Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Puasa Ramadan di Indonesia dari Pengamatan Kawan Bule Saya

Rani Rahcmani Moediarta oleh Rani Rahcmani Moediarta
23 Mei 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK – Saat puasa Ramadan, pengendalian nafsu paling sulit bukan saat kita berpuasa menahan lapar dan haus, melainkan justru saat kita berbuka.

Satu tahun lalu, seorang kawan dari Eropa tinggal bersama sebuah keluarga yang melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Barangkali karena rasa ingin tahunya yang besar, akhirnya kawan bule saya ini ikut-ikutan puasa, tentu saja tanpa mengikuti ritual ibadah lainnya. Kawan bule ini kemudian memutuskan untuk ikut rutinitas berpuasa. Ikut bangun sahur, ikut menahan lapar dan haus sepanjang hari, lalu dilanjutkan berbuka bersama-sama keluarga induk semangnya.

Setelah ikut berpuasa pada hari ketujuh, kawan bule ini berkomentar. “Aku kira, mereka tidak benar-benar berpuasa dalam pengertian menahan, mengurangi, dan mengendalikan nafsu makan,” katanya bersungguh-sungguh.

“Semula kukira berpuasa akan mengurangi asupan kalori dari makanan dan minuman sehingga mengistirahatkan pencernaan. Tetapi mereka hanya memindahkan waktu makan-makan saja.”

Saya, ketika itu, menahan diri untuk menyela kesimpulan hasil pengamatannya.

“Kalori dan makanan yang mereka konsumsi bisa-bisa lebih banyak daripada hari-hari biasa,” tambahnya lagi.

“Maksudmu gimana? Bisa beri contoh?” saya tak kuat menyela juga akhirnya.

“Aku ikut sahur. Makanan sahur sejak hari pertama berpuasa sudah makan yang lengkap. Aku ikut berbuka. Hari pertama dan ketiga, suguhan pertama adalah minuman manis, Cucumber in Syrup (Es Blewah) dan snacks dari terigu dan sayuran yang digoreng (bakwan goreng). Keduanya sungguh sarat kalori dan mengenyangkan,” kata kawan bule saya.

“Nanti pulang dari masjid (setelah tarawih, maksudnya), barulah mereka makan-makan besar. Lebih lengkap dan lebih istimewa daripada biasanya. Lalu sahur, makan besar lagi. Lengkap dengan dessert manis, sisa berbuka. Hari kedua dan ketiga, dan seterusnya, polanya sama. Makanan pembuka yang bergula dan bersantan, berganti-ganti variasinya. Tapi semuanya jelas tinggi kalori, diikuti dua kali makan-makan besar pada malam hari,” tambahnya lagi.

“Karena tinggal dengan mereka dan ikut mereka makan di situ, aku jadi tahu kebiasannya. Sarapan pagi mereka biasanya tidak sebanyak itu. Dan biasanya mereka menyelipkan buah-buahan segar sehabis makan malam. Pola itu justru jadi berubah selama puasa,” ia tambahkan.

Tak puas soal perubahan pola makan, ia juga menambahkan pengamatannya. “Di siang hari, memang mereka tidak makan dan minum sama sekali. Tetapi, mereka juga tidak banyak membuang kalori. Tidak bergerak atau melakukan pekerjaan seperti yang biasa mereka kerjakan. Mereka tidak seproduktif biasanya.”

“Mungkin karena lemas? Nah, bila mereka setiap hari menyantap yang manis-manis bergula dan makan-makan lengkap yang lebih istimewa daripada biasanya, sedangkan siang hari kurang bergerak pula. Nah, saya kok khawatir bila saya teruskan ikut pola itu, saya akan bertambah gemuk dan punya pola makan tidak sehat sehabis puasa,” begitu ia menambahkan sambil terkekeh.

Baiklah. Apa yang disampaikan kawan bule saya ini sulit saya bantah. Waktu itu, saya berpikir, ketimbang menyanggahnya, saya memilih lebih baik introspeksi saja ke diri sendiri. Dari pengalaman pribadi, semua pengamatannya toh tidak salah-salah amat.

Hanya saja, soal berpuasa Ramadan seperti ini membuat kita kurang produktif di siang hari, barangkali masih bisa dibantah. Kebiasaan yang diamati dan dialami langsung oleh kawan saya itu baru pada hari-hari pertama puasa. Pada awal-awal puasa, tubuh memang masih menyesuaikan diri. Lemas dan kurang produktif pada minggu pertama memang sudah wajar saja kan? Namun, bahwa pola makan kebayakan kita berubah dan bahwa kita mungkin hanya memindahkan waktu makan-makan besar, itu pantas dicermati dan dikoreksi.

Iklan

Saya teringat sebuah slogan yang entahlah saya baca di mana, “Makanlah untuk bertahan hidup, bukan hidup untuk makan.” Intinya, makan adalah suatu cara alamiah kita untuk bertahan hidup (survival). Sayangnya, karena makan juga memberi kita kenikmatan, ia bisa menjebak kita untuk menjadikannya sebagai salah satu sumber kenikmatan yang mudah menjadi kecanduan dan akhirnya membahayakan hidup, bukan lagi sekadar mempertahankan hidup.

Pada puasa Ramadan, ketika seharusnya kita menahan diri di hadapan makanan lezat dan minuman menggiurkan, pikiran kita justru dikepung oleh berbagai hal seputar makan dan makanan. “Apa ya menu buka puasa?” atau “Sahur dengan apa nanti?”

Belum lagi dengan makin maraknya pasar makanan yang hanya khusus buka pada bulan puasa dengan segala tawarannya yang menggiurkan selera makan. Di media sosial kita juga lebih sering menatap gambar minuman-minuman segar manis pemuas dahaga yang begitu menggoda selama bulan puasa.

Semua itu baik-baik saja dan bisa jadi sumber kesenangan bila kita cukup punya kendali soal makan. Namun, bila kita sering kali tak kuasa menahan nafsu menyantap yang lezat dan menggiurkan, inilah saatnya melatih diri, mengoreksi pola-pola dan kebiasaan kita sendiri.

Saya sih sepakat, secara naluri semua orang tentu ingin bisa makan enak dan bergizi. Iya dong, rugi sekali rasanya memasukkan kalori ke dalam tubuh tetapi tidak dapat dinikmati ketika menyantapnya. Akan tetapi, makan enak dan bergizi kan tidak berarti harus dalam jumlah banyak dalam satu waktu sekaligus. Selalu masih ada hari esok lagi untuk menikmatinya. Jadi, mengapa pula harus dihabiskan dalam sekali duduk?

Namun, apa yang terjadi? Diam-diam tanpa kita sadari, selama ini kita justru sering melakukan “aksi balas dendam” ketika berlapar-lapar sepanjang hari dan melampiaskannya dalam satu waktu ketika berbuka. Saya percaya perintah puasa Ramadan merupakan ibadah yang menyehatkan kita secara jiwa raga. Sebab, bukankah ibadah apa pun ujung-ujungnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup kita sebagai manusia? Hal yang mungkin dilihat oleh kawan saya yang bule tadi.

Memang benar puasa adalah soal menahan nafsu, dan salah satunya dipraktikkan dengan menahan nafsu lapar dan haus. Tapi mari akui saja, justru pengendalian nafsu paling sulit itu bukan malah saat kita berpuasa, melainkan saat kita berbuka. Saat kita diperbolehkan menyantap makanan dan minuman apapun yang kita suka.

Jangan-jangan apa yang ditakutkan kawan bule saya ini benar, bahwa kita memang cuma sanggup menahan nafsu saja, tapi sebenarnya belum benar-benar mampu mengendalikannya?

Ya pantas saja setelah puasa Ramadan lewat, kualitas kita masih begitu-begitu saja.

Terakhir diperbarui pada 21 Mei 2018 oleh

Tags: bukaBuleEropanafsupuasa ramadanRamadansahur
Rani Rahcmani Moediarta

Rani Rahcmani Moediarta

Penulis dan Penerjemah Lepas. Tinggal di Bali

Artikel Terkait

Perang sarung dulu buat seru-seruan kini jadi tindakan kriminal MOJOK.CO
Ragam

Perang Sarung Kini Jadi Tindakan Kriminal, Apa Sih yang Sebenarnya Para Remaja Ini Perlukan?

13 Maret 2025
Puasa Ramadan di Amerika Serikat. MOJOK.CO
Ragam

Mahasiswa Asal Papua Cerita Beratnya Jalani Puasa 16 Jam di Amerika Serikat sebagai Minoritas

1 Maret 2025
anak sma dari jogja ngajar ngaji di jepang.MOJOK.CO
Aktual

Anak SMA dari Jogja Dakwah di Jepang Selama Ramadan, Emak-emak Semangat Minta Diajar Ngaji Sampai Tengah Malam

3 April 2024
Minta Tanda Tangan Imam di Ramadan itu Merepotkan MOJOK.CO
Ragam

Minta Tanda Tangan Imam di Bulan Ramadan, Kegiatan yang Pernah Dianggap Imam Masjid Merepotkan dan Membuang Waktu

28 Maret 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.