MOJOK.CO – Saya kok baru tahu kalau pejabat negara boleh berbohong. Dua kali lagi, seperti yang dilakukan Pak Yasonna Laoly. Oh, kalau pejabat boleh. Enak ya.
Saya masih ingat omongan Pak Jokowi setelah pelantikan menteri beberapa bulan yang lalu. Pak Jokowi bilang saat ini nggak ada yang namanya visi menteri. Yang ada adalah visi presiden, dengan kata lain ya visi Pak Jokowi. Nah, kalau ada menteri yang menyebar hoaks, bicara ngawur, dan sampai dipetisi, apa ya masih mewakili visi Jokowi?
Adalah Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, seorang menteri yang “menaungi” penegakan hukum di Indonesia tapi kelakuannya malah menyalahi hukum. Gimana nggak melanggar hukum, lha wong Pak Yasonna Laoly baru saja menyebar hoaks. Setelah itu, beliau secara serampangan menyakiti hati anak-anak Tanjung Priok.
Saya sering heran, lho. Kalau ada warga yang menyebar hoaks, polisi cepet banget bergerak. Nggak sampai satu bulan, rata-rata, si penyebar hoaks sudah diciduk dan dipamerkan ke muka publik. Kadang pakai konferensi pres. Mengundang wartawan untuk mengabarkan “prestasi besar” itu.
Namun, kalau pejabat yang melakukan kejahatan yang sama, hukum yang sama nggak berlaku. Kayaknya begitu lho ya. Pejabat bisa dengan mudah nggak masuk “radar polisi”. Bahkan meskipun sudah seperti melindungi seorang tersangka. Istilah menutup-nutupi kebenaran.
Kalau lagi ngomongin Harun Masiku, politikus PDI Perjuangan, tentunya ada nama Yasonna Laoly disebut di sana. Nama Pak Yasonna Laoly bersanding dengan nama Ketua KPK, Firli Bahuri. Keduanya seperti bahu-membahu untuk tidak mengatakan kebenaran di muka publik. Ya maaf ya kalau saya agak jahat begini. Gemas, je.
Ketika Tempo bisa melacak keberadaan Harun Masiku, Ketua KPK dan Yasonna Laoly–yang notabene menteri dengan sumber daya kuat–gagal bekerja seperti Tempo. Pak Yasonna Laoly bersikeras kalau Harun Masiku masih di luar negeri ketika Tempo berhasil melacak keberadaan Harun Masiku di Indonesia. “Pokoknya belum ada di Indonesia,” kata Yasonna Laoly seperti dikutip oleh Tempo.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Pak Yasonna Laoly dan pimpinan KPK telah menyebar berita bohong terkait keberadaan Harun Masiku. “Ini membuktikan bahwa Menteri Hukum dan HAM serta pimpinan KPK telah menebar hoaks kepada publik,” ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Pak Kurnia juga mengingatkan, kalau perkara Harun Masiku sudah masuk ranah penyidikan. Jadi, kalau ada pihak-pihak yang berupaya menyembunyikan Harun Masiku dengan menebarkan hoaks, seharusnya KPK tidak lagi ragu untuk menerbitkan surat perintah penyelidikan dengan dugaan obstruction of justice sebagaimana diatur UU Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 .
HAAA… MAMAM… HOAKS PERTAMA.
Nggak lama berselang, Pak Yasonna Laoly bikin kesalahan fatal karena bikin warga Tanjung Priok sakit hati. Saat itu, Pak Yasonna hadir di acara Resolusi Pemasyarakatan 2020 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Lapas Narkotika IIA Jatinegara. Beliau bilang gini:
“Itu sebabnya kejahatan lebih banyak terjadi di daerah-daerah miskin. Slum areas. Bukan di Menteng. Anak-anak Menteng tidak. Tapi coba pergi ke Tanjung Priok di situ ada kriminal. Lahir dari kemiskinan,” kata Pak Yasonna seperti dikutip Detik.
Ketika dikonfirmasi, Pak Yasonna bersikeras dengan pernyataannya. Bapak yang sangat terhormat ini justru menyatakan bahwa kalimatnya terbukti secara ilmiah. Dia bahkan menceritakan soal penelitiannya yang dihitung secara valid. Sudah ngawur, malah pamer gelar profesor segala. Iya, iya, orang pinter.
Saya mau mengutip tulisan Ajeng Rizka aja biar Pak Yasonna bisa lebih memahami:
“Baiklah kalau Pak Yasonna Laoly masih kekeuh.
Kita bicara data BPS saja yang sampelnya benar-benar diambil di Indonesia. Bukan sebuah penelitian ilmiah dari Amerika Serikat. Siap?
Angka kerawanan keamanan dan ketertiban wilayah DKI Jakarta 2019 di kelurahan Tanjung Priok adalah 12,83%. Angka kerawanan keamanan dan ketertiban wilayah DKI Jakarta 2019 di Menteng adalah 15,58%.”
Kriminalitas memang, perlu diakui, salah satu penyebabnya adalah kemiskinan. Namun, di Tanjung Priok nggak pernah tuh ada gerebekan KPK. Justru Mentang yang kena. Kejahatan kecil dilakukan oleh orang-orang kecil, sementara kejahatan besar dilakukan oleh mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Misalnya ya korupsi.
“Sebagai Menkumham, seharusnya Pak Yasonna memegang data identitas pelaku kriminal di lingkungan kerjanya (lapas dan rutan). Kalau beliau sedikit jeli, maka akan ditemukan menurunnya pelaku kriminal yang berasal dari Priok di rutan dan lapas beliau, sejalan dengan penanganan kejahatan di kepolisian yang menurun,” kata Ahmad Syahroni, politikus Nasdem.
HAAAA… HOAKS KEDUA.
Maka ya nggak heran kalau kemudian muncul petisi untuk memecat Pak Yasonna Laoly, The Professor of Law itu. Sebuah petisi di laman change.org sudah dibuat untuk meminta Presiden Joko Widodo memecat Pak Yasonna Laoly terkait kebohongannya soal keberadaan Harun Masiku. Petisi itu dikasih judul: “Presiden Jokowi, Berhentikan Yasonna Laoly karena Kebohongan Publik tentang Harun Masiku”.
Sudah bohong, dua kali lagi. Saya masih yakin kalau bohong itu dosa. Dilarang di semua agama. Eeeh, Pak Yasonna malah pakai bawa-bawa Tuhan sampai bersumpah segala. “I swear to God, itu karena error,” kata doi. Pak, nggak perlu pakai sumpah. Sumpah nggak bikin kebenaran terbuka dan yang jahat dihukum seadil-adilnya. Sumpah nggak bikin kenyang.
Setelah ini, Pak Yasonna mau bilang lagi khilaf? Lha apa bedanya sama maling ayam sama jemuran kalau begitu?
“Sumpah, Pak Polisi, saya khilaf.” Nggak lucu blas.
Untuk Pak Yasonna Laoly, saya sih masih berpikir positif. Saya yakin Bapak itu tahu banget. Profesor, je. Gelar yang nggak main-main. Saya yakin Bapak nggak bohong, kok. Tapi cuma lupa. Kok banyak lupanya? Ya namanya juga pejabat. Ya kan, Pak Yasonna Laoly?
BACA JUGA Harun Masiku dan “Kenyataan” Bahwa Tempo Lebih Jago Ketimbang Negara atau artikel YAMADIPATI SENO lainnya.