MOJOK.CO – Debat capres kedua kemarin ternyata menunjukkan betapa nasionalisme Prabowo dan Jokowi, sehingga berhasil membuat seseorang batal golput.
Kemarin saya masih golput. Sekarang tidak lagi. Begini ceritanya.
Sebagai orang apolitis saya tidak terlalu peduli dengan pilpres. Pada pilpres yang lalu saya ketiduran dan sama sekali tidak merasa bersalah. Belakangan ini teman-teman sering mengatai saya sebagai seseorang yang tidak berguna, cuma tahu bersih, tidak nasionalis, dan seterusnya. Walau hanya dalam dua jam saja, saya sudah melupakannya.
Karena iseng, akhirnya saya menonton debat capres tadi malam—berharap mendapatkan hiburan. Semuanya biasa saja, sampai saya menyaksikan Pak Prabowo mengatakan bahwa ia akan mengembalikan 340 ribu hektar lahan yang ia kuasai pada negara kapan pun negara meminta. Lantas dalam satu hentakan pasti ia mengakhiri perkataannya: karena saya nasionalis dan patriotik!
Tiba-tiba ada yang menyelinap ke dalam sanubari saya. Dada saya bergemuruh. Saya merasa darah mengalir cepat sampai ujung jari. Dalam momen tersebut, tiba-tiba saya sadar, bahwa inilah nasionalisme yang sesungguhnya.
Selama ini saya kira nasionalisme itu artinya mencintai tanah air, hidup damai dan berbagi dengan orang-orang, tidak membedakan ras, suku, maupun agama. Ternyata saya salah kaprah. Pikiran saya terlalu dangkal. Nasionalisme menurut Pak Prabowo tadi, artinya tidak sedangkal itu. Menjadi nasionalis artinya juga boleh mengelola sampai 340 ribu hektar lahan.
Dengan semua gejolak tersebut seolah membuat saya sanggup hormat ke merah putih selama 6 jam tanpa henti atau melakukan apa pun demi negara. Membuat saya akhirnya memutuskan untuk nggak golput dan memilih Pak Prabowo.
Tapi entah setan apa yang tiba-tiba hinggap di kepala saya. Ia membisikkan, “Ini pilpres pertamamu, tak usah terburu-buru menentukan pilihan”. Jangan-jangan masih ada yang lebih nasionalis dan patriotik dibanding Pak Prabowo. Kita saja yang terkejut dengan kenyataan betapa nasionalisnya Pak Prabowo. Untuk Anda ketahui, orang nasionalis dan patriot itu tidak riya. Tidak pamer. Kalau semalam Pak Prabowo ketahuan nasionalismenya, itu bukan dia yang pamer. Pak Jokowi aja yang rese.
Tapi, bagaimana kalau Pak Prabowo bukan yang paling nasionalis dan patriotik, tapi saya terlanjur memilih dia. Maka saya pun mencari-cari informasi, siapa lagi kira-kira yang nasionalisme dan patriotismenya melebihi Pak Prabowo?
Ternyata Pak Prabowo bukan apa-apa! Masih banyak yang lebih nasionalis dibanding dia.
Ada yang namanya Pak Martua Sitorus yang nasionalismenya berlipat-lipat dibanding Pak Prabowo. Pada 1991 saja beliau sudah punya 7100 hektar lahan sawit, setelah perusahaannya berduet dengan perusahaan asing, lahannya malah sudah mencapai 169.725 hektar. Bayangkan, seratus enam puluh sembilan ribu tujuh ratus dua puluh lima hektar! Betapa luas dan lapangnya nasionalisme bapak ini. Membacanya saja membuat mata saya berkaca-kaca.
Di luar itu, ada lagi kelompok-kelompok nasionalis yang nasionalismenya juga tak main-main. Di antaranya kelompok Marison Nusantara, yang punya 7000 hektar lahan sawit sebagai bukti nasionalisme kelompoknya. Selain itu, ada pula yang lainnya, meski kadar nasionalismenya nggak tinggi-tinggi amat.
Itu semua informasi dari tahun 2011, sementara informasi terbaru tak bisa saya dapat. Tampaknya Kementerian yang berwenang masih malu-malu untuk mengumumkan siapa sebetulnya yang paling nasionalis di negeri ini. Namun melihat nasionalisme orang Indonesia yang pakai mati, dapat dibayangkan sejak 2011 kadarnya pasti terus bertambah.
Tapi orang-orang dan kelompok-kelompok nasionalis ini tidak mau tampil ke depan. Tidak mau mengayomi rakyat banyak secara langsung. Mereka mungkin lebih nyaman berada di belakang layar. Mengendalikan arah nasionalisme agar tidak tersesat ke jalan yang salah.
Mereka ini tidak ingin disorot tidak seperti Pak Luhut, misalnya. Walau wujud nyata nasionalismenya memang tidak tampak—karena susah mencari datanya—tapi ia justru rela bolak-balik ke luar negeri untuk memperjuangkan sawit Indonesia. Lha terus, apa hubungannya dengan sawit? Oooh, jelas ada hubungannya.
Begini, Saudara-saudara. Telah terang benar bagi saya, nasionalisme itu tak dapat dipisahkan dengan sawit. Seperti jari ibu dan jari telunjuk. Ratusan ribu hektar lahan tadi tidak ada artinya kalau tidak ditanami sawit. Dengan kata lain, jika nasionalisme itu wujudnya dalam lahan-lahan luas, maka sawit adalah buahnya.
Nah, Pak Luhut ini nasionalismenya sungguh luar biasa. Mulai dari sungkem ke Paus di Roma sampai menggertak Perancis pun ia lakoni demi sawit Indonesia, demi buah nasionalisme tadi. Siapa yang bisa menandingi patriotisme Pak Luhut kalau begitu. Pak Prabowo saya perhatikan cuma merawat nasionalisme di lahan-lahan luasnya saja, sementara Pak Luhut berjibaku di tataran global.
Saya jadi ingat, kalau Pak Luhut adalah bawahan Pak Jokowi. Saya juga ingat bagaimana dalam debat tadi malam Pak Jokowi nampak optimis dengan masa depan sawit Indonesia. Saya tiba-tiba tersadar, ke mana saja saya selama ini. Lha wong dalam pemerintahannya, Pak Jokowi telah mendorong tumbuh kembangnya nasionalisme sampai ke rawa-rawa di Papua, sehingga saudara saya di sana dapat menikmati buah nasionalisme tersebut.
Sementara, apa yang sudah dilakukan Pak Prabowo? Di luar 340 hektar nasionalismenya itu, ia hanya beretorika tentang pentingnya sawit. Sementara Pak Jokowi sudah duluan bekerja. Menciptakan ribuan hektar perkebunan plasma untuk rakyat dan telah melibatkan 16 juta petani dalam industri sawit.
Kalau pun ada video-video seperti karya Watchdoc yang menyatakan perkebunan sawit rakyat itu tidak menjamin kehidupan petani lebih baik, atau berbagai laporan tentang konflik lahan, maupun hasil riset tentang betapa berbahaya sawit bagi lingkungan, nasionalisme yang kuat ini telah membendung propaganda tersebut. Masak nasionalisme kok berbahaya?
Saya kini tercerahkan, merasa gagah dan pasti. Nasionalisme Pak Prabowo belum ada apa-apanya. Mulai saat ini, saya teguhkan diri memilih Pak Jokowi.