Bagaimana rasanya beternak burung dan ayam mahal? Tanyakan itu ke Anggit, peternak muda dari Tempel Sleman yang harga hewan ternaknya, dihargai belasan hingga puluhan juta rupiah.
**
Dahulu kala, saya sempat galau dan mengalami kebimbangan bertahun-tahun karena merasa salah jurusan kuliah. Jurusan yang tak sesuai dengan passion ataupun hobi, bahkan dulu saya tidak tau apa yang akan saya lakukan di jurusan yang ternyata membuat betah selama empat tahun ini, alias kok gak lulus-lulus. Tetapi, pandangan saya tentang kegalauan salah jurusan perkara tidak cocok dengan passion perlahan berubah ketika bertemu dengan Anggit Mas Arifudin (27) atau yang akrab dipanggil Anggit.
Anggit adalah seorang pemilik dari penangkaran sekaligus peternakan burung dan ayam hias eksotis di Tempel, Kabupaten Sleman. Dirinya sama sekali tak memiliki latar belakang pendidikan di bidang peternakan, ataupun kedokteran hewan. Tapi, jika mengobrol dengan Mas Anggit tentang peternakan ataupun kesehatan hewan ternak, behhh cas cis cus ngalor ngidul saking tahu banyak hal dalam dunia perburungan.
Teknik sipil jalanku, ternak burung dan ayam jalan ninjaku
Saya memiliki janji untuk menemui Anggit di kediamannya pada Minggu siang (6/6/2021). Kebetulan saat itu saya membawa seorang teman yang merupakan warga lokal alias warlok Sleman. Jalanan belok-belok dan berliku kami lalui bersama motor Mio kesayangan untuk menuju rumah yang sudah berubah menjadi JSP Farm Jogja.
Perjalanan yang kami lakukan tak memakai Google Maps, karena telah pasrah dan percaya dengan kelebihan warlok Sleman yang hafal jalan mblusukan. Saat itu saya dari arah Jl. Kabupaten, setelah melewati sawah dan kebun-kebun salak, akhirnya sampai juga di rumah bercat putih dengan halaman sangat luas. Ada gerbang besi terukir nama JSP Farm dengan ucapan selamat datang terpasang di sana.
Tampak luar, rumah itu memang tak tampak seperti peternakan apalagi penangkaran. Ternyata halaman belakanglah yang disulap oleh Anggit menjadi belasan kandang dagangan ekostisnya. Bahkan saat saya berkunjung, dirinya sedang membangun kandang baru yang luasnya mencapai empat kali lipat dari tempat kandang lama.
Ketika masuk gerbang bertulis JSP Farm, kicauan burung-burung di dalam kandang seakan menjadi ucapan selamat datang bagi saya yang baru pertama kali ke sana. Anggit menyambut kedatangan saya dengan tampilan sederhananya sebagai peternak burun dan ayam mahal, kaos merah dengan sarung cokelat sebagai pelengkap. “Saya tadi habis nukang di kandang belakang,” ucapnya sambil mempersilahkan saya untuk duduk di joglo yang berada di tengah-tengah belasan kandang miliknya.
Walau memiliki hobi dan kecintaan terhadap burung sejak kecil, memilih jalan sebagai mahasiswa teknik sipil tak pernah menjadi penyesalan. Malahan dirinya banyak diuntungkan dan bisa nyambi tuk menghasilkan uang tambahan.
“Semua ini saya belajar otodidak dari nol, orang saya kuliah di Teknik Sipil,” ujar Anggit sambil nyengir. Bukan karena terlambat mengenal passion atau hobi di dalam diri Anggit, bagi Anggit hobi yang dimiliki adalah hobi yang bisa dipelajari tanpa harus berkuliah. Meski sempat bimbang untuk berkuliah di Jurusan Peternakan, tapi akhirnya ia lebih memilih Teknik Sipil.
Alasannya sederhana, supaya dapat dua sekaligus. Mendapat ilmu sipil dari kuliah dan berlatih sendiri tentang hobinya di dunia ternak. Toh, sejak masih menjadi siswa SMA dirinya sudah belajar sendiri mengenai ternak burung lewat internet.
Pilihan untuk mengambil Jurusan Teknik Sipil tak pernah menjadi penyesalan. Nyatanya, sekarang dia berhasil mendapatkan dua keinginan sekaligus. Membangun peternakan yang berisi puluhan satwa eksotis sekaligus menjadi dosen teknik sipil di Universitas Islam Indonesia. Bahkan, dengan pilihannya jurusan kuliahnya, Anggit dapat membangun penangkaran miliknya dengan desain sendiri. “Saya juga sering diminta untuk membuat desain kandang oleh teman, jadi ada tambahan,” tambahnya.
Bagi Anggit, tak ada ilmu yang sia-sia dan pepatah sambil menyelam minum air ini memang benar adanya. Sebagai seorang yang berprofesi utama sebagai dosen, ia menyayangkan sikap mahasiswa yang terkadang merasa salah jurusan dengan alasan passion. Padahal, jurusan itu sudah menjadi pilihannya sedari awal. Saya jadi nyegir, merasa tersindir.
“Sayang banget sih, karena bagi saya itu sebagai bentuk atas tanggung jawab kita terhadap pilihan kita sendiri, bukan malah menyesal di tengah jalan dan malah aras- arasen,” ucap Anggit.
“Anggap aja emang jalannya ya, mas?”
“Ya! Kalo saya sih gitu, diniati saja itu memang jalan yang harus dilewati, rejeki mah nanti. Soal hobi masih bisa dilakuin di luar kok. Malah jadi multitalent kan dapet dua- duanya?”
Banyak orang mengatakan, jurusan kuliah yang diambil Anggit memiliki tugas yang tak ada habisnya. Pokoknya super duper sibuk untuk bergerak saja susah, setiap hari hanya memakan tumpukan kertas-kertas tugas dari dosen. Tetapi nyatanya, saat masih belajar di bangku kuliah, Anggit tetap bisa nyolong waktu untuk tetap melakoni hobinya. “Namanya hobi atau passion, sesibuk apapun kita pasti bakal cari-cari kesempatan, beda kalau hobi cuma karena ikut-ikutan tren,” ujar Anggit.
Berawal dari sepasang burung kacer dan nama bapak
Anggit mengawali usahanya sejak masih duduk di bangku SMA dengan modal sepasang burung Kacer Jawa. Membangun bisnis burung, tak semerta-merta langsung jualan, jualan, dan jualan. Dengan dua kacer yang dimiliki, Anggit pelan-pelan memahami tentang perawatan burung, mulai dari telaten memberi makan setiap pulang sekolah, hingga penyakitnya maupun cara mengawinkan burung.
Sepulang sekolah, terkadang dirinya dolan ke pasar burung untuk memahami kondisi di lapangan. Belajar dari internet melalui artikel ataupun youtube pun juga telah dilakoni Anggit untuk memperkaya modal pengetahuannya.
“Dulu saya cuma jual beli burung kecil-kecilan, modal kurungan yang aku pasang di teras rumah. Yah, ternak satu pasang, dua pasang, hingga enam pasang,” ucapnya. Anggit menceritakan, usahanya memang ia bangun dari nol dan sedikit demi sedikit. Setiap hasil dari penjualan kacer, ia gunakan untuk membangun kandang di halaman belakang.
Setelah sukses dengan burung kicau, Anggit mulai masuk ke bisnis burung-burung eksotis seperti Jalak Bali, Murai Batu, dan Cucak Ijo sekitar tahun 2010. Lima tahun berikutnya, dirinya mulai mengembangkan ayam pheasant. “Waktu ternak ayam pheasant ya coba- coba karena dulu belum booming. Ehh, begitu dua tahun setelahnya ternyata populer, ya namanya bejo ternyata prediksi saya bener,” ucap Anggit di sela- sela ceritanya.
Ayam pheasant menjadi jenis ayam asal Tiongkok dengan warna-warni bulu yang unik, beberapa tahun terakhir ayam ini menjadi jenis yang digemari oleh pecinta hewan peliharaan di Indonesia. Tidak seperti jenis ayam lainnya, ayam pheasant bukan merupakan ayam yang berisik alias berkokok sepanjang waktu. Konon, beberapa jenis ayam ini dapat menjadi pendeteksi gempa bumi dengan perilaku khususnya.
Anggit menjual ayam pheasant dengan berbagai harga sesuai dengan jenisnya, dari jutaan hingga belasan juta rupiah. Jika dihitung sudah belasan jenis ayam pheasant yang menjadi dagangan Anggit dan puluhan hingga ratusan orang yang telah menjadi pelanggannya.
Keuntungan penjualan ayam inilah menjadi salah satu sumber penghasilan untuk membangun lokasi penangkaran yang ia beri nama JSP Farm. Berawal dari dua kurungan, sekarang ada puluhan kandang dengan berbagai jenis burung dan ayam di dalamnya. Dia bukan hanya peternak, tapi juga pebisnis burung dan ayam mahal.
Ngomong- ngomong, ada satu hal yang menjadi ketertarikan saya dengan perjalanan Anggit membangun JSP Farm, yaitu cara bagaimana ia memilih nama. Anggit menceritakan kebingungan yang pernah dialami ketika menentukan nama usahanya supaya mudah diingat orang. Setelah menimbang beberapa nama, akhirnya ia memilih nama bapaknya untuk diabadikan. “Mau pake nama saya jelek, terus saya pake singkatan nama bapak saya, JPF. Biar berkah,” ujarnya.
Ruben, merak kesayangan yang dinantikan selama 6 tahun
Ketika kami mengobrol, berkali-kali Anggit menyebut nama Ruben, tapi saya nggak ngeh siapa itu Ruben. Entah saudaranya, temannya, atau tetangganya, yang pasti dia adalah partner kesayangan Anggit saat membangun usahanya.
“Pertama kali nyoba buat beli Ruben sewaktu SMA,” Anggit terkekeh, “secara ilegal, mbak” lanjutnya.
Saya pura- pura ikut terkekeh meski terasa sumbang. “Kok ilegal, belum punya KTP ya, dulu?”
Mendengar perkataan bodoh yang keluar dari mulut saya, Anggit malah tambah nyengir. Seakan pamer dengan gigi putih nya itu. “Lah, kan Ruben ini hewan dilindungi mbak, kebanyakan gak boleh dijual,”
OHHHHHHHHH. Saya langsung melongo dan mengangguk-ngangguk, rupanya Ruben adalah nama Merak Hijau yang berada kurang dari satu meter di joglo tempat kami mengobrol. Dari awalnya iseng, sekarang menjadi hewan kesayangan pria berjenggot itu selama kurang lebih enam tahun.
Anggit membeli Ruben sejak ia masih kecil, belum tumbuh bulu- bulu hijau yang menjadi ciri khas merak hijau. Ekor yang dimilikinya pun belum sepanjang sekarang. Ruben menjadi merak pertama yang ia miliki. Selama kurang lebih 11 bulan Anggit mengurus perizinan kepemilikan Ruben. Walau tidak rumit, tapi cukup menguras tenaga untuk bolak- balik mengurus administrasi. Tak apa, semua dilakukannya demi Ruben. Agar dirinya tidak selalu was-was jika ada orang datang untuk mengambil Ruben.
“Karena nggak resmi, saya dulu sering didatengin orang ataupun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jogja, lama-Lama risih juga. Yasudah, saya urus izin penangkaran aja sekalian.”
Sambil terus mendengarkan Anggit, mata saya tak bisa lepas dari tingkah laku Ruben di dalam kandang yang berukuran seperti kamar kos teman yang sering saya tumpangi, mungkin sekitar 4 x 5 m. Ia melompat kesana- kemari saking leluasanya. “Ruben.. Ruben..” panggil Anggit lagi sambil menjentikan jarinya ke arah kandang. Kaki Ruben langsung melangkah ke arah depan kandang, menuju kami. Sama seperti hewan peliharaan lainnya, merak hijau berkelamin jantan ini sangat penurut dan tak malu- malu.
Saya mendekati Ruben tuk melihatnya lebih dekat. Ruben melompat keatas batang kayu yang ada di dalam kandang, sedetik kemudian dirinya melompat kebawah kembali lalu membuka ekor indahnya. Takjub, jika biasanya saya hanya melihat ekor megah merak hijau melalui video youtube saja, sekarang karena Ruben saya bisa melihatnya langsung, bulu- bulu indah nan halus tampak jelas dipamerkan oleh Ruben.
Merak berumur enam tahun ini sepertinya terbiasa menjadi primadona, ia melenggak lenggokan badannya kesana- kemari sambil mengikuti arah kamera saya. Baru kali ini saya melihat merak yang memekarkan ekornya sedekat ini, walau terhalang oleh kandang.
“Sudah menghasilkan berapa ratus juta nih mas?” Ucapan saya membuat Anggit tertawa
“Dia udah punya 20 puluh keturunan, tapi hasilnya nol rupiah karena masih keturunan pertama,”
Oh iya! Saya jadi ingat materi kuliah saya tentang aturan penangkaran hewan dilindungi. Walau sudah memiliki izin, namun pemilik tak bisa seenaknya langsung menjual hewan- hewan yang dimiliki. Seperti yang dirasakan Anggit, dirinya harus menunggu keturunan kedua dari Ruben alias cucu Ruben. “Tapi, insyaallah tahun 2022 nanti sudah ada yang bisa dijual,”
Pokoknya, malu bertanya sesat di jalan!
“Dulu dia pernah sakit parah. haduh deg- degan saya. Untung sembuh,” ujar Anggit sambil memandangi Ruben yang masih unjuk gigi dengan keindahan ekornya. Ya. Membangun bisnis di bidang hewan peliharaan memang memiliki tantangan dan konsekuensi cukup besar, apalagi terkait dengan kesehatan hewan.
Sama seperti merawat tanaman, hewan yang dimiliki bisa saja tiba-tiba mati karena penyakit ataupun stres. Anggit sudah merasakan kerugian yang cukup besar selama menjalani usahanya ini. Puncaknya ketika erupsi Merapi sekitar tahun 2010, puluhan burung yang dimilikinya mati saat ditinggal mengungsi.
“Waktu itu mental saya langsung down karena masih labil juga,”
Anggit menceritakan bahwa dirinya sempat berpikir untuk berhenti, namun batal. Kecintaannya terhadap bisnis ini membuatnya untuk kembali bangkit dan membangun kembali usahanya. Satu pelajaran yang dipetik Anggit dari peristiwa tersebut, jatuh itu biasa. Semenjak kejadian erupsi merapi, dirinya tak lagi ambil pusing jika ternakannya tiba- tiba mati.
Pernah, belasan burung dan ayam yang dimilikinya mati karena suatu penyakit. Beruntungnya, dirinya langsung sigap untuk membuatkan kandang karantina supaya tak lagi menyebar ke hewan lainnya. “Usaha ternak itu sulit, karena berurusan sama barang yang bernyawa,” ucapnya.
Pengalaman demi pengalaman yang dimiliki membuat Anggit memutar otak untuk mempertahankan bisnisnya dari segala masalah yang menghampiri. Hingga pada akhirnya, dirinya mulai mempelajari terkait dengan penanganan penyakit hewan pada dokter- dokter hewan kenalannya.
Banyaknya hewan yang sakit ternyata memiliki dampak positif bagi Anggit, semakin sering hewan sakit semakin sering pula ia belajar untuk merawat dan mengobatinya. Berbagai jenis penyakit pun telah dilaluinya. Saat ini, jika ada ternaknya yang sakit dirinya bisa menanganinya sendiri, mulai dari suntikan ataupun vaksin ternak. Lumayan irit, katanya.
“Ya, pokoknya jangan malu buat tanya-tanya ke ahlinya. Dikira bodoh, ya gak papa,” Anggit terkekeh lagi.
Sekitar satu jam lebih lamanya kami mengobrol. Dari yang saya rasakan, Anggit memiliki pribadi yang ramah dan terbuka bagi siapa saja. Anggit mengatakan, bisnis ini juga dilakoninya sebagai ajang silahturahmi bagi pecinta burung, pelanggan, ataupun penangkar lainnya.
Bahkan dirinya mau membimbing para pelanggannya yang memiliki hobi sama ataupun ingin memulai berbisnis. Setiap pelanggannya akan dimasukan ke dalam sebuah grup di facebook sebagai wadah sharing dan konsultasi. “Pokoknya kalau ada masalah apa sama hewan yang saya jual, saya gak asal lepas tangan,” ucapnya mengakhiri obrolan kami.
BACA JUGA Burung Hantu dan Perang Antargeng di Cancangan dan liputan menarik lainnya di Mojok.