MOJOK.CO – Tim Pemenangan Jokowi menyayangkan berembusnya isu Pemerintah tidak kontra dengan PKI hanya karena tidak menganjurkan nonton film G30S/PKI. Lho kok begitu?
Seperti sudah jadi agenda tahunan sejak reformasi, polemik film Pengkhianatan G30S/PKI selalu ramai dibicarakan ketika memasuki akhir September sampai awal Oktober. Beberapa pihak pun terbagi pro dan kontra, ada yang mendukung pemutaran film karya Arifin C. Noer tersebut meski ada juga yang menolak karena film tersebut dianggap sebagai upaya propaganda Orde Baru pada zamannya.
Tahun ini, isu pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI kembali ramai karena sudah memasuki tahun politik. Beberapa tuduhan tak berdasar menyasar kepada Pemerintah yang tidak menganjurkan—apalagi mewajibkan—untuk menonton film ini. Pemerintahan Jokowi dianggap tidak jelas ingin menghapus PKI dan simpatisannya hanya karena tidak ada anjuran menonton film ini.
Hal inilah yang disayangkan oleh Rizal Calvary, yang merupakan anggota Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf. “Yang berhentikan (film G30S/PKI) kan Yunus Yosfiah pas jadi Menteri Penerangan. Nah, sekarang Yunus jadi tim penasihat Prabowo,” kata Rizal pada acara Indonesia Pagi tvOne.
Hal senada juga disampaikan Aria Bima, Direktur Program TKN Jokowi-Ma’ruf Amin. Menurutnya sudah tidak relevan lagi jika dikatakan Presiden Jokowi adalah pihak yang menghimbau bahwa film ini tidak lagi diputar.
“Penghentian film G30S/PKI dilakukan oleh Menteri Penerangan saat itu, dalam hal ni Yunus Yosfiah, seorang Letjen Purnawirawan, yang sekarang menjadi penasihat Timses Prabowo,” ungkap Aria.
Pada akhirnya kampanye hitam yang menyudutkan Pemerintahan Jokowi dinilai salah sasaran. Apalagi Aria juga menjelaskan bahwa ada banyak faktor film ini dihentikan siarannya. Seperti adanya upaya dari TNI Angkatan Udara yang ingin menghapus stereotip menyeramkan mengenai Kawasan Halim Perdanakusuma yang jadi salah satu latar di fim G30S/PKI.
Selain itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era tersebut, Juwono Sudarsono juga menghentikan siaran film tersebut karena ada upaya peninjauan kembali mengenai fakta-fakta sejarah yang belum menggambarkan keadaan sebenarnya.
“Jadi jangan dianggap penghentian itu seolah-olah oleh Ibu Mega atau Pak Jokowi, Gus Dur, atau Pak SBY. Ini dihentikan oleh Pak Yunus Yosfiah dan Juwono Sudarsono,” katanya lagi.
Aria kemudian memberi contoh seperti penghentian “tontonan wajib” pada masa Orba yang lain yakni Serangan Umum 1 Maret yang menampilkan sisi kepahlawanan seorang Soeharto dalam perang kemerdekaan. Menteri Juwono Sudarsono saat itu kemudian menilai, peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang jauh lebih besar sama sekali tidak tampak dalam film itu. Hal ini diduga karena film ini memang ingin menonjolkan sosok Soeharto yang pada periode film tersebut “diwajibkan ditonton” sedang menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Menurut Aria, ada upaya politis yang ingin menyudutkan Presiden Jokowi bahwa seolah-olah pemerintah pro dengan PKI. “Kapitalisasi seolah-olah Pak Jokowi tidak setuju pemutaran film G30S itu. Ini suatu hal yang dikapitalisasi isu politik dan itu tidak benar,” kata Aria Bima lagi.
Menurutnya film ini boleh saja ditonton atau tidak ditonton. Semua benar-benar diserahkan kepada masyarakat masing-masing. Termasuk juga kalau mau menonton film Serangan Umum 1 Maret. Bagi yang ingin menonton dipersilakan saja.
Ya kan siapa tahu bioskop sedang penuh-penuhnya, terus kebetulan sudah kebelet banget ingin nonton film bernostalgia dengan masa kecil ketika “diwajibkan” nonton dua film tersebut, ya silakan saja. Tidak ada larangan dan tidak ada anjuran. Cuma pesen saja, jangan ketiduran, film G30S/PKI yang edisi lama durasinya setara dengan nonton film The Lord of The Ring edisi uncut. Kalau yang sekarang mah dah dipendekin durasinya jadi setara Sinetron Indosiar. (K/A)