MOJOK.CO – Beberapa hari kemarin kita sibuk mudik, beberapa jam ke depan kita suntuk dengan arus balik, lalu beberapa yang lain sibuk siapkan memenya.
Sudah pada siap balik ke perantauan lagi, kan? Kesal dengan beberapa teman yang kasak-kusuk soal penampilan istimewa Anda ketika mudik kemarin? Abaikan! Mereka tidak tahu apa-apa tentang keistimewaan mudik dan beratnya ransel kita oleh oleh-oleh dari Ibu.
Begini. Ketika beberapa waktu lalu sebagian besar penduduk negeri ini sibuk menyiapkan diri pulang ke kampung halamannya dan mereka tahu persis itu di halaman berapa, kini beberapa orang harus bersiap untuk arus baliknya, lalu beberapa orang lain sibuk menyiapkan memenya.
Tentu saja mereka adalah makhluk-makhluk istimewa yang berhasil hidup dari laman shitposting, para penangkap terbaik revolusi digital, makhluk (yang mungkin merasa dirinya) paling indah yang besar di zaman revolusi insdustri 4.0.
Meme-meme yang muncul umumnya mengingatkan para pemudik untuk tidak terlampau pasang gaya saat liburan.
“Hidup harian dan kerja kerasmu yang bagai kuda tidaklah seistimewa penampilan mudikmu, apalagi arus balikmu.”
Kira-kira begitu ‘pesan moral’ yang diinginkan oleh meme semacam itu.
Misalnya, mereka memasang dua gambar bersisian. Di gambar pertama seseorang yang sedang bekerja keras sampai wajahnya lecek mati punya, di gambar berikutnya, orang yang sama memakai kaca mata hitam, berpenampilan necis, rapijali-rambut sisir banting-kilap pomade semakin membuat tampan.
Gambar pertama diberi keterangan “saat jadi kuli”, gambar kedua “saat pulang kampung”.
Mungkin tidak persis begitu redaksinya. Tetapi mirip.
Ada meme yang gambar pertamanya adalah J-Lo saat main di Maid in Manhattan—kucel sekali, dan gambar kedua berisi foto J-Lo dalam balutan gaun merah berbelahan dada rendah, memakai kaca mata yang tampak maha—glamour nian.
Keterangannya? Mirip-mirip yang di atas lah. Tapi pakai Bahasa Inggris. Gambar 1: You working abroad. Gambar 2: You coming back to your village for a visit.
Tidak hanya via meme. Saya pikir, nasihat-nasihat serupa sering juga didendangkan. Poinnya, pesan agar tidak terlampau bergaya saat berlibur itu sepintas benar, sepintas lucu, sepintas menyakitkan, sepintas bikin sedih, dan harus diluruskan.
Karena semua serba sepintas, upaya pelurusannya juga akan dibuat selintas saja.
Pertama, jangan merasa bersalah hanya karena kau tampil istimewa saat liburan. Persis itulah yang ingin disebar pada peneror liburan menyenangkan itu.
Ketakutan yang berlebihan dalam menikmati diri. Jelas sekali, bukan? Penampilan saat kerja dan saat liburan harus beda?
Keringat bercucuran yang tumpah saat kau mengangkat bata di lantai delapan sebuah gedung mewah, hasilnya harus kau pakai untuk biaya liburanmu. Jangan pulang pakai baju kotor dan helm kuning lagi ketika pulang kampung.
Pake baju gaga, sepatu juga gaga, arloji gaga, meski pulangnya saat arus balik terpaksa naik bus karena tiket pesawat mahal.
Yang menghina konsep semacam ini tentu saja patut diduga sebagai orang yang: 1) tidak tahu cara menyenangkan diri, 2) tidak bekerja sehingga tidak punya modal sendiri untuk menyenangkan diri, 3) sudah kaya sejak lama sehingga tidak tahu betapa istimewanya kacamata hitam dan arloji gaga, tidak tahu apa-apa soal hidup ini mudik.
Kedua, penampilan visualmu saat pulang kampung adalah penjelasan kepada orang-orang sekampung, dan terutama orang tuamu, bahwa kau baik-baik saja.
Hmm, semoga kemarin kalian tidak merusak suasana mudik hanya karena (gara-gara kemakan meme) penampilanmu tidak berhasil menjelaskan kesuksesan besarmu di tanah rantau!
Bayangkan kalau kemarin kamu mudik dengan penampilan menyedihkan; krah kemejamu menghitam karena daki, dasimu kotor, kaus kakimu bolong bagian tumitnya. Bapak-Ibu pasti sedih.
Kalian tak jadi bersenang-senang karena diisi tangisan tentang betapa sedih hidup di rantau. Aduh. Mudik hanya sekali setahun, diisi dengan kisah sedih di hari minggu hanya karena kau ingin tampil apa adanya?
(Sekali lagi) tidak ada yang salah dengan tampil istimewa saat liburan atau mudik di kampung halaman. Kecuali kalau memang biayanya kau peroleh dari cara-cara tak halal: korupsi, menjadi suami atau istri simpanan, berutang di koperasi harian yang bunganya mencekik leher, atau menjual kontrakanmu.
Yang terakhir semoga tidak kalian lakukan. Karena hanya orang nekat yang menjual rumah kontrakan.
Ketiga, ketika balik, abaikan mereka yang juga sudah siap dengan sindiran (yang mereka pikir) keras (tetapi sesungguhnya lucu).
Akan ada yang bilang, “Cie cieee … kemarin mudik cuma bawa oleh-oleh Sari Roti, balik ke kota malah bawa beras, kopi, teh, gula, pisang, dan lain-lain. Untung banyak ini.”
Abaikan, Kaka-Ade-Sodari-Semua. Mana tahu mereka-mereka itu soal kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa?
Mereka adalah sekumpulan manusia transaksional yang barangkali merasa telah hidup di era transnasional. Bagi mereka, oleh-oleh anak harus sama harganya dengan oleh-oleh Bapak-Ibu.
Akan tetapi, sesekali kau harus bawakan Bapak-Ibu oleh-oleh yang mahal juga. Misalnya menantu dan cucu. Kalau sanggup saja tapi. Kalau tidak, jangan dipaksa. Santai saja.
Lagian oleh-oleh bukan bagian paling penting dari mudik. Mudik itu sendiri sudah penting dalam dirinya sendiri. Tak perlu ditambahi embel macam-macam. Dan oleh-oleh dari orang tua adalah hal yang telah ada sejak dahulu kala. Juga tidak harus mahal-mahal.
Doa dan berkat di sepanjang perjalananmu dalam arena liar bernama “arus balik” ke tempat kerja adalah semahal-mahalnya oleh-oleh yang harus ada di ranselmu.
Nah, sekarang, sambil bersiap-siap menghadapi arus balik yang mengerikan dengan segala kemacetannya, pastikan seluruh bawaanmu sudah ada di tempatnya masing-masing.
Sisakan ruangan di setiap kardus—dan terutama hatimu—untuk menyimpan kenangan tentang betapa baiknya mudik; betapa kau merindukannya dan untuk itulah kau akan bekerja sepenuh hati setahun ke depan agar, jika diberi umur yang panjang, boleh kita menumpang mandi lagi di rumah Bapak-Ibu.