MOJOK.CO – Berkaca dari upaya Nelson Mandela, Indonesia bisa belajar untuk membuka masa lalu, termasuk kasus Munir dan Pollycarpus.
Tiga tahun setelah Nelson Mandela dipindahkan ke Penjara Pollsmoor (1985), Presiden Afrika Selatan, P.W. Botha menawarkan pembebasan kepada Mandela dan pemimpin Kongres Nasional Afrika lainnya. Syaratnya: Mandela menyangkal telah melakukan perlawanan kepada pemerintah Afrika Selatan.
Sebuah tawaran yang niscaya ditolak keras oleh Mandela meskipun tekanan lokal dan internasional untuk pembebasan Mandela sudah tak bisa dihentikan. Botha belakangan terserang stroke dan posisinya digantikan Frederik Willem de Klerk. Nama terakhir itulah yang melepaskan Mandela pada 11 Februari 1990.
De Klerk juga membatalkan pemblokiran Kongres Nasional Afrika, menghapus pembatasan kelompok-kelompok politik dan menangguhkan semua eksekusi. Dua orang ini, Mandela dan de Klerk, pada 1993 sama-sama dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian atas upaya mereka membongkar sistem apartheid, rasialisme yang dilegalkan oleh negara. Setahun kemudian, Mandela terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan dan selama memimpin negara itu, dia antara lain membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diketuai Uskup Agung Desmond Tutu.
Lewat komisi itu, Mandela menyadari dan tampaknya berusaha mengelakkan pola balas dendam yang dilihatnya di sekian banyak negara sewaktu ras atau suku korban kekejaman politik yang semula tertindas mengambil alih pemerintahan. Lalu selama dua setengah tahun berikutnya, penduduk Afrika Selatan menyimak berbagai laporan kekejaman melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh komisi itu.
Cara kerja komisi itu sederhana: bila seorang polisi, tentara atau perwira kulit putih secara sukarela menemui pendakwanya, mengakui sepenuhnya kejahatan dan kesalahannya lalu meminta maaf, mereka tidak akan diadili dan dihukum.
Cara kerja itulah yang dikecam para aktivis dan politisi garis keras. Mereka menilai cara kerja yang demikian tidak adil karena melepaskan si penjahat tanpa hukuman setimpal.
Mandela akan tetapi bersikukuh. Dia membela cara kerja komisi karena, menurutnya, negara dan bangsanya jauh lebih memerlukan kesembuhan ketimbang keadilan. Mandela yang pernah sangat dinistakan sebagai manusia, rupanya tahu benar bahwa luka masa lalu tak harus menjadi nanah penuh bau dendam.
Indonesia, kini punya presiden baru. Presiden yang dipilih karena antara lain pernah menjual dan menjanjikan penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Tapi baru sekitar sebulan berkuasa, pemerintahan ini telah membuat beberapa blunder. Antara lain dengan dilepasnya Pollycarpus Budihari Priyanto, orang yang didakwa membunuh pegiat hak asasi manusia, Munir Said Thalib.
Terlepas dari perdebatan apakah pembebasan Pollycarpus disebabkan karena menerima remisi dari pemerintahan sebelumnya, atau justru karena pemerintahan sekarang tidak berdaya; muncul kemudian pernyataan yang mengejutkan dari Menko Politik Hukum dan HAM, Tedjo Edy Purdjianto, yang meminta kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu tak perlu diungkit-ungkit. Kata dia, tak perlu lagi melihat masa lalu karena yang bersalah sudah dihukum. Sudah selesai.
Pertanyaannya: apakah kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu benar-benar telah selesai dan karena itu sudah menyembuhkan luka bangsa ini?
Jawabannya tidak.
Pembantaian manusia 1965, pembantaian di Tanjuk Priok 1984, pembantaian di Talangsari Lampung, penculikan dan penghilangan para aktivis, penembakan mahasiswa, pembunuhan Munir, pembunuhan di Aceh, Papua dan Timor Leste, juga pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai teroris, terus menjadi luka yang sebagian besar sudah bernanah.
Tedjo mungkin benar bahwa masa lalu tak perlu diungkit-ungkit tapi pernyataannya adalah pernyataan yang kesusu. Dia lupa, MPR, di awal reformasi pernah menetapkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Komisi itu bukan ditujukan untuk mencungkil-cungkil masa lalu yang kelam, melainkan untuk menyingkap dan menyelesaikan kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia dengan cara yang terhormat dan bermartabat: mencari kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi itu.
Masalahnya, komisi itu tak pernah dibentuk setelah undang-undangnya dikebiri dan akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konsititusi (2006). Sebagai gantinya, MK memutuskan agar dibentuk undang-undang baru yang sesuai UUD 1945, hukum humaniter dan hukum hak asasi internasional; tapi hal itu pun tak pernah terjadi hingga kini.
Maka, ketimbang hanya menyerukan untuk melupakan masa lalu (yang kelam) seperti yang diserukan oleh Tedjo, pemerintahan Jokowi seharusnya segera mempercepat dibuatnya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan membentuk komisinya. Hadapkan semua yang terbukti terlibat dan bersalah ke pengadilan.
Polanya mungkin bisa meniru seperti yang dilakukan oleh Nelson Mandela: yang bersalah diadili, menyatakan bersalah, dan dimaafkan. Negara pun wajib meminta maaf, dan para korban berikut keluarganya diberikan pemulihan dengan cara-cara bermartabat.
Dengan begitu, sebagian luka bangsa ini bisa mengering, dan barangkali pula luka-luka itu tidak akan kembali dilihat, persis seperti yang diserukan oleh Tedjo. Kejahatan terhadap hak asasi manusia pun tak akan menjadi isu yang dijual ke sana ke mari setiap lima tahun sekali di musim pemilu, seperti kasus Munir dan Pollycarpus.
BACA JUGA Rekor Orang-orang Garuda setelah Pembunuhan Munir: Nyelundupin Moge! Dan tulisan lainnya di rubrik ESAI.