MOJOK.CO – Mungkin Relawan Jokowi Bersatu menilai tayangan “kursi kosong” bukan karya jurnalistik, makanya Najwa Shihab langsung dilaporkan ke Polisi.
Dilaporkan oleh Relawan Jokowi Bersatu, jadi babak baru dalam karier seorang Najwa Shihab sebagai seorang jurnalis sekaligus presenter acara. Najwa Shihab bisa jadi tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang cukup nekat melaporkan produk jurnalistik ke Kepolisian.
Meski pada akhirnya Kepolisian mengaku tidak akan memproses karena sengketa ini merupakan ranah Dewan Pers, adanya pelaporan ini sebenarnya merupakan alarm berbahaya. Lebih-lebih pernyataan Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu yang sampai menyebut bahwa memparodikan pejabat negara itu dilarang.
“Cyber-bullying karena narasumber tidak hadir kemudian diwawancarai dan dijadikan parodi. Parodi itu suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan kepada pejabat negara, khususnya menteri,” ujar Silvia Devi Soembarto, Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu.
Duh, saya jadi membayangkan nasib Effendi Gazali, yang pernah bikin program Republik BBM (Benar-benar Mabuk) pada 2006 dan dilanjutkan ke Republik Mimpi pada 2007, terutama kalau dua program itu masih hidup pada zaman sekarang.
Saat itu, bersama Ucup Kelik, Butet Kertaredjasa, Jarwo Kuwat, dan didukung pula dengan berbagai komedian tanah air, mereka memerankan berbagai pejabat atau mantan presiden. Sebuah tayangan kritis nan segar di masyarakat. Ya apalagi kalau bukan karena semua pejabat negeri ini dengan enteng bisa diparodikan dalam sebuah rapat kabinet fiktif.
Untung benar Effendi Gazali dan kawan-kawan saat itu hanya memparodikan SBY, Gus Dur, Megawati, sampai Jusuf Kalla, dan keburu tutup sebelum era Pak Jokowi. Ya ngeri aja kalau mereka satu era dengan era Pak Jokowi. Bisa dilaporkan tuh sama relawannya. Memparodikan menteri aja Najwa Shihab dilaporin, apalagi presidennya.
Saya menduga, Relawan Jokowi Bersatu paham bahwa sengketa seperti ini tidak semestinya dibawa ke arah hukum pidana atau perdata. Saya berbaik sangka mereka tahu. Yakin saya. Orang-orang pintar kok, pasti tahu lah kalau perkara demikian larinya ke Dewan Pers dulu.
Lantas kenapa mereka masih sempat nekat melaporkan perkara ini ke Kepolisian?
Ya karena program Mata Najwa itu bukan sebagai karya jurnalistik di mata Relawan Jokowi Bersatu. Oleh karena itu, sengketanya langsung dibawa ke ranah hukum. Mereka melihat bahwa produk dari Mata Najwa itu adalah bentuk mendeskreditkan pejabat negara semata.
Nah, menimbang ada beda pemahaman di sini, sebagai seorang jurnalis yang sudah berpengalaman belasan tahun, ada baiknya Najwa Shihab menerangkan soal Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel ke Relawan Jokowi Bersatu.
Itu lho, sebuah kitab babon bagi jurnalis sedunia dalam memahami bagaimana seharusnya karya jurnalistik itu disajikan ke pembaca, pemirsa, atau pendengar.
Tentu saja Najwa Shihab tak perlu menerangkan sampai ke-9 elemennya juga. Bisa kriting nanti telinga para relawan itu. Saya juga tak akan membahas semuanya kok, malah terjebak jadi resensi buku malah nanti.
Saya pikir, relawan itu cukup lah dikasih beberapa poin krusial saja bagaimana cara kerja jurnalis dan media versi Bill Kovach. Misalnya ketika bicara elemen pertama, yakni mengenai kebenaran.
Sebentar, sebentar, kebenaran ini kebenaran yang mana dulu nih? Soalnya kebenaran itu kan relatif, Ngab?
Ya, kebenaran itu relatif.
Begini.
Saya ambil contoh ngomongin pandemi aja deh untuk menjelaskan ini. Ada versi kebenaran Pemerintah, ada versi kebenaran masyarakat. Pemerintah bilang selama ini upaya penanganan pandemi sudah maksimal, masyarakat bilang upaya pemerintah itu masih setengah-setengah.
Ribut deh di antara mereka. Nggak ketemu. Semua punya versi kebenarannya masing-masing.
Lantas gimana media dan seorang jurnalis melihat itu? Apakah bersikap netral saja?
Hooo, tidak bisa begitu, Sulaiman. Media tidak bisa (dan tidak akan bisa) netral. Sebab dalam elemen kedua, jurnalis itu harus lebih dulu menjatuhkan loyalitas pada citizens, bukan ke penguasa dulu. Ini merupakan salah satu alasan kenapa media juga disebut harus punya sikap kritis.
Nah penyebutan “kritis” punya konsekuensi bahwa media harus berpihak. Ya gimana kamu bisa mengkritisi sesuatu kalau kamu tidak berada di sisi berseberangan dari pihak yang mau dikritisi?
Ketika Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional, bikin Medan Prijaji pada awal abad ke-20 sikap kayak begitu sudah kelihatan kok. Medan Prijaji dibikin Tirto (bukan yang dot id ya) dalam rangka mengadvokasi kepentingan citizens alias bumipoetra. Kelompok masyarakat yang termaginalkan oleh Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, makanya Medan Prijaji galak betul sama pemerintahan kolonial.
Dari sana, kita bisa punya kesimpulan sederhana, bahwa kerja media dan jurnalis adalah mengadvokasi mereka yang berada di sisi “korban”. Atau mereka yang tak punya kekuatan atas situasi ketidakadilan.
Contoh lain yang relevan misalnya, media cenderung mengakomodasi suara-suara korban pemerkosaan ketimbang mendengar versi kebenaran dari pelaku pemerkosaan. Hal tersebut merupakan gambaran bahwa kerja media sejatinya adalah advokasi pihak yang lebih lemah.
Nah, dalam situasi pandemi ini, struktur yang ada dari program Mata Najwa adalah masyarakat dianggap sebagai pihak yang lemah (dengan jumlah korban corona semakin naik dari hari ke hari), dan Pemerintah berada di pihak yang kuat karena bisa bikin kebijakan, punya kekuasaan, dan wewenang yang (secara undang-undang) HARUS diikuti masyarakat.
Oleh karena itu, dalam media yang berpihak ke masyarakat, struktur semacam itu biasanya dibalik. Kita sering melihat program Mata Najwa melakukan dekontruksi terhadap siapa yang biasanya berkuasa di kehidupan masyarakat lalu dilucuti kekuasaannya di atas panggung.
Kita sering melihat bahwa secara tiba-tiba sosok-sosok berkuasa itu bisa dikritisi habis-habisan di atas panggung Mata Najwa. Dari DPR RI, Polisi, sampai PSSI. Nah, di poin inilah upaya menciptakan kesetaraan muncul dari sebuah karya jurnalistik.
Meski begitu, keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat itu juga tidak serta merta melupakan elemen-elemen berikutnya. Misalnya, supaya terbebas dari bias informasi, maka media dan jurnalis harus punya disiplin verifikasi. Ini masuk pada elemen ketiga.
Nah, upaya inilah yang berkali-kali dilakukan oleh berbagai media, termasuk program Mata Najwa ketika mencoba mengundang Terawan untuk datang. Masalahnya, di elemen ini pulalah Terawan mendapat celah untuk “sembunyi” dari kejaran para jurnalis. Sehingga elemen ini bisa hilang dari sebuah karya jurnalistik.
Barangkali, ketimbang menjadi sasaran kritik masyarakat, Terawan memilih enggan muncul di media. Ini pilihan masuk akal dari versi Terawan, tapi tidak dari versi media dan masyarakat.
Kenapa begitu?
Soalnya posisi Terawan bukanlah “korban” dalam struktur ini. Dia adalah pengampu kebijakan yang justru terbukti telah mengakibatkan banyak korban. Dan di posisi itulah Terawan dimintai pertanggungjawaban dari para korban kebijakan-kebijakannya.
Justru acara “kursi kosong” itu dengan gamblang mempertontonkan pejabat publik yang enggan mempertanggungjawabkan kebijakannya selama menjabat. Konsep acara ini juga menunjukkan kejujuran Mata Najwa, bahwa mereka gagal mendesak Terawan bicara. Atau gagal meminta Terawan untuk “bertanggung jawab”.
Sampai akhirnya langkah yang terkesan “putus asa” ini dikreasi menjadi sebuah tontonan yang menghibur dan menarik (elemen ketujuh). Sekaligus memberi informasi ke pemirsa.
Bukan informasi dari jawaban-jawaban langsung Terawan, melainkan informasi: bahwa Menteri Kesehatan Indonesia enggan mengklarifikasi segala macam blunder pernyataan dan kebijakannya di masa lalu dalam menangani pandemi. Bahkan ketika media-media tanah air mencari-carinya.
Kesalahan-kesalahan Terawan ini juga sebenarnya sudah tercermin ketika Presiden Jokowi marah-marah di hadapan para menteri, termasuk Menteri Kesehatan pula, karena penanganan pandemi tak mencapai titik memuaskan.
Oleh sebab itu, sedikit aneh saya pikir, ketika Relawan Jokowi Bersatu merasa kalau Mata Najwa dan Najwa Shihab adalah lawan yang harus dilaporkan ke Kepolisian. Soalnya, posisi Najwa Shihab sekarang ini justru menjadi kepanjangan tangan dari Presiden Jokowi. Ikut menekan Terawan agar bisa bekerja dengan baik.
Kalau Presiden bisa dengan memarahi Terawan di tempat, lah kalau masyarakat bisa diwakili melalui media dalam memberi kritik. Secara kebetulan media yang mewakili itu adalah Mata Najwa.
Walaupun kita tahu kritik itu tak pernah dianggap oleh pemerintah maupun elemen pendukungnya sebagai sebuah karya jurnalistik, hal itu tidak masalah. Sebab—sekali lagi—kebenaran itu banyak versinya.
Oleh sebab itu, daripada berseteru, saya mau mengusulkan ke Mbak Nana saja. Barangkali Najwa Shihab perlu mempertimbangkan untuk mengundang Relawan Jokowi Bersatu ke panggung Mata Najwa sekalian.
Saya ada penjelasannya. Mbak Nana tak perlu khawatir.
Pertama, mereka bisa merasakan “sakit hati”-nya Terawan. Artinya mereka itu merasa bisa mewakili Terawan. Kedua (dari nama organisasinya) merasa mengaku sebagai representasi dari Jokowi.
Hm, paket komplet sudah. Satu kali durasi Mata Najwa, langsung dapat perwakilan Presiden dan Menteri Kesehatan yang mau bicara.
Menarik kan, Mbak? Bakal dua tiga pulau bisa terlampaui lho kalau Mata Najwa mau mengundang mereka.
Baru kalau mereka tidak mau datang, mungkin nanti Mata Najwa bisa mempertimbangkan untuk bikin episode lanjutan “kursi kosong” jilid ke-2.