MOJOK.CO – Kesalahan komunikasi dan minat baca (yang mungkin) rendah adalah masalah. Mungkin itu yang bikin PDI-P panas jelang penutupan pendaftaran bacaleg 2019.
Selasa, 17 Juli 2018, adalah batas akhir pendaftaran bagi bakal calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu 2019. Komisioner KPU, Ilham Saputra, menegaskan bahwa tidak akan ada kompensasi waktu pendaftaran. Seperti cara menghindari kemacetan: kalau tidak mau mengantre hari ini, ya berangkat kemarin!
“Tidak ada kompensasi waktu. Sampai sekarang kita sudah menyosialisasikan dan sudah tetapkan dalam peraturan KPU bahwa pendaftaran calon itu 4-17 Juli 2018. Jadi harus semua besok, hari terakhir, tinggal jamnya saja kita tunggu konfirmasi,” kata Ilham Saputra di hari Senin (16/7) seperti diberitakan oleh detik.com.
Nah, di sini masalahnya. Beberapa partai di Indonesia nampaknya mempraktikkan kebiasaan murid sekolah yang malas. Suka mengerjakan tugas di hari terakhir pengumpulan, atau mengerjakan PR di pagi hari sebelum bel sekolah masuk. Terburu-buru, kita-kita ini jadi sulit untuk mengontrol emosi. Pada akhirnya, kericuhan mudah terjadi.
Hari Selasa 17 Juli 2018 yang menjadi tenggat pendaftaran bacaleg 2019 diwarnai dua kericuhan. Hebatnya, dua kericuhan yang terjadi melibatkan salah satu partai lawas di Indonesia, yaitu PDI Perjuangan (PDI-P). Kericuhan terjadi di KPU Jakarta dan di Purworejo.
Kericuhan pertama, yang terjadi di KPU Jakarta, Jl. Imam Bonjol melibatkan PDI-P dan Partai Perindo. Rombongan PDI-P sampai di KPU Jakarta sekitar pukul 13.45. Tidak terlalu lama berselang, rombongan Partai Perindo yang dipimpin langsung oleh Hary Tanoesoedibjo datang. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 14.00.
Tak ayal, kericuhan terjadi ketika rombongan PDI-P merasa KPU tidak adil lantaran rombongan Perindo yang justru dipersilakan masuk dan dilayani. Padahal, PDI-P sudah datang duluan dan merasa mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan dari KPU. Pihak partai berlambang banteng itu merasa KPU tebang pilih, tidak adil.
Padahal, ketika dikonfirmasi, petugas KPU Suyadi menegaskan bahwa Partai Perindo dilayani terlebih dahulu meski datang lebih lambat karena mereka sudah memasukkan berkas lebih dulu ketimbang PDI-P.
“PDI-P sudah datang duluan, Perindo datang dikasih akses duluan, padahal yang sudah registrasi itu Perindo, sedangkan PDI-P belum,” tegas Suyadi. Hemmm…salah komunikasi memang bisa berbahaya.
Kericuhan lain yang melibatkan PDI-P terjadi di Purworejo. Kericuhan melibatkan mereka, dengan mereka sendiri, alis kericuhan internal. Pangkal masalah kericuhan di KPU Purworejo sendiri adalah rebutan nomor urut utama.
Selasa siang, rombongan PDI-P Purworejo datang ke kantor KPU. Kedatangan rombongan terasa begitu meriah dengan iringan musik calung, lengkap dengan tokoh pewayangan punokawan. Sayangnya, keceriaan itu pecah setelah Supangat (45), salah satu bacaleg tidak terima lantaran dirinya hanya mendapatkan nomor urut 4.
Bacaleg yang akan bertarung di dapil 5 Purworejo tersebut merasa dirinya layak mendapatkan nomor urut satu. Supangat, sebagai Ketua PAC dan pernah dua kali menjadi anggota dewan tidak terima lantaran nomor urut utama diberikan kepada adik dari ketua DPC PDI-P Purworejo. Jika tidak mendapatkan nomor urut utama, Supangat mengancam akan mengundurkan diri.
Nah, masalahnya adalah, kisruh internal ini tidak akan berakhir manis untuk Supangat. Pasalnya, Luhur Pambudi, Ketua DPC PDI-P Purworejo, menegaskan bahwa penentuan nomor urut bacaleg adalah keputusan partai dan sudah disetujui Megawati. Bahkan, Luhur sendiri mengungkapkan bahwa Supangat sudah tanda tangan di atas materai.
“Mungkin dia tidak baca dengan cermat hasil keputusan tersebut,” kata Luhur. Nah, mungkin inilah contoh nyata dari pernyataan bahwa minat baca Indonesia masih rendah. (YMS)