Praktik politisasi agama yang selama ini banyak berlangsung di masyarakat semakin hari semakin menyebalkan saja. Banyak perpecahan antar sesama dan lintas umat beragama yang disebabkan oleh isu-isu dan doktrin-doktrin agama dalam kumparan politik praktis. Maklum, agama memang menjadi salah satu medan empuk dalam menarik dukungan masyarakat dalam kontestasi politik.
Instrumen agama disalahgunakan untuk memuji atau menyerang pihak-pihak yang sedang bertarung dalam kontestasi politik. Mulai dengan cara yang lumayan “ngelmu” seperti bermain dalil, sampai cara goblok othak-othak gathuk dengan menghitung nilai huruf nama tokoh dan kemudian mencocokannya dengan nama salah satu surat di Al-Quran (Halo Oom Sugik Nur, sehat?)
Efek politisasi agama ini pun semakin susah untuk dinalar. Lha gimana, gara-gara politik, orang-orang bisa tega tidak menyalati mayat saudara seagama sendiri. Apa nggak bedebah itu namanya?
Hal tersebut mau tidak mau kemudian memaksa para pemangku kebijakan untuk membatasi penggunaan instrumen agama dalam politik praktis. Maklum, jika dibiarkan terus-menerus, konflik horizontal di masyarakat yang sudah terjadi berpotensi akan semakin membesar.
Upaya untuk membatasi penggunaan instrumen agama dalam politik praktis ini sudah dimulai beberapa waktu yang lalu oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Melalui pernyataannya, ia melarang para ulama, kiai, ustaz, dan pemuka agama lainnya untuk tidak berceramah dengan sisipan agenda politik di tempat ibadah.
“Politik substantif seperti tegakkan keadilan dan kejujuran, penuhi hak dasar manusia, cegah kemunkaran, dll adalah ajaran agama yg wajib diperjuangkan dimanapun dan kapanpun. Namun berkampanye untuk pilih paslon ini, partai itu, atau caleg ini-itu di rumah ibadah harus dicegah,” kata Lukman Hakim Saifuddin.
Nah, yang terbaru, muncul larangan untuk menggunakan ayat Al-Quran dan hadis untuk kepentingan politik praktis.
Larangan penggunaan ayat Al-Quran dan hadis untuk kepentingan politik praktis ini dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah.
Larangan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua MUI Jawa Tengah Ahmad Daroji.
“Politisasi agama untuk politik praktis tidak diperkenankan. Tidak dibenarkan menggunakan ayat-ayat atau hadist, perang ayat. Sama-sama Alquran kok diadu,” kata Ahmad Daroji. “Menggunakan ayat atas nama kelompok, tidak dibenarkan untuk alat politik praktis. Ngapain kita bertengkar, mengapa harus mengadu agama. Kita harus menciptakan kondisi yang kondusif dan damai menjelang pilkada dan seterusnya.”
Lantas, apakah larangan dari MUI Jawa Tengah ini akan benar-benar dipatuhi oleh segenap masyarakat Jawa Tengah atau Indonesia yang aktif dalam proses kontestasi politik? Tentu saja belum tentu. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era politik seperti sekarang ini, banyak masyarakat yang menganggap sebelah mata para ulama hanya karena perbedaan pandangan politiknya.
Setinggi apa pun ilmu seorang ulama, semahsyur apa pun namanya, kalau tidak sejalan jalur politiknya, tak perlu diikuti. Sebaliknya, sereceh apa pun ilmu seorang ulama, kalau memang sejalan jalur politiknya, maka ia wajib ditaati omongannya, dimuliakan, dan bahkan kalau perlu, dibela mati-matian.
Bukan begitu, Mas, Mbak? Halah, iyain saja, wong memang begitu kenyataannya.