Bandara Soekarno-Hatta adalah bukti nyata bahwa negara tidak punya pendirian tetap. Tapi tentu saja, kita bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari lautan manusia tersebut.
Lautan manusia yang berjumlah ratusan atau ribuan itu berjajar membentuk antrean. Raut muka mereka tak terlihat karena tertutup masker, dan semua orang begitu. Jika dilihat dari jauh, kita bisa cekikikan membayangkan mereka semua sedang mengenakan topeng Hotaru Haganezuka, pembuat pedang di manga Kimetsu no Yaiba.
Tapi mereka bukanlah Hotaru, dan lautan manusia itu tidak lucu. Tumpukan orang di Bandara Soekarno-Hatta itu seakan menghina usaha jutaan manusia yang terpaksa berdiam di rumah karena pandemi.
Manusia-manusia itu sedang mengantre tiket di bandara untuk pulang ke rumah atau ke mana pun mereka pergi di saat bepergian adalah tindakan yang dilarang.
Sialnya, kita tidak bisa menyalahkan mereka semata karena negara diam saja dengan itu. Negara memang memperbolehkan rakyatnya bepergian dengan aturan-aturan baru. Penumpang diharuskan punya surat bebas COVID-19 dan lolos kesehatan di bandara. Maskapai sendiri hanya melayani maksimal tujuh penerbangan dan pesawat hanya menyediakan separuh kapasitas penumpang.
Padahal bulan lalu, negara dengan tegas melarang rakyatnya untuk mudik. Sanksi-sanksi katanya sudah disiapkan, cuti bersama sudah dipindah, pokoknya negara terlihat begitu tegas dengan aturan ini. Tapi lautan manusia di Bandara Soekarno-Hatta adalah bukti nyata bahwa negara tidak punya pendirian tetap.
Andaikan kalian menanyakan pada salah satu manusia di Bandara Soekarno-Hatta kenapa mereka mudik? Mereka akan jawab karena mereka boleh mudik. Kalau kita bilang ke mereka bukankah negara sudah melarang mereka? Mereka bisa aja menjawab nyatanya ini bisa, salahin aja negara.
Jawaban mereka benar, tapi bukan berarti itu jawaban yang tepat.
Kemampuan manusia paling menakjubkan, setidaknya bagi saya, adalah menentukan pilihan. Kita bisa saja mengambil sepuluh gorengan di burjo dan hanya membayar separuhnya, tapi kita memilih untuk tidak melakukannya.
Sebagian orang bisa saja lulus kuliah cepat dan mendaftar PNS, tapi mereka memilih untuk mengabdikan lebih dari separuh hidupnya mengejar arti kehidupan. Yang mungkin kita belum tahu, kita bisa saja memilih untuk tidak tunduk kepada negara.
Tidak, saya tidak bermaksud untuk mengajak kalian turun ke jalan lalu memaksa presiden turun dari tahta, atau membakar gedung pemerintahan. Kalau mau, lakukan saja, tapi jangan bawa-bawa nama saya. Yang saya maksud adalah, ketika negara bertindak bodoh, kita bisa memilih untuk tidak ikut-ikut dalam kegilaan yang ada.
Kita dibekali pikiran untuk berpikir dan menentukan pilihan. Lumrahnya kita tentu tidak akan ikut kegilaan tersebut. Kita diharuskan diam di rumah, tidak ke mana-mana, menahan hasrat kita, karena pandemi ini nyata.
Virus yang menempel di tubuhmu mungkin tidak berefek kepadamu, tapi bisa membunuh orang-orang di sekitarmu. Pahami ini, jika keluargamu terkena virus, bagimu adalah tragedi, bagi negara adalah statistik.
Negara tidak akan bersedih dan menepuk punggungmu untuk menenangkanmu. Dan di dalam tangis kesedihanmu, kau akan mulai membuat skenario-skenario “andaikan saya memilih untuk…” dan diputar dalam kepala berkali-kali.
Baiklah, lautan manusia di Bandara Soekarno-Hatta tersebut mungkin sekarang sedang menyiapkan hidangan untuk buka puasa nanti. Mungkin mereka sedang melepas rindu dan berterima kasih kepada negara atas kelonggaran sistem yang terjadi karena sikap mencla-mencle para penguasa. Kita berdoa saja, bahwa yang kita takutkan tidak terjadi.
Tapi untuk kita yang sudah dihantam rindu dan mengepak barang-barang sambil mendengarkan “Leaving on a Jet Plane”, lebih baik kalian duduk. Pikirkan orang-orang yang Anda sayangi. Bayangkan kalau kalian membawa virus yang membuat pertemuan yang dipaksakan tersebut justru menjadi pertemuan kalian yang terakhir kali.
Tidak ada salahnya sama sekali menjadi warga negara yang baik dan pintar dari negara yang bodoh.
BACA JUGA One Piece Mungkin Ceritanya Bermasalah, tapi Naruto Jelas-jelas Sampah dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.