MOJOK.CO – Salat berjamaah pada kampanye Prabowo jadi pedebatan para ulama karena saf salat bercampur antara jamaah laki-laki dan perempuan.
Sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia (dan dunia), komentar PBNU cukup menggelitik saat mengomentari salat dengan saf campur antara jamaah laki-laki dengan perempuan pada kampanye akbar Prabowo-Sandiaga di Gelora Bung Karno (GBK).
Ditanya mengenai tanggapan saf salat yang dicampur pada kampanye Prabowo, Wasekjen PBNU, Masduki Baidlowi mengatakan bahwa hal semacam ini tak boleh dilakukan.
“Di mana-mana orang salat itu nggak boleh campur (laki-laki dan perempuan) safnya, nggak boleh, haram,” kata Masduki Baidlowi.
Menurut Masduki, ada pra-syarat yang harus dilihat dulu mengenai percampuran antara saf laki-laki dan perempuan ini. Jika kaitan ibadah yang dilakukan dalam kondisi wajib dan mendesak, maka hal itu masih boleh dilakukan.
Misalnya saat sedang di Padang Arafah, lempar jumrah, atau melakukan thawaf. Di mana jamaah laki-laki dan perempuan saling berjubel dan berdesak-desakan sehingga sangat memungkinkan untuk bersentuhan. Dan bagi mazhab Syafi’i, hal begini membatalkan wudhu, yang akhirnya akan berakibat ibadah salat jadi tidak sah.
Kita tahu sama tahu, mazhab Syafi’i menganggap bahwa sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim membatalkan wudhu sedangkan mazhab Maliki tidak. Hal ini kemudian menjadi landasan beberapa jamaah haji Indonesia yang berpindah mazhab agar wudhunya tidak batal dan salat tetap bisa sah.
Dalam keterangan yang lain, Wakil Kepala Daerah Kerja (Wakader) Madinah bidang Bimbingan Ibadah, Asnawi Muhammadiyah seperti ditulis NU Online pernah menyampaikan bahwa saat haji umat muslim Indonesia tak perlu talfiq alias berpindah mazhab dari Syafi’i ke Maliki. Terutama soal batalnya wudhu ketika bersentuhan antara laki-laki dengan perempuan.
Akan tetapi, talfiq seperti ini ternyata malah tidak disarankan. Jamaah haji Indonesia sebaiknya tetap memakai mazhab Syafi’i, lalu perkara soal batalnya wudhu tersebut menggunakan hukum darurat.
“Akan lebih baik jamaah haji tetap berpedoman pada mazhab ibadahnya selama di Tanah Air dibandingkan talfiq ke mazhab lain. Karena pilihan untuk talfiq juga memiliki konesekuensi cukup panjang,” jelas Asnawi.
Menurutnya akan lebih baik jamaah haji Indonesia tetap menjaga kehati-hatian dalam ibadah yang diwakili dengan mazhab Syaf’i dan memilih menggunakan hukum darurat ketimbang talfiq.
“Padahal jika menggunakan hukum dhorurat, maka kehati-hatian masih bisa selalu dijaga,” tambah Asnawi.
Dasar yang sama sepertinya juga dipakai olah Ketua Umum GNPF-U, Yusuf Muhammad Martak, salah satu dari bagian kampanye akbar Prabowo. Menurutnya kondisi yang begitu penuh sesak tidak memungkinkan untuk memisahkan antara jamaah laki-laki dan perempuan.
“Cuma saya tidak tahu di dalam keadaan yang sudah darurat, karena sudah padatnya umat seperti kejadian seperti itu, ya contoh, seperti di Masjidil Haram, kadang-kadang itu berdekatan (laki-laki dan perempuan) hampir bersebelahan walaupun tidak bersenggolan ya,” kata Yusuf Martak.
Menanggapi hal itu, Wasekjen PBNU mewanti-wanti untuk tidak menyamakan antara kampanye akbar politik dengan ibadah haji. Sebab perkumpulan yang satu tidak bernilai wajib, sedangkan yang satu sifatnya wajib.
“Tapi ini kan kampanye, itu wajib nggak (untuk) datang? Karena itu kan nggak wajib terus kalau doa salat bercampur laki-laki dan perempuan lalu gimana hukumnya? Kan gitu. Kalau menurut kami nggak boleh itu salatnya harus diatur sedemikian rupa dari awal,” ujar Masduki Baidlhowi.
Meski terdapat perbedaan pendapat soal ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tampaknya cukup bijak menengahi. Menurut MUI, terlepas dari beda pendapat antara GNPF-U dengan PBNU, salat yang dilakukan oleh jamaah di kampanye Prabowo itu tetap sah.
Sepanjang posisi makmum tidak berada di depan imam salat, dan tidak ada rukun maupun syarat salat yang dilanggar, ya salat tetap sah. Perkara campurnya saf antara laki-laki dan perempuan, MUI punya pendapat sendiri.
“Tidak batal (salatnya), hanya saja khilaful aula. Sepanjang tidak dikhawatirkan terjadi fitnah,” jelas Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Soleh seperti diberitakan Detik.
Terlepas dari perdebatan sah, haram, atau hukum darurat salat jamaah di kampanye Prabowo, hal yang menarik dari perdebatan ini sebenarnya adalah diksi yang dipilih PBNU, yakni: haram.
Entah itu kepleset lidah atau memang diniatkan begitu, namun rasa-rasanya ulama-ulama dalam bagian PBNU tidak pernah dengan mudah melabeli haram untuk aktivitas yang secara pemahaman fikih (tidak fundamental) berbeda. Baik itu untuk aktivitas kelompok lain secara politis maupun kelompok lain secara keagamaan.
Hal yang tentu jadi mengejutkan dan memunculkan tanda tanya: Kenapa PBNU yang selama ini selow terhadap perbedaan, jadi galak gitu ya? Dapaniya?