Pagi ini, saya terganggu dengan sebuah pertanyaan simpel, mau dibawa ke mana sistem hukum Indonesia? Ah, tetapi tampaknya terlalu pagi untuk membahas hal yang cukup berat dan butuh penelitian langsung ke praktek-praktek pengadilan, ke sidang MA, mengulak-ulik data-data di MK. Dan saya tidak bakalan punya akses ke sana, ke sumber-sumber penting itu.
Tiba-tiba hal ringan yang “nylekethe” melintas di kepala saya. Tentang kondisi sosial hari-hari ini saja. Lha piye, durung sarapan, belum ngopi, mana bisa otak diajak mikir yang berat-berat. Yo, ra?
Saya teringat jargon sarkastik yang beberapa lalu sempat sangat populer , bahkan dibikinkan stiker dan lukisan-lukisan di bak truk: “Piye kabare, Le? Penak zamanku, to? Opo-opo murah.. ” dengan foto Alm. Soeharto yang tentu saja, sambil mrenges. (Ya iyalah, The Smilling General mosok cemberut?)
Atas jargon tersebut, reaksi beragam berdatangan dari banyak orang, Namun yang paling terkenal adalah tanggapan dari kelompok pro-demokrasi (katanya), dengan nyinyirnya bilang: Iya, apa-apa murah. Termasuk Nyawamu.
Jadi begini, Saudara jemaat Mojok yang dirahmati Allah….
Manusia-manusa berisik itu mau bilang; waktu Soeharto berkuasa, nyawa terasa murah di tangan rezim. Namun, siapa pula yang berani bilang bahwa saat ini nyawa menjadi mahal—tidak murah lagi?
Tentunya, saudara sekalian masih ingat beberapa kasus kekerasan yang berdampak melayangnya nyawa seseorang—yang konon sekarang sudah mahal, nggak murah lagi.
Tengok saja kasus Jopi Teguh Lesmana Perangin-angin yang tewas di ujung pisau oknum TNI AL, yang kasusnya seperti dipetieskan, terkatung-katung. Bahkan banyak spekulasi yang mengatakan, kematian Jopi berkaitan dengan aktivitasnya sebagai aktivis pejuang lingkungan hidup.
Lalu kasus yang menyebabkan tewasnya Angeline, anak usia 8 tahun yang lagi lucu-lucunya, di tangan orangtua psikopat. Kasus orangtua menelantarkan lima anaknya, dan beberapa kasus KDRT yang lain yang berujung hilangnya nyawa anak-istri. Belum lagi kasus kekerasan massa yang bermotif ekonomi atau beraroma premanisme—dengan berbagai motif dan modus operandi.. Anda ingat kasus Raden Kian Santang yang menghebohkan Yogya Utara beberapa waktu lalu, kan?
Sama saja ternyata. Zaman dulu dan sekarang, nyawa mudah sekali melayang. Orde baru atau orde reformasi atau orde Jokowi, toh nyawa sama murahnya. Bahkan banyak yang menyediakan diskon, entah di awal tahun atau menjelang lebaran. Lalu apa bedanya dengan zaman Orba dengan jargon “Piye kabare, le” tadi?
Bedanya, penghilangan nyawa sekarang berada pada ranah privat, terjadi secara horizontal, antar individu. Tidak lagi banyak dilakukan oleh arogansi kekuasaan atau rezim. Penghilangan nyawa pun semakin acak, bahkan bisa terjadi tanpa motif apapun. Malah jauh lebih menyeramkan. Jika di zaman Simbah Soeharto negara menjadi aktor tunggal dan dominan dalam hal menghilangkan nyawa, maka saat ini aktornya begitu beragam dan semakin sulit kita identifikasi. Akhirnya kita pun bertanya, penake zaman saiki nggon endi?
Apa enaknya zaman sekarang? Dimana letak enaknya era ini?
Alih-alih menjadi panglima pembela keadilan, hukum semakin tidak mampu melindungi kenyamanan dan keamanan rakyat. Hukum seakan tak berdaya melindungi nyawa-nyawa yang ternyata harganya hari ini tidak lebih mahal daripada nyawa di zaman Orde Baru.
Kepada manusia-manusia (yang konon pro-demokrasi) yang dulu hobi sekali menyinyiri Orde Baru, “Iya, apa-apa murah. Termasuk Nyawamu,” sekali lagi saya ingin bertanya: apa iya harga nyawa manusia Indonesia saat ini lebih mahal? Apa betul kita hidup di masa yang lebih tenteram dan sejahtera?
Khusus kepada Presiden Jokowi, presiden pilihan rakyat, saya sarankan bliyo bikin stiker tandingan saja: “Piye kabare le? Uripmu susah? Harga-harga mahal? Bhahahak! Aku we yo bingung je, Le ” Tentunya dengan gambar Jokowi yang sedang merenung megang batok kepala, jangan Jokowi yang sedang merenges.