Gadis ini mengalami lucid dream seumur hidupnya. Kondisi dimana seseorang sadar saat bermimpi. Ia lebih memilih dunia mimpinya daripada menikmati dunia nyata.
****
Saya mengenal Suma*(21) pertama kali tahun 2017. Ia adalah perempuan teramat polos yang sama sekali tidak memahami banyak hal, belum mencoba banyak hal, dan sangat mudah dibuat kagum. Ia adalah definisi sempurna dari istilah ‘katak dalam tempurung’ karena seumur hidupnya, ayahnya menentukan segala hal yang harus ia lakukan.
Ia adalah robot yang dikendalikan kuasa ayahnya, dan ia hanya bisa menurut. “Bahkan mungkin aku harus bernapas berapa kali dalam satu jam, kalau papa bisa menghitung, pasti dia atur harus berapa kali.” Ia pernah mengatakan itu suatu ketika di masa lalu.
“Papa adalah tipe orang yang percaya semua tindakannya adalah benar, karena dulu dia bisa sukses dengan cara seperti itu.”
Merantau ke Jogja adalah hal baru baginya. Cara agar lepas dari bayang-bayang ayahnya, dan di kota baru tempatnya menempuh pendidikan tinggi, ia baru menyadari betapa dunia jauh lebih luas daripada yang ia bayangkan selama ini.
“Bahkan kalau aku kenal dengan orang baru, harus laporan ke papa dulu. Kalau papa bilang boleh berteman dengan dia, maka aku akan berteman.” Ia pernah mengatakan itu suatu ketika pada tahun 2017.
“Kalau sudah di Jogja, maka aku harus menjelaskan bertemu dengan orang seperti apa saja. Papa lalu menentukan aku boleh berteman dengan yang mana saja. Dan sangat sedikit yang boleh diajak berteman.”
Pada awalnya, saya menganggap Suma adalah salah satu dari orang dengan masalah keluarga yang biasa, sampai akhirnya saya mengetahu sesuatu yang mampu ia lakukan. Ia hidup pada dua dunia yang terasa sangat nyata dan tanpa perbedaan sama sekali. Saya ingat, pada suatu malam ketika musim penghujan tengah hebat-hebatnya, ia mengatakan bahwa seumur hidup, ia bisa mengendalikan mimpinya.
“Di mimpiku, aku menciptakan dunia di mana aku bisa bahagia dengan keluargaku. Aku ubah papa menjadi papa yang sangat menyenangkan.”
Mimpi dan dunia nyata yang tak ada beda
Suma mengatakan ia bisa mengendalikan mimpi sejauh ia bisa mengingat, dan tak ada perbedaan sama sekali antara mimpi dan dunia nyata. Satu-satunya pembeda antara mimpi dan kenyataan adalah jika ia bisa mengatur situasi di sekitaranya, maka Suma tahu bahwa ia tengah bermimpi. Pun ada satu pertanda utama jika ia tengah bermimpi, yaitu sebuah adegan yang selalu ia lihat setiap waktu ketika tertidur.
“Aku selalu melihat adegan yang sama sejak dulu. Aku berdiri di geladak kapal kayu yang sangat besar, mengarungi lautan lepas dengan cuaca yang sangat cerah, kemudian ada sebuah pulau kecil dengan pohon kelapa menjulang tinggi di tengahnya. Kapal yang aku naiki menabrak pulau itu, lantas bagian depan kapal meledak berserakan di sekitarku. Setelah kapal hancur, aku hanya melihat warna hitam selama beberapa saat. Setelah itu, aku berada di tempat berbeda. Jika sudah mengalami adegan kapal itu, aku yakin sudah tertidur.”
Adegan kapal itu selalu sama persis dari waktu ke waktu. Tidak ada perubahan cuaca, tidak ada perubahan kapal, pun tidak ada perubahan dari pulau. Selalu sama. Selalu terjadi tabrakan dan ledakan yang dialami Suma. “Kalau sudah sampai di adegan itu, aku langsung berpikir sudah berpindah dunia.”
Suma mengatakan bahwa segalanya tampak sama antara mimpi dan dunia nyata. Ketika ada yang bilang tidak bisa merasa sakit di mimpi, maka Suma sangat bisa merasakan sakit. Pun Suma bisa merasakan kelelahan, berkeringat, senang, sedih, dan segala hal seperti di dunia nyata.
“Aku melakukan hal yang tidak bisa kulakukan di dunia nyata. Aku bisa pergi mendaki gunung dan kelelahan. Aku bisa lari mengelilingi lapangan berkali-kali sampai berkeringat parah. Aku bisa memakan apa saja. Semuanya kulakukan. Dan semua itu tentu tidak bisa kulakukan di dunia nyata karena papa pasti tidak membolehkannya.”
Pada tahun itu, Suma mengatakan bahwa di mimpinya, ia paling sering menyatukan keluarganya yang baru saja berpisah. “Papa dan mama berpisah. Aku tidak merasa sedih sama sekali. Bahkan tidak menangis. Tetapi saat aku sampai ke dunia mimpi, aku menyatukan mereka lagi dan menciptakan keluarga yang bahagia. Dan ya, aku sangat bahagia di dunia mimpi. Bahkan aku lebih suka di dunia mimpi daripada di dunia nyata. Soalnya ya itu tadi, tidak ada perbedaan signifikan secara tempat. Bedanya, aku menjadi ‘Tuhan’ di dunia mimpi.”
Saya ingat pernah bertanya apakah percakapan kami waktu itu mimpi atau bukan, dan selama beberapa saat Suma tampak kebingungan. Ia mencoba melakukan sesuatu untuk mengendalikan keadaan sekitar, tetapi tidak terjadi apa-apa. “Aku tidak bisa mengendalikan sekitar. Dan aku juga tidak mengalami adegan kapal. Jadi, ini pasti kenyataan.”
Penasaran lebih jauh, saya meminta Suma untuk menjelaskan lebih detail tentang seperti apa dunia yang ia ciptakan dalam mimpinya. Saya juga memberitahunya perihal film Inception, dan ia sangat tertarik dengan film tersebut. Saya menunjukannya beberapa adegan, dan dengan antusias ia mengatakan banyak hal yang memang terjadi seperti di film tersebut.
“Tapi, kadang aku menjadi diriku di mimpi. Kadang aku menjadi penonton yang melihat diriku. Dan saat aku menjadi diriku, aku selalu melihat sosok yang tidak bisa aku kontrol. Dan sosok itu sangat mengintimidasi. Melihatnya saja aku merasa sangat takut.”
Suma mengatakan bahwa sosok yang ia maksud berupa bayangan hitam tinggi yang tidak pernah lenyap dari pandangannya. Bayangan tersebut tidak berbentuk manusia, lebih menyerupai celah di antara ruangan dan memendarkan warna hitam.
“Bayangan itu selalu terlihat di mataku. Kalau aku lihat ke depan, maka ia berada di sudut tertentu. Kalau aku menoleh, ia ada di sudut lain yang terlihat mata. Selalu seperti itu. Bahkan ia juga tidak bisa aku kontrol. Malahan ia juga bisa mengontrol dunia itu.”
Pada waktu itu, saya memiliki teori menarik tentang sosok bayangan tersebut. “Bagaimana jika bayangan itu adalah kamu sendiri? Kamu yang melihat dari sudut pandang lain. Bukankah kamu bilang, kadang menjadi dirimu, dan kadang hanya menonton adegan tentang dirimu, kan? Bagaimana jika sosok itu adalah perwujudan dirimu yang sedang menyaksikan dirimu sendiri?”
Berawal dari teori tersebut, saya meminta Suma untuk melakukan sesuatu. Jika ia tidur dan menjadi dirinya sendiri di dunia ciptaannya, saya meminta Suma untuk mendatangi sosok bayangan hitam tersebut dan bertanya, apakah sosok tersebut adalah dirinya.
Beberapa hari semenjak itu, Suma mengatakan bahwa ia mengalami kejadian di luar biasanya saat melakukan apa yang saya minta. “Tidak ada dunia yang tercipta. Setelah adegan kapal meledak, aku seperti berada di lorong yang sangat panjang. Aku melihat ke belakang, dan sosok itu menjulang tinggi di depanku. Diam tidak bergeming. Aku bertanya, ‘Apakah kamu itu aku?’ tetapi tidak ada jawaban. Aku justru menjadi sangat pusing dan mendadak terbangun. Waktu sudah siang ternyata. Untuk pertama kalinya, dunia di mimpi jauh lebih cepat dari dunia nyata. Untuk pertama kalinya juga, tidak ada yang bisa kukendalikan.”
Suma menklaim bahwa waktu di dunia yang ia ciptakan berjalan jauh lebih lama dibandingkan dunia nyata. Dilatasi waktu, barangkali istilah tepatnya adalah begitu. Suma bisa menghabiskan berhari-hari di mimpinya, tetapi ketika ia terbangun, waktu di dunia nyata hanya berlalu beberapa jam saja.
Semenjak percobaan yang berdampak tidak menyenangkan untuk Suma, saya tidak lagi meminta ia untuk melakukan apa-apa lagi. Pun semenjak saat itu, kami menjadi jarang bertemu. Sangat jarang malahan, sampai bertahun-tahun kemudian. Kami baru bertemu lagi pada tahun 2021, ketika suatu malam saya mendadak memikirkan seperti apa kondisi Suma setelah empat tahun tidak bertemu.
Bayangan hitam itu masih ada
Hampir semua orang menggunakan tidur untuk mengistirahatkan fisik dan kesadaran mereka. Tidur yang nyenyak justru adalah kondisi tanpa mimpi. Pun sebagian besar orang jika bermimpi hanya akan tampak seperti gambaran samar yang jauh berbeda dari kenyataan. Sementara Suma, tidak pernah merasakan tidur nyenyak itu seperti apa.
Tidur hanya mengistirahatkan fisiknya, tetapi tidak kesadarannya. Ia hanya berpindah dari satu dunia ke dunia lain. Pun di dunia yang ia datangi setelah tertidur, ia juga melakukan aktivitas, yang Suma klaim bisa berdampak ke dunia nyata saat ia bangun. Jika Suma melakukan lari maraton di mimpinya, ketika ia bangun, rasa lelah yang terasa di mimpi akan sangat terasa di dunia nyata.
Berdasarkan rasa penasaran, saya menghubungi Suma pada 04 Juni 2021 melalui DM Instagram. Setelah obrolan singkat yang canggung, kami memutuskan untuk bertemu pada tanggal itu malam harinya. Saya menjemput Suma di kos tempatnya tinggal sekitar pukul 19.00, lantas kami menuju sebuah kedai kopi langganan saya.
Di kedai kopi yang tak terlalu ramai itu, hal pertama yang saya tanyakan kepadanya adalah apakah ia masih memiliki kemampuan lucid dream atau tidak, dan Suma mengatakan masih memilikinya. Bahkan lebih menjadi-jadi saat ini.
“Dunia yang aku lihat di kenyataan semakin luas. Dengan begitu, dunia di mimpi juga semakin luas. Dan itu semakin mengasyikkan.” Ia baru saja selesai melakukan pertukaran pelajar ke India. Dengan begitu, wawasannya semakin luas, dan semakin luas pula area pada mimpi yang ia ciptakan.
“Aku hanya bisa menciptakan dunia di mimpi yang setidaknya pernah aku lihat di dunia nyata,”
Perempuan yang masa studinya telah selesai dan tinggal menunggu wisuda itu mengatakan, ia sudah tidak terlalu peduli dengan keluarganya. “Dulu aku menggunakan dunia di mimpi untuk menyatukan keluarga. Atau kadang saat muak dengan papa, aku gunakan untuk memaki-maki papa di mimpi. Tetapi sekarang aku sudah tidak peduli dengan mereka. Aku memiliki dunia baru yang lebih luas. Aku bisa melakukan perjalanan lintas negara dengan teman-teman yang aku sayangi selama berhari-hari, melakukan banyak hal, dan benar-benar tidak memikirkan keluarga.”
Seperti dulu, ia selalu antusias ketika membahas segala hal menyenangkan di mimpinya. Ia telah berubah, dari anak kecil yang begitu polos, menjadi perempuan yang lebih dewasa secara fisik maupun pemikiran.
Saya lantas menanyakan perihal bayangan hitam yang dulu selalu mengawasinya, dan ia mengatakan bahwa sosok tersebut masih ada, akan tetapi tidak memiliki kontrol apa pun tentang dunia yang ia ciptakan.
“Dia masih ada. Masih selalu muncul di sudut-sudut area yang aku pandang. Hanya saja aku tidak takut lagi dengannya. Dia hanya menjadi sosok yang selalu ada tetapi tidak memiliki kuasa apa pun. Aku menjadi lebih berkuasa atas dunia yang kuciptakan.”
Empat tahun berlalu ternyata memberi banyak perubahan. Pun saya memiliki penggambaran yang kurang lebih mendekati tentang seperti apa sosok bayangan yang Suma maksud dan selama ini ia bingung mendeskripsikannya. “Seperti obscurial di film Fantastic Beast?” saya lantas menunjukkan adegan di mana obscurial muncul pada film yang saya maksud.
“Iya, seperti itu. Hanya saja lebih menjulang tinggi.”
“Oh, seperti ketika Death Eater muncul dalam bentuk asap?” saya menunjukkan adegan kebangkitan Voldemort pada film Harry Potter and The Goblet of Fire, ketika banyak Death Eater muncul untuk menyambut sang Pangeran Kegelapan itu. Dan seperti dugaan saya, Suma langsung membenarkan bahwa sosok yang ia lihat memang seperti itu.
Lebih memilih dunia mimpi
Suma menjelaskan, ia jauh lebih menikmati dunia mimpinya saat ini. Bahkan dengan jelas ia akan memilih dunia mimpi dibandingkan dengan dunia nyata. “Semua yang aku alami di dunia nyata bisa aku alami di dunia mimpi, tetapi hal itu tidak berlaku sebaliknya.”
Dari penjelasan itu, saya menerka bahwa Suma hanya menggunakan dunia mimpinya untuk mereplika dunia nyata begitu saja, tidak menambahinya sentuhan-sentuhan luar biasa seperti di adegan film atau semacamnya. “Tidak pernah membuat dunia yang sedang kacau, gedung-gedung terbakar, dan ada alien menyerang bumi? Kalau aku punya kemampuan lucid dream, aku pasti mereplika banyak adegan di film action atau semacamnya. Atau malah, aku akan membuat dunia seperti Middle Earth di semesta The Lord of the Rings atau semacamnya”
Ia hanya tertawa mendengar apa yang ingin saya lakukan. “Iya, kalau kamu, pasti akan seperti itu. Tapi sepertinya menarik juga. Ada rekomendasi hal gila apa yang bisa aku coba nanti?”
“Mencari black hole dan iseng terhisap ke dalamnya.” Saya reflek mengucapkan itu sehingga kami berdua tertawa lepas.
“Atau, balapan dengan hujan meteor perseid menggunakan karpet terbang Aladdin.” Ide tersebut saya dapatkan setelah mengingat-ingat novel Gelombang, salah satu dari seri Supernova karya Dewi Lestari tentang seseorang yang bermasalah dengan alam bawah sadarnya.
“Terhadap black hole sepertinya menyebalkan,” ucap Suma di sela-sela tawa. “Aku pilih balapan dengan hujan meteor perseid menggunakan karpet terbang Aladdin saja, ya.”
Kami menghabiskan waktu untuk bercanda selama beberapa saat, membahas dunia gila yang bisa Suma ciptakan nanti di mimpinya. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk membahas hal yang lebih serius.
“Sejauh ini, apa kemampuanmu menimbulkan efek ke fisikmu?” suasana menjadi lebih serius semenjak saya mengucapkan pertanyaan itu.
Suma terdiam beberapa saat, seolah menimbang-nimbang apakah akan mengatakan sesuatu atau menolak memberitahu saya. Sampai akhirnya ia mengatakan hal yang memang ia alami. “Per tiga tahun belakangan ini, aku mulai sering pingsan. Kadang tiba-tiba terserang panick attack. Kalau sudah mulai panik, aku mulai tidak bisa bernapas. Biasanya aku membawa tabung oksigen untuk jaga-jaga, dan aku baru sadar tidak membawanya sekarang.”
Sial. Saya jadi was-was kalau mendadak Suma mengalami panick attack dan kesusahan bernapas. “Itu bisa terjadi tiba-tiba?”
Ia hanya mengangguk. “Makanya aku minta jemput tadi. Aku khawatir tiba-tiba pingsan jika membawa motor sendiri.”
“Jika pingsan, kamu masih bermimpi?”
Ia menggeleng. “Pingsan adalah satu-satunya kondisi aku tidak sadar di dunia nyata maupun di dunia mimpi. Aku benar-benar… apa ya? Mengistirahatkan kesadaranku, barangkali.”
Suma mengklaim bahwa ia benar-benar sering pingsan di segala kondisi. Saat berbelanja, tiba-tiba ia pingsan dan begitu tersadar sudah berada di area satpam dan dikerumuni banyak orang. Atau tiba-tiba sudah berada di UGD. “Makanya, teman-temanku sering mendadak menerima telepon jam dua pagi karena aku masuk UGD.”
Suma menjelaskan, ia pernah memeriksakan kondisinya di rumah sakit, tetapi secara fisik ia tidak mengalami kelainan sama sekali. “Aku sehat secara fisik. Makanya, dokter menyarankan agar aku pergi ke psikiater dan memeriksakan kondisiku, tetapi aku khawatir jika kemampuan lucid dream-ku ternyata yang menyebabkan aku sering pingsan, dan aku harus menghilangkan kemampuan itu.”
Ya. Saya juga sedikit banyak akan menduga bahwa penyebab Suma sering pingsan adalah karena ia tidak pernah beristirahat sama sekali. Setidaknya tidak pernah mengistirahatkan kesadarannya. Pikirannya selalu aktif, dan setelah bertahun-tahun menjalanninya, tubuhnya mulai meminta beristirahat.
“Kamu mengaktifkan kemampuan lucid dream itu sejak kecil, ketika kamu begitu dikekang oleh orang tuamu, kan?”
Ia mengangguk. “Iya. Seperti, sebagai dunia pelarian agar aku tetap bisa merasakan bahagia.”
Oke, berarti kemampuannya bisa saya simpulkan berasal dari trauma akan kekangan orang tua. Sepemahaman saya, trauma masa lalu bisa menyebabkan hal-hal seperti kemampuan lucid dream muncul. Pada kasus lain, trauma masa lalu bisa menyebabkan seseorang memiliki kepribadian ganda.
“Barangkali, ketika kamu tertekan dulu, alam bawah sadarmu menghadirkan dunia di mana kamu bisa berlari. Sebagai gantinya, kamu menjadi tidak bisa beristirahat secara pikiran. Selama bertahun-tahun, kamu harus menjalani dua dunia secara bergantian. Sampai pada akhirnya, mungkin kesadaranmu meminta istirahat. Itulah kenapa kamu menjadi sering pingsan. Barangkali sudah waktunya kamu untuk melepas kemampuan lucid dream karena kamu juga sudah tidak terlalu terkekang oleh orang tuamu?” itu hanya teori liar yang terlintas di pikiran saya, dan teori tersebut harus saya konfirmasi ke psikiater untuk dibuktikan.
“Aku khawatirnya begitu.” Suma menjawab. “Hanya saja, aku masih menikmati dunia di mimpi itu. Malahan, aku semakin menguasainya. Aku tidak mau dunia itu hilang hanya agar aku tidak sering pingsan lagi.”
“Barangkali kamu bisa beristirahat di dunia mimpimu?” sekali lagi saya memiliki teori gila. “Kamu bisa tertidur di mimpimu. Ciptakan kondisi di mana kamu benar-benar tidur tanpa mimpi, dan kamu bisa mengistirahatkan pikiranmu di sana.”
“Kalau ternyata aku justru berimimpi sewaktu tidur di sana, bagaimana?” ia bergegas menjawab.
“Kalau ternyata aku bermimpi sewaktu tidur di mimpi, melihat adegan kapal, lantas bisa mengendalikan mimpi di dalam mimpi, kemudian ketika bangun dari mimpi di dalam mimpi, aku kan tidak tahu apakah aku bangun di dunia nyata atau masih di dunia mimpi. Kalau aku terjebak, bagaimana?”
Oh, benar juga. Tidak ada perbedaan signifikan dari dunia nyata dan dunia mimpi. Kalau ia malah terjebak dan malah koma dalam waktu yang lama, itu akan jauh lebih mengerikan.
“Kamu tidak mau mencoba ke psikiater untuk mencari tahu?” akhirnya itu yang saya ucapkan setelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Suma menggeleng. “Kalau harus menghilangkan kemampuan lucid dream, aku tidak mau.”
“Aku boleh ke psikiater untuk membahas kondisimu? Jadi kamu tidak harus kehilangan kemampuanmu jika itu memang masalahnya.”
Suma mengangguk. Ia mengizinkan saya untuk melakukan konsultasi dengan psikiater dan membahas perihal kondisinya. “Kamu mengetahui semua kondisiku. Jadi sepertinya bisa berkonsultasi dengan baik.”
Kami menghabiskan sisa malam setelahnya. Sebelum saya antar ia pulang, dengan sedikit was-was ia pingsan di perjalanan saya bertanya, “Nanti ngobrol terus selama perjalanan, ya. Aku khawatir kamu tiba-tiba pingsan.”
Ia mengangguk. Oh ya, satu hal lagi yang perlu saya tanyakan kepadanya. “Sampai kapan kamu mau hidup di dua dunia seperti ini?”
“Entahlah. Sementara aku menikmati dunia mimpi. Dan ternyata aku mulai bisa menikmati dunia nyata. Semenjak pergi ke India kemarin, aku menyadari bahwa dunia nyata bisa sangat menyenangkan. Makanya, saat aku di dunia mimpi, aku sering mereplika kesenanganku semasa di India. Juga, keunggulan dunia nyata adalah aku tidak bisa mengontrol segalanya. Dan kadang itu menyenangkan. Menjalani sesuatu yang aku tidak tahu akan seperti apa, memiliki kesenangannya tersendiri. Mungkin suatu saat, jika aku benar-benar bisa menikmati dunia nyata, aku akan berhenti hidup di dua dunia.”
Ya. Saya mengantarnya pulang setelah itu.
Kata psikiater tentang kondisi Suma
Keesokan harinya, saya menghubungi seorang psikiater melalui aplikasi alodokter. Saya berbincang mengenai kondisi Suma dengan dr. Ekanita Meivita Sembiring, SpKJ, dan beliau mengatakan bahwa kondisi Suma yang sering pingsan dan mengalami panick attack tidak berhubungan dengan kemampuan lucid dream yang dimiliki Suma.
“Kondisi yang dialami Suma (sering pingasn dan mengalami panick attack) bukan karena kemampuan lucid dream. Lebih karena reaksi konversi, di mana dia tidak bisa menyatakan emosinya. Kalau dari gejalanya, Suma megalami gangguan cemas dan depresi.”
Saya lantas menyatakan bahwa Suma tidak merasa memiliki gangguan tersebut, dan dr. Ekanita mengatakan bahwa penderita gangguan cemas dan depresi memang bisa saja tidak sadar tengah mengalami hal tersebut.
“Penderita memang bisa saja tidak merasa mengalami hal tersebut. Tetapi dari kasus Suma, bisa saja kemampuan lucid dream-nya, yang sampai tahap tidak bisa membedakan mana kenyataan mana bukan, bisa saja adalah bagian dari gangguan konversi yang ia alami.”
Sementara untuk kasus lucid dream, dr. Ekanita mengatakan bahwa memang berhubungan dengan masa lalu yang dialami Suma. “Adanya lucid dream, saat ini penyebabnya kemungkinan karena ada konflik yang belum diselesaikan. Mungkin ada masalah atau beban yang dirasakan akhir-akhir ini, atau riwayat trauma masa lalu, masa kecil pernah mengalami perundungan, pelecehan, dan lain-lain. Dan kemungkinan, bukan Lucid Dream yang menyebabkan reaksi konversi, tetapi reaksi konversi yang menyebabkan lucid dream. Maksudnya, lucid dream itu juga salah satu gejala dari reaksi konversi tersebut.”
Lebih lanjut, dr. Ekanita mengatakan kondisi sering pingsan yang dialami Suma bisa saja berasal dari kondisi yang sama dengan kenapa Suma memiliki kemampuan lucid dream, atau lebih tepatnya keduanya berkaitan dan bisa saja memang reaksi konversi mengakibatkan kemampuan lucid dream itu muncul. Atau lucid dream adalah bagian dari gejala reaksi konversi tersebut.
Reaksi konversi adalah penyebabnya, dan asal-usul reaksi konversi terjadi memang belum diketahui secara pasti penyebabnya, akan tetapi banyak periset mengatakan bahwa pemicunya adalah trauma mental, fisik, atau psikologis. Kondisi reaksi konversi itu menyebabkan penderita mengalami gejala fisik untuk mengatasi konflik yang dimiliki penderitanya. Dan salah satu gejala paling umum adalah seperti yang Suma alami, yaitu pingsan secara tiba-tiba.
Lantas ketika saya tanya bagaimana cara mengatasi gejala yang dirasakan Suma, dr. Ekanita menyarankan agar Suma melakukan relaksasi dan olahraga secara teratur untuk memperbaiki zat kimia di otak yang menyebabkan depresi, melakukan hobi yang tertunda selama ini, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Selain itu, mengonsumsi obat tertentu untuk memperbaiki emosi dan obat meredakan depresi dan kecemasan juga disarankan.
*Nama narasumber kami samarkan untuk menghargai privasinya
BACA JUGA Perempuan yang Membenci Ciuman dan Tak Menikmati Seks liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.