Usaha Nanggung Jokowi dan Prabowo dalam Menggaet Pemilih Milenial

MOJOK.COJokowi dan Prabowo sepertinya hanya melihat milenial dari tampilannya saja. Sedangkal itukah penilaian mereka pada generasi milenial?

Seperti yang kita tahu, pasangan capres dan cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga, sama-sama memperebutkan suara milenial dalam kampanyenya. Milenial sendiri adalah kita yang lahir pada 1981-2000 dan saat ini dalam rentang usia 17-36 tahun.

Ada alasan yang menjadikan suara milenial menjadi komoditas menarik untuk mendulang suara. Pasalnya, suara milenial tersebut, saat ini mencakup sekitar 75 juta orang atau sekitar 35-40 persen dari total pemilih yang terdaftar. Tentu ini menjadi sesuatu yang sangat menggiurkan.

Kami kaum milenial dipandang sebagai generasi yang melek teknologi dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini tentu akan memberikan karakter tertentu bagi kami. Sayangnya, yang banyak dibahas oleh para pasangan calon adalah karakter milenial yang hanya terlihat dari luarnya saja.

Generasi kami dipandang sebatas menyukai aktivitas di sosial media, sering bersenang-senang dengan traveling keliling dunia dan tempat berlibur lainnya—yang tak jarang ujung-ujungnya juga untuk konten sosial media, memiliki gaya komunikasi yang gaul dan santai, dan senang berpakaian kasual ala-ala.

Pandangan yang cenderung melihat milenial dari luaran saja, nampak dari bagaimana para kedua kubu calon berusaha mempresentasikan dirinya untuk mendekati kami.

Untuk Paslon nomor urut 1, Jokowi-Ma’ruf Amin. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan tim kampanyenya untuk menggaet kami. Diantaranya,

Satu, menggaet Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang dicitrakan sebagai partai anak muda. Pasalnya para politisi-politisi muda banyak yang bergabung dengannya, bahkan ketua umumnya sendiri, Grace Natalie, baru berusia 35 tahun. Tentu saja ini menjadi kekuatan bagi kubu Jokowi untuk mempresentasikan pihaknya memahami milenial dengan sepenuh hati. Tentu ini menjadi sesuatu yang lebih baik dibanding cara-cara selanjutnya.

Dua, berusaha menampilkan Jokowi sebagai sosok yang milenial banget. Diantaranya dengan pakaian jaket jeansnya, sepatu kets-nya, atapun motor chopper-nya. Selain itu, tentu kita tidak asing dengan aktivitas ngevlog beliau plus adegannya dalam pembukaan Asian Games 2018 lalu. Jokowi dinampakkan sebagai seseorang yang sangat berjiwa muda sekali.

Untuk Paslon nomor urut 2, Prabowo-Sandiaga. Tim kampanyenya juga melakukan beberapa pendekatan untuk menggaet generasi milenial. Diantaranya,

Satu, memilih Sandiaga sebagai Cawapres yang mempresentasikan milenial. Sandiaga yang dari segi usia memang paling muda diantara ketiga lainnya, adalah sosok yang sejak awal muncul selalu nampak energik dan selalu tampil dengan style yang kasual. Sehingga tidak mudah baginya, untuk memperlihatkan ‘tampilan’ milenial.

Dua, memilih juru-juru bicara andalan dengan citra yang tidak nampak kuno. Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, dipilih menjadi ketua jurkam milenial. Kemudian diikuti oleh Faldo Maldini—yang anak BEM banget itu, serta dr. Gamal Albinsaid yang terkenal sebagai dokter yang dibayar dengan sampah.

Tiga, kata juru kampanyenya pun, Prabowo saat ini telah berubah. Kini ia tampil sebagai The New Prabowo yang tidak lagi kaku seperti sebelumnya. Kini ia tampil sebagai sosok yang cair dan lebih mendengarkan.

Yang jelas, ntah dari kubu Jokowi maupun Prabowo, keduanya sama-sama lebih menonjolkan tampilan luar untuk menggaet kaum milenial. Lebih menonjolkan simbol-simbolnya saja. Dengan yang sering mereka koar-koarkan tentang kami, mereka justru seperti sedang menggiring stigma, seakan-akan kebutuhan milenial hanyalah masalah tampilan semata.

Padahal kebutuhan kami tidak sesederhana ketersediaan wifi, internet lancar dan sukses dengan masalah cinta. Seperti hasil survey dari CSIS, kami seperti manusia pada umumnya, yang tetap membutuhkan kesehatan sebagai hal utama, memiliki kebutuhan afeksi dan kasih sayang yang didapatkan dari waktu bersama keluarga dan teman dekat, membutuhkan kejelasan pekerjaan dan karier supaya kami memiliki kecukupan keuangan lantas meraih kesuksesan.

Yang membedakan, kami adalah generasi yang cenderung menginginkan segalanya serba cepat dan instan. Sehingga, kami sedikit muak dengan cara-cara kuno yang ribet seperti birokrasi saat ini. Kami butuh seseorang yang jelas memberikan banyak terobosan baru untuk mempercepat segala proses dalam keribetan kehidupan kami itu.

Karena kecepatan tersebut, tidak mengherankan jika kami pun mempertimbangkan pilihan politik berdasarkan yang dapat memberikan dampak nyata dan langsung. Bukan sebatas retorika yang disampaikan dengan cara gaul dan tampilan kasual semata—btw nggak semua milenial gayanya kasual ya. Fyi aja, saya lebih suka yang vintage ala-ala.

Kami tidak butuh sosok yang seakan-akan akan memenuhi kebutuhan kami hanya dari cara berpakaian dan cara berkomunikasinya saja. Sungguh, melihat orang-orang yang sebenarnya bukan generasi kami, namun berusaha berbicara dengan gaya kami—seperti Dahnil Azhar, eh—kami jadi kasihan. Meski tetap berusaha mengapresiasi usaha kerasnya itu.

Benar yang dikatakan oleh Alfara Research Center, bahwa kami memang memiliki perilaku yang kecanduan internet, mudah berpaling ke lain hati, tidak terbiasa menabung sehingga dompet menjadi tipis, cenderung menyenangi cara kerja cepat dan cerdas. Dapat melakukan banyak hal, senang berlibur kapan saja dan dimana saja. Lantas jika menginginkan sesuatu tidak harus memiliki, serta lebih cuek dengan politik dibanding generasi sebelumnya.

Namun kembali lagi, itu hanya perilaku kami. Bukan kebutuhan kami. Sayangnya, yang dilakukan oleh para kedua pasangan calon ini, yang nampak masih sebatas mengikuti gaya perilaku kami saja. Bukan menunjukkan apa saja yang akan mereka cukupi dari hal-hal yang kami butuhkan.

Oh ya, ngomong-ngomong jumlah kami tidak sampai 50 persen daftar pemilih tetap yang jumlahnya sekitar 185 juta itu loh. Sehingga, masih ada lebih dari 50 persen pemilih yang berusia di atas 35 tahun. Jadi, nggak perlu apa-apa milenial terus lah ya. Agak bosen-bosen gimana gitu dengernya. Mbok tolong yang usianya lebih dari 35 tahun juga dipahami kebutuhannya. Kasihan kalau kayak diabaikan begitu saja.

Exit mobile version