MOJOK.CO – Kalau perempuan nggak bisa masak lalu diselingkuhi, berarti kalau laki-laki nggak bisa benerin antena TV enaknya diapain?
Saya akan memulai tulisan ini dengan sebait puisi :
“Sayang, istrimu ini nanti tak pandai memasak. Tapi ia bisa membereskan apapun yang berantakan. Jadi jika suatu hari nanti kau mengacaukan rumah tangga kita. Maka aku bersedia membereskannya. Sepenuh hati.”
“Perempuan yang nggak bisa masak itu, bikin pasangannya mudah selingkuh.” Mendengar ibu saya berkata seperti itu, membuat saya hanya tertawa. Aneh. Istri nggak bisa masak, kok suami bakal selingkuh. Nggak ada hablum-nya, Buk.
“Tentu saja ada hubungannya.” Jawab ibu. Katanya, yang namanya lelaki ini, akan sangat senang jika diperhatikan oleh pasangannya. Mulai dari pakaian yang akan dikenakan ke kantor, sampai makanan yang akan ia makan. Sudah menjadi kodratnya perempuan menyiapkan kebutuhannya. Itu yang selalu dibicarakan ibu kepada saya. Setiap hari.
Ibu juga orang yang paling cerewet kalau saya tidak dapat membedakan kencur dan kunyit. Setiap beliau memasak pun, saya yang disuruh menakar-nakar gula dan garam atau membuat bumbu tumisan.
Kadang saya agak protes juga. Saya bilang, kalau jaman sekarang itu sudah serba instan. Sudah banyak dijual bumbu yang sudah jadi dengan takaran yang pas. Jadi, sudah tidak perlu lagi berepot-repot ria membuat bumbu dari berbagai jenis rempah dan mengolahnya sendiri. Tapi ibu tidak bergeming.
Di usia saya yang 23 tahun—yang sudah memasuki quarter life crisis ini—saya hanya stuck bisa masak yang goreng-gorengan. Semacam, ikan goreng, ayam goreng, nasi goreng, mie goreng, dan goreng isu telur dadar. Meski menggoreng terlihat sangat mudah, itu pun terkadang daging dalam ayamnya belum matang.
Tapi, kalau kamu tanya untuk urusan berbersih rumah, tenang, saya jago mengatasinya. Sesuai dengan motto di hidup saya, “Jika kamu cari yang pintar masak, maka saya mundur. Namun, jika kamu cari yang mundur-mundur waktu masak, saya maju.”
Ya, sebab saya takut kalau kena cipratan minyak panas. Hehehe.
Lantas benarkah jika saya tidak juga pintar memasak, maka pasangan saya bakal selingkuh dengan orang yang pintar memasak? Jadi gini, beberapa bulan lalu, saya dekat dengan seorang lelaki yang lumayan tajir. Sebut saja namanya Maman. Dia bekerja sambil kuliah di negeri sakura sana. Suatu ketika, dia bilang kepada saya, “Kalau kamu jadi istriku nanti, kamu harus bisa masak. Kalau nggak, aku mau madu kamu.” Lantas saya tertawa…
…tertawa getir karena menyadari, bahwa niat dia dari awal saya sudah tidak baik—menurut nilai hidup saya. Bisa-bisanya dia sudah berniat mempoligami sedari awal. Meski dalam ajaran Islam poligami tidak diharamkan asal laki-lakinya mampu menafkahi lahir dan batin secara adil, lantas sepercaya diri itukah dia bisa bertindak dengan adil?
Bagi saya, itu hanyalah akal-akalan dia saja yang dibuat-buat supaya bisa selingkuh nantinya. Supaya suatu hari nanti, saya menyesali, mengapa tidak memilih kuliah di jurusan masak saja, dibanding jurusan jurnalis. Jika akhirnya ternyata dimadu.
Hmmm, tidak bisa, Bung. Saya pun memutuskan untuk mundur seribu langkah. Kata-kata yang dia ucapakan itu seperti amukan yang menakutkan bagi saya pribadi. Saya tidak habis pikir, pasalnya masalah perempuan nggak bisa masak, sebetulnya hal yang paling sepele bagi saya.
Begini loh, tidak semua orang itu punya bakat dalam memasak. Toh sekarang yang paling banyak menjadi seorang chef, justru laki-laki.
Lagian, kalau punya pasangan anak konglomerat, tajir, penghasilan banyak, apa salahnya punya asisten rumah tangga untuk memasak setiap hari?
Selain itu, tidak ada hadist dan riwayat yang mewajibkan perempuan harus bisa memasak. Kalimat perempuan wajib bisa memasak, menurut saya hanyalah kata turun-temurun dari nenek moyang yang sekarang dianggap jadi hal yang mutlak. Padahal ya, nggak juga.
Apalagi kalau itu dijadikan alasan untuk memadu, atau terpaksa selingkuh karena keinginan poligami tidak mendapat restu. Bakal aneh kalau ditanya, “Kenapa kamu nikah lagi?” atau “Kenapa kamu selingkuh?” lalu dijawab, “Karena dia kalau masak ayam goreng, dalemnya nggak mateng.” Kan nggak lucu, ya. Yang ada malah kelihatan malu-maluin.
Hingga saat ini, saya masih tidak percaya dengan apa yang ibu saya katakan. Pasalnya, saya sudah terdoktrin dengan lagu anak-anak yang sering saya nyanyikan ketika kecil. Begini liriknya, ““Mama setiap hari memasak tapi masak tak pernah enak. Tul betul! Papaku juga tak pernah marah, mereka sungguh bahagia.”
Jika memang perempuan diwajibkan harus bisa memasak, itu artinya seorang laki-laki juga wajib bisa membenarkan keran air yang rusak, mengganti antena televisi, mengganti jendela yang engselnya rusak, menyedot WC yang tersumbat, menguras sumur yang ada lelenya, dan menyervis AC yang sudah tidak dingin. Jadi, tidak perlu lagi untuk panggil tukang. Bagaimana, adil, bukan?