Pollycarpus dan Luka Masa Lalu yang Bernanah - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Pollycarpus dan Luka Masa Lalu yang Bernanah

Rusdi Mathari oleh Rusdi Mathari
9 Desember 2014
0
A A
Pollycarpus dan Luka Masa Lalu yang Bernanah MOJOK.CO

Pollycarpus dan Luka Masa Lalu yang Bernanah MOJOK.CO

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Berkaca dari upaya Nelson Mandela, Indonesia bisa belajar untuk membuka masa lalu, termasuk kasus Munir dan Pollycarpus.

Tiga tahun setelah Nelson Mandela dipindahkan ke Penjara Pollsmoor (1985), Presiden Afrika Selatan, P.W. Botha menawarkan pembebasan kepada Mandela dan pemimpin Kongres Nasional Afrika lainnya. Syaratnya: Mandela menyangkal telah melakukan perlawanan kepada pemerintah Afrika Selatan.

Sebuah tawaran yang niscaya ditolak keras oleh Mandela meskipun tekanan lokal dan internasional untuk pembebasan Mandela sudah tak bisa dihentikan. Botha belakangan terserang stroke dan posisinya digantikan Frederik Willem de Klerk. Nama terakhir itulah yang melepaskan Mandela pada 11 Februari 1990.

De Klerk juga membatalkan pemblokiran Kongres Nasional Afrika, menghapus pembatasan kelompok-kelompok politik dan menangguhkan semua eksekusi. Dua orang ini, Mandela dan de Klerk, pada 1993 sama-sama dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian atas upaya mereka membongkar sistem apartheid, rasialisme yang dilegalkan oleh negara. Setahun kemudian, Mandela terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan dan selama memimpin negara itu, dia antara lain membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diketuai Uskup Agung Desmond Tutu.

Lewat komisi itu, Mandela menyadari dan tampaknya berusaha mengelakkan pola balas dendam yang dilihatnya di sekian banyak negara sewaktu ras atau suku korban kekejaman politik yang semula tertindas mengambil alih pemerintahan. Lalu selama dua setengah tahun berikutnya, penduduk Afrika Selatan menyimak berbagai laporan kekejaman melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh komisi itu.

Baca Juga:

Selain Paspampres, Jokowi Perlu Membawa 4 Benda Ini ke Rusia dan Ukraina

Klaim Abal-abal Program Kartu Prakerja ala Menteri Airlangga

Jokowi: Subsidi Energi Setara dengan Biaya Pembangunan Ibu Kota Baru

Cara kerja komisi itu sederhana: bila seorang polisi, tentara atau perwira kulit putih secara sukarela menemui pendakwanya, mengakui sepenuhnya kejahatan dan kesalahannya lalu meminta maaf, mereka tidak akan diadili dan dihukum.

Cara kerja itulah yang dikecam para aktivis dan politisi garis keras. Mereka menilai cara kerja yang demikian tidak adil karena melepaskan si penjahat tanpa hukuman setimpal.

Mandela akan tetapi bersikukuh. Dia membela cara kerja komisi karena, menurutnya, negara dan bangsanya jauh lebih memerlukan kesembuhan ketimbang keadilan. Mandela yang pernah sangat dinistakan sebagai manusia, rupanya tahu benar bahwa luka masa lalu tak harus menjadi nanah penuh bau dendam.

Indonesia, kini punya presiden baru. Presiden yang dipilih karena antara lain pernah menjual dan menjanjikan penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Tapi baru sekitar sebulan berkuasa, pemerintahan ini telah membuat beberapa blunder. Antara lain dengan dilepasnya Pollycarpus Budihari Priyanto, orang yang didakwa membunuh pegiat hak asasi manusia, Munir Said Thalib.

Terlepas dari perdebatan apakah pembebasan Pollycarpus disebabkan karena menerima remisi dari pemerintahan sebelumnya, atau justru karena pemerintahan sekarang tidak berdaya; muncul kemudian pernyataan yang mengejutkan dari Menko Politik Hukum dan HAM, Tedjo Edy Purdjianto, yang meminta kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu tak perlu diungkit-ungkit. Kata dia, tak perlu lagi melihat masa lalu karena yang bersalah sudah dihukum. Sudah selesai.

Pertanyaannya: apakah kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu benar-benar telah selesai dan karena itu sudah menyembuhkan luka bangsa ini?

Jawabannya tidak.

Pembantaian manusia 1965, pembantaian di Tanjuk Priok 1984, pembantaian di Talangsari Lampung, penculikan dan penghilangan para aktivis, penembakan mahasiswa, pembunuhan Munir, pembunuhan di Aceh, Papua dan Timor Leste, juga pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai teroris, terus menjadi luka yang sebagian besar sudah bernanah.

Tedjo mungkin benar bahwa masa lalu tak perlu diungkit-ungkit tapi pernyataannya adalah pernyataan yang kesusu. Dia lupa, MPR, di awal reformasi pernah menetapkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Komisi itu bukan ditujukan untuk mencungkil-cungkil masa lalu yang kelam, melainkan untuk menyingkap dan menyelesaikan kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia dengan cara yang terhormat dan bermartabat: mencari kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi itu.

Masalahnya,  komisi itu tak pernah dibentuk setelah undang-undangnya dikebiri dan akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konsititusi (2006). Sebagai gantinya, MK memutuskan agar dibentuk undang-undang baru yang sesuai UUD 1945, hukum humaniter dan hukum hak asasi internasional; tapi hal itu pun tak pernah terjadi hingga kini.

Maka, ketimbang hanya menyerukan untuk melupakan masa lalu (yang kelam) seperti yang diserukan oleh Tedjo, pemerintahan Jokowi seharusnya segera mempercepat dibuatnya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan membentuk komisinya. Hadapkan semua yang terbukti terlibat dan bersalah ke pengadilan.

Polanya mungkin bisa meniru seperti yang dilakukan oleh Nelson Mandela: yang bersalah diadili, menyatakan bersalah, dan dimaafkan. Negara pun wajib meminta maaf, dan para korban berikut keluarganya diberikan pemulihan dengan cara-cara bermartabat.

Dengan begitu, sebagian luka bangsa ini bisa mengering, dan barangkali pula luka-luka itu tidak akan kembali dilihat, persis seperti yang diserukan oleh Tedjo. Kejahatan terhadap hak asasi manusia pun tak akan menjadi isu yang dijual ke sana ke mari setiap lima tahun sekali di musim pemilu, seperti kasus Munir dan Pollycarpus.

BACA JUGA Rekor Orang-orang Garuda setelah Pembunuhan Munir: Nyelundupin Moge! Dan tulisan lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 25 Februari 2021 oleh

Tags: jokowiNelson MandelaPollycarpus
Rusdi Mathari

Rusdi Mathari

Artikel Terkait

Selain Paspampres, Jokowi Perlu Membawa 4 Benda Ini ke Rusia dan Ukraina MOJOK.CO

Selain Paspampres, Jokowi Perlu Membawa 4 Benda Ini ke Rusia dan Ukraina

27 Juni 2022
Klaim Abal-abal Program Kartu Prakerja ala Menteri Airlangga MOJOK.CO

Klaim Abal-abal Program Kartu Prakerja ala Menteri Airlangga

23 Juni 2022
subsidi energi mojok.co

Jokowi: Subsidi Energi Setara dengan Biaya Pembangunan Ibu Kota Baru

21 Juni 2022
Politisi diangkat Jokowi jadi menteri

Perbanyak Politisi di Kabinet, Jokowi Dianggap Ingin Lebarkan Pengaruh Politik

17 Juni 2022
Pengamat politik UGM, Mada Sukmajati, Jokowi

Reshuffle Ketujuh Kalinya, Pengamat Politik Sebut Jokowi Amankan IKN

16 Juni 2022
jokowi mojok.co

Jokowi Kesal Banyak Produk Impor dalam Belanja Pemerintah Pusat-Daerah

14 Juni 2022
Pos Selanjutnya
Teruntuk Arman Dhani, From PNS with Love

Teruntuk Arman Dhani, From PNS with Love

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Pollycarpus dan Luka Masa Lalu yang Bernanah MOJOK.CO

Pollycarpus dan Luka Masa Lalu yang Bernanah

9 Desember 2014
Garuda Pancasila, Sudharnoto

9 Fakta Pencipta Lagu Garuda Pancasila yang Tersingkir dari Sejarah

26 Juni 2022
baskara aji mojok.co

Soal Jam Malam, Sultan Minta Menyeluruh di Jogja

24 Juni 2022
kecurangan SBMPTN

Polisi Amankan 15 Pelaku Kecurangan SBMPTN di UPN Veteran Yogyakarta

28 Juni 2022
Kasman Singodimedjo tagih janji ke Sukarno sial Piagam jakarta

Kasman Singodimedjo, Menagih Janji 7 Kata Piagam Jakarta pada Sukarno

26 Juni 2022
Teror Pulung Gantung: Air Mata dan Seutas Tali Pati di Pohon Jati MOJOK.CO

Teror Pulung Gantung: Air Mata dan Seutas Tali Pati di Pohon Jati

23 Juni 2022
Pertamina dan aplikasi MyPertamina yang bikin ribet rakyat kecil! MOJOK.CO

MyPertamina dan Logika Aneh Pertamina: Nggak Peka Kehidupan Rakyat Kecil!

29 Juni 2022

Terbaru

holywings jogja mojok.co

Holywings Jogja Ditutup Satpol PP, Buntut Kasus di Jakarta

29 Juni 2022
Kekerasan seksual

Lakukan Pelecehan Seksual, Pelaku Tak Boleh Naik Kereta Api Seumur Hidup

29 Juni 2022
Boikot Holywings, Polemik ETLE, dan Politik Tukang Bakso

Boikot Holywings, Polemik ETLE, dan Politik Tukang Bakso

29 Juni 2022
pertalite mojok.co

KSP Sebut Peraturan Beli Pertalite dan Solar Demi Ketahanan Nasional

29 Juni 2022
petilasan ratu kalinyamat mojok.co

Menyusuri Jejak Cinta Kalinyamat, Ratu Pemberani dari Jepara

29 Juni 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In