MOJOK.CO – Buni Yani jadi timses Prabowo Subianto karena khawatir bakal dipenjara 1,5 tahun soal kasus video Ahok. Apalagi jika Jokowi menang dalam Pilpres 2019 nanti.
Buni Yani seolah sedang mengaplikasikan istilah the enemy’s enemy is my friend, musuhnya musuh adalah teman saya. Hal ini terkait dengan keputusannya bergabung dengan tim sukses Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk berlaga di Pilpres 2019 nanti.
Sebagai orang yang merupakan ahli di bidang komunikasi media, Buni akan berada di garda depan sebagai tim media timses Prabowo-Sandi. “Saya di tim media,” kata Buni.
Ada alasan khusus kenapa istilah the enemy’s enemy is my friend sangat cocok dengan pilihan Buni Yani. Seperti yang sudah diketahui, Buni mulai dikenal masyarakat luas saat dirinya memotong dan mengunggah video pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Dari video pidato yang aslinya berdurasi 1 jam 48 menit 33 detik, Buni memotong video jadi 30 detik untuk mengambil momentum ketika Ahok berbicara:
“Jadi jangan percaya sama orang kan bisa saja dalam hati kecil bapak-ibu nggak bisa pilih saya. Karena dibohongi pakai surat Al-Maidah 51 macam-macam itu lho. Itu hak bapak-ibu yah, jadi kalau bapak ibu merasa nggak bisa milih saya takut masuk neraka dibodohi gitu yah nggak apa-apa karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu.”
Akibat tindakannya, Buni kemudian dipidana 1 tahun 6 bulan, karena oleh hakim dianggap secara sah dan meyakinkan memberi caption yang dianggap memprovokasi masyarakat beragama di Indonesia. Ahok sendiri akhirnya dipidana dua tahun penjara karena kasus penistaan agama akibat pernyataan dari video tersebut.
Meski begitu, Buni Yani pun ternyata ikut terseret kasus ini karena memberi caption, “Penistaan terhadap Agama? Bapak-Ibu [pemilih muslim]… dibohongi surat Al Maidah 51’…[dan] masuk neraka [juga bapak-ibu] dibodohi. Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.”
Meski sudah divonis, saat itu hakim tidak memerintahkan Buni Yani ditahan karena berbagai pertimbangan. Artinya, sekalipun statusnya terpidana Buni Yani tetap bisa melenggang bebas. Berbeda dengan Ahok yang langsung dijebloskan ke penjara ketika vonis hakim sudah final.
Meski masih bisa melenggang bebas, akan tetapi Buni merasa dirinya harus memperjuangkan keadilan yang direnggut dari dirinya. Menurutnya kasus yang menimpanya merupakan tindakan kriminalisasi dari pihak-pihak berwenang.
“Itu salah satu langkah untuk melawan Jokowi, terpaksa saya harus bergabung ke Pak Prabowo, karena saya dikriminalisasi,” kata Buni.
Sampai sekarang status hukum Buni Yani memang belum final, kasusnya masih diproses di Mahkamah Agung. Dalam perspektif Buni, jika Jokowi sampai menang, maka harapannya untuk terbebas dari kasus ini akan sia-sia belaka. Oleh karena itu, Buni mau tidak mau harus mendukung Prabowo agar jadi Presiden.
“Karena saya ini korban kriminalisasi, memperkuat tim Pak Prabowo untuk mengatakan bahwa tim ini adalah tim yang berjuang untuk demokrasi dan keadilan. Pihak sana pasti ngomongnya yang jelek-jelek. Anda kalau dengar cebong sih begitu ngomongnya. Jadi jangan dengar, mereka buzzer gitu lho,” kata Buni.
Sampai sekarang, Buni merasa dirinya tidak bersalah dan selama ini cuma dicari-cari kesalahannya saja. Untuk itulah, pertaruhan soal kemenangan Prabowo juga merupakan pertaruhan soal kebebasannya.
“Pak Prabowo harus menang, kalau nggak nanti saya masuk penjara 1,5 tahun. Justru itu yang saya lawan. Jadi ini harus dilawan ini rezim kalau dia zalim kepada masyarakat sendiri. Begitu,” ujar Buni Yani.
Pernyataan ini tentu sedikit membingungkan bagi masyarakat Indonesia. Sebab, pilihan dan cara berpikir Buni Yani ini menunjukkan bahwa kasus hukum bisa diintervensi melalui jalur politik.
Wah, terima kasih Buni Yani, sudah mengajari masyarakat Indonesia kalau terkena kasus hukum—bahkan—sampai tingkat Mahkamah Agung semua bisa beres kalau kita jadi tokoh politik nasional. Apalagi jika negara nanti dipimpin oleh “teman” sendiri.
Entah kalau di dunia politik disebut apa, tapi kalau di kampung ini namanya “bekingan”. (K/A)