MOJOK.CO – Selalu ada cerita dari orang-orang yang kerjaannya dekat dengan orang-orang mati. Jaga kamar mayat, penggali kuburan, sampai sopir mobil jenazah misalnya.
Sudah hampir lima tahun Bambang bekerja sebagai sopir mobil jenazah. Dan tak satupun peristiwa seram yang pernah dialami kecuali hari itu. Hari ketika Bambang harus mengantar jenazah seorang pria ke daerah terpencil di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Kebetulan, di dalam mobil jenazah, beberapa keluarga almarhum ikut nebeng. Isak tangis mengiringi perjalanan Bambang menuju rumah duka. Bagi Bambang, yang sudah bertahun-tahun kerja mengantar jenazah, isak tangis ini hal biasa.
Siapapun akan berduka jika keluarga dekatnya harus meninggal dunia. Tangisan macam gitu cuma soal giliran saja. Kebetulan saja hari itu, keluarga ini yang harus mendapat takdir duka tersebut.
Begitu masuk perkampungan rumah duka, Bambang segera memarkir mobil jenazah di depan pintu rumah. Harapannya, agar jenazah bisa dengan mudah diangkut oleh pihak keluarga untuk dibawa ke dalam.
Suasana cukup lengang, meski tenda dan beberapa kursi untuk pelayat keesokan harinya sudah disiapkan tetangga. Keadaan memang sudah cukup larut. Sudah jam 11-an malam. Beberapa tetangga keluarga almarhum sepertinya sudah tidak di lokasi. Hanya sedikit kerabat-kerabat yang masih bertahan “menyambut” kedatangan almarhum.
Masih dengan isak tangis yang tak juga berhenti, anggota keluarga almarhum lalu ikut turun satu demi satu dari mobil lewat pintu samping. Bambang juga ikut turun. Lalu duduk di kursi-kursi yang disiapkan untuk pelayat esok hari di halaman rumah.
Sambil menyulut rokok, Bambang duduk istirahat sejenak melihat suasana rumah duka. Sambil sesekali masih terdengar tangis dari dalam rumah. Tiba-tiba ketika masih asyik menikmati rokok, Bambang didekati oleh seseorang. Mungkin kerabat atau tetangga keluarga almarhum.
“Sudah dapat teh, Mas?” tanya orang itu.
“Oh, belum, Pak,” kata Bambang.
“Tunggu sebentar ya, Pak,” kata orang ini ramah lalu pergi masuk ke dalam rumah.
Sebentar saja orang ini keluar sambil membawa teh—yang sepertinya memang sudah disiapkan dari tadi—ke Bambang.
“Wah, terima kasih, Pak. Jadi repot begini,” kata Bambang. “Maaf ini dengan Pak siapa ya?” tanya Bambang kemudian.
“Jalu, Pak. Saya Ketua RT sini,” kata Pak RT.
“Oalah. Iya, iya. Ini sudah beres, Pak?” kata Bambang.
“Oh, udah, Mas. Udah beres semua ini. Warga juga beberapa udah pada pulang. Udah malam ini, biar besok habis subuh bisa ke sini pagi-pagi,” kata Pak RT.
“Kalau begitu saya pamit ke rumah sakit lagi aja ya, Pak? Maaf, mobil jenazah nggak boleh lama-lama di sini, takut ada yang butuh di rumah sakit untuk keluarga almarhum yang lain,” kata Bambang.
“Oh, iya, Pak. Tapi tehnya dihabiskan dulu dong. Biar seger pulangnya,” kata Pak RT.
Setelah menghabiskan rokok dan teh, Bambang segera pamit ke Pak RT. Sekaligus titip salam untuk keluarga almarhum agar diberi kekuatan dan kesabaran.
“Pamit dulu, ya Pak RT,” kata Bambang masuk ke dalam mobil jenazah.
“Iya, Pak. Hati-hati di jalan,” kata Pak RT.
Mobil jenazah pun berangkat menuju rumah sakit dari rumah duka. Keadaan sudah malam sekali, hampir pukul satu dini hari. Jalur yang dilewati mobil jenazah ini kebetulan yang melewati hutan di perbukitan Pacitan.
Awalnya keadaan masih biasa-biasa saja, tapi lama-lama Bambang merasa aneh. Dalam keadaan sepi dan gelap gulita, Bambang mulai merasa ada yang tak beres.
Apalagi di jok belakang sopir, Bambang merasa mobilnya masih mengangkut muatan. Kecurigaan ini muncul karena saat tanjakan, mobil jenazah yang dia bawa terasa cukup berat. Padahal, normalnya, jika dalam keadaan muatan kosong, mobil harusnya was-wes saja melewati jalur perbukitan di daerah Pacitan.
Sampai kemudian di belakang terdengar suara…
“Gubrak!”
Bambang tidak berani menengok. Hanya melihat dari spion tengah. Tak ada apa-apa.
“Sontoloyo, itu tadi suara apa ya?” kata Bambang dalam hati.
Karena keadaan semakin tidak kondusif, Bambang mempercepat laju mobil jenazahnya. Agar tidak merasa sepi-sepi amat, Bambang bahkan sampai menyalakan sirene dan radio. Biar lebih ramai dikit suasananya.
Mengendarai mobil tipe Colt seperti itu tentu membuat seisi mobil goncang begitu hebat. Berkali-kali beberapa barang di dalam mobil goncang. Termasuk juga “sesuatu” yang diduga Bambang ada di belakang.
“Gubrak, gubrak!”
Suara benda besar yang jatuh semakin terdengar. Bambang tidak berani menengok. Bahkan sekarang—karena saking takutnya—Bambang tak juga berani melihat spion tengah. Dalam pikiran Bambang cuma satu, secepat mungkin menemui pemukiman warga.
Beruntung, tak berapa lama kemudian di depan Bambang terlihat lampu-lampu pemukiman penduduk. Di sana, Bambang rencananya berhenti untuk memperbaiki dan menata kembali barang-barang di dalam mobil jenazah yang sudah acakadul.
Begitu berhenti di depan salah satu rumah penduduk, Bambang lalu menengok ke belakang. Betapa terkejutnya Bambang ketika melihat… sesosok manusia berbaring mengenakan kain putih-putih. Posisinya sudah bukan di atas ranjang di dalam mobil, melainkan sudah jatuh ke lantai mobil.
Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata itu bukan manusia, melainkan jenazah.
Yak benar, itu adalah jenazah yang belum diturunkan oleh kelurganya sendiri di rumah duka tadi. Barangkali karena saking sedih atau capeknya, keluarga almarhum sampai lupa menurunkan jenazah dari mobil.
Melihat itu, Bambang cuma ngeri membayangkan bagaimana keluarga almarhum shock karena jenazahnya malah mau dibawa balik lagi ke rumah sakit. Lebih-lebih, karena saking ugal-ugalannya, jenazah yang tadinya diikat di atas ranjang sampai jatuh ke bawah. Tali ikatannya lepas semua.
“Oalah, sontoloyo. Sedih sih ya sedih, tapi ya mbok almarhum dibawa turun juga dong. Hadeeh. Balik lagi ini saya,” gerutu Bambang sambil menaikkan kembali jenazah yang malang itu ke ranjang. Sendirian lagi.
BACA JUGA Cuma Polisi yang Boleh Ngawal Ambulans, tapi Kita Kok Nggak Pernah Lihat Ya? atau tulisan rubrik MALAM JUMAT lainnya.